Bls: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-09 Terurut Topik Lies Suryadi
Ondeh, rancak bana beritanyo, Andiko. Dari koran ma ko sumbernyo?
 
Salam,
Suryadi
 


 Dari: Andiko andi.ko...@gmail.com
Kepada: rantaunet@googlegroups.com 
Dikirim: Senin, 9 September 2013 1:16
Judul: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste 
(Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
  


Sanak Palanta

Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur 
leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan 
akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah humanis 
nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di Timor-Timur. 
Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo 
mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara nan ikuik operasi 
Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, antah bana antah indak 
curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas 
mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili ukatu itu.

Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang menarik. 
Ambo menunggu di suduik lapau mandanga.

Salam

Andiko Sutan Mancayo


Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste
Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB

RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa 
selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 
1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, mengharuskan 
ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi bungsu Negara 
Kesatuan Republik Indonesia itu.

Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke 
Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan Ibu 
Pertiwi.

Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: Merah 
Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. Tidak bisa 
digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013).

Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN 
Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur hingga 
akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang.

Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara 
melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur menjadi 
negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang.

Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. Mendengar 
suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku tembak. Bahkan, 
keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik.

Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok dengan 
pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu menjadi 
pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut.

Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang harus 
meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama orang-orang yang 
cinta merah putih.

Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau 
beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, Acang 
yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali bertemu di 
lokasi pengungsian di Kupang.

Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan 
pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh seorang 
tentara. 

Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, ternyata 
Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. Purn. 
Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut hingga 
sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang.

Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. Kedatangannya 
yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat mereka tergantung 
kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada masyarakat syukuran, Acang 
dan murid di pesantren itu diundang.

Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan berlalu, 
kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang.

Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. Data 
Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 100 ribu 
orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari pengungsi 
kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke 
beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang.

Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan 
keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak punya 
cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya melanjutkan 
belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya.

Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan di IAIN 
Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007

Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-09 Terurut Topik Andiko
Iko linknyo jo :

http://www.ranahberita.com/news.php?id_news=849/Berita/view%20:Nasionalisme%20Seorang%20Pemuda%20dari%20Timor%20Leste#.Ui10xWQY044


Pada Senin, 09 September 2013 13:36:07 UTC+7, Lies Suryadi menulis:

 Ondeh, rancak bana beritanyo, Andiko. Dari koran ma ko sumbernyo?
  
 Salam,
 Suryadi

*Dari:* Andiko andi@gmail.com javascript:
 *Kepada:* rant...@googlegroups.com javascript: 
 *Dikirim:* Senin, 9 September 2013 1:16
 *Judul:* [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste 
 (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
  
 Sanak Palanta

 Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak 
 timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak 
 dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah 
 humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di 
 Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di 
 Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara 
 nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, 
 antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara 
 tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh 
 sate di pasa Dili ukatu itu.

 Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang 
 menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga.

 Salam

 Andiko Sutan Mancayo


 Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste
 Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB

 RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa 
 selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 
 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, 
 mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi 
 bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.

 Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang 
 ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari 
 pangkuan Ibu Pertiwi.

 Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: 
 Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. 
 Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, 
 Sabtu (17/8/2013).

 Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, 
 IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur 
 hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang.

 Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara 
 melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur 
 menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang.

 Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. 
 Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku 
 tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik.

 Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok 
 dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu 
 menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut.

 Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang 
 harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama 
 orang-orang yang cinta merah putih.

 Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores 
 atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses 
 pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, 
 kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang.

 Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk 
 mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke 
 Jakarta oleh seorang tentara. 

 Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, 
 ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. 
 Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut 
 hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang.

 Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. 
 Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat 
 mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada 
 masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang.

 Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan 
 berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang.

 Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. 
 Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 
 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari 
 pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, 
 menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera 
 Barat seperti Acang.

 Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan 
 keluarganya ilmu yang telah ia

Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-09 Terurut Topik Asmardi Arbi

Tanyo ciek bung  Sutan Mancayo,
Apo agamo si Acang atau urang gaeknyo sabalun nyo?
AA..

On 09/09/2013 06:16, Andiko wrote:

Sanak Palanta

Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak 
timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang 
awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak 
kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja 
tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di 
dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan 
ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami 
dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu 
operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas 
mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili 
ukatu itu.


Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang 
menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga.


Salam

Andiko Sutan Mancayo


Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste
Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB

RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang 
Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan 
Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang 
kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas 
bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.


Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut 
menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi 
terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.


Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: 
Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah 
terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada 
ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013).


Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas 
Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari 
Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang.


Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik 
saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor 
Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk 
keluarga Acang.


Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. 
Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada 
baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban 
konflik.


Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering 
bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat 
bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda 
kelahiran 1986 tersebut.


Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, 
Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu 
bersama orang-orang yang cinta merah putih.


Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores 
atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses 
pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. 
Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang.


Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk 
mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke 
Jakarta oleh seorang tentara.


Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, 
ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh 
Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. 
Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, 
tepatnya di Padang Jopang.


Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. 
Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat 
mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada 
masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang.


Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan 
berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang.


Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu 
keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari 
Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala 
keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan 
rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di 
Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang.


Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan 
keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak 
punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya 
melanjutkan belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya.


Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan 
di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007, Acang kembali pulang ke 
Kupang. Mengetahui dia kuliah, orang tuanya sangat bangga.


Sejak 2007 hingga sekarang, Acang belum pernah kembali ke Kupang. 
Tapi kami masih tetap berkomunikasi. 

Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-09 Terurut Topik Andiko
Maaf mamak, ambo indak lo tahu doh. Ambo hanyo dapek berita iko di internet

Salam

andiko

Pada Senin, 09 September 2013 17:41:32 UTC+7, asmard...@rantaunet.org 
menulis:

 Tanyo ciek bung  Sutan Mancayo, 
 Apo agamo si Acang atau urang gaeknyo sabalun nyo? 
 AA.. 

 On 09/09/2013 06:16, Andiko wrote: 
  Sanak Palanta 
  
  Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak 
  timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang 
  awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak 
  kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja 
  tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di 
  dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan 
  ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami 
  dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu 
  operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas 
  mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili 
  ukatu itu. 
  
  Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang 
  menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga. 
  
  Salam 
  
  Andiko Sutan Mancayo 
  
  
  Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste 
  Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB 
  
  RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang 
  Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan 
  Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang 
  kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas 
  bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. 
  
  Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut 
  menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi 
  terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. 
  
  Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: 
  Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah 
  terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada 
  ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013). 
  
  Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas 
  Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari 
  Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang. 
  
  Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik 
  saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor 
  Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk 
  keluarga Acang. 
  
  Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. 
  Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada 
  baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban 
  konflik. 
  
  Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering 
  bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat 
  bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda 
  kelahiran 1986 tersebut. 
  
  Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, 
  Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu 
  bersama orang-orang yang cinta merah putih. 
  
  Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores 
  atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses 
  pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. 
  Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang. 
  
  Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk 
  mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke 
  Jakarta oleh seorang tentara. 
  
  Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, 
  ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh 
  Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. 
  Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, 
  tepatnya di Padang Jopang. 
  
  Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. 
  Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat 
  mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada 
  masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang. 
  
  Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan 
  berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang. 
  
  Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu 
  keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari 
  Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala 
  keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan 
  rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di 
  Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang. 
  
  Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan 
  keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak 
  punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya 
  

[R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-08 Terurut Topik Andiko
Sanak Palanta

Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur 
leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan 
akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah 
humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di 
Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di 
Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara 
nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, 
antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara 
tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh 
sate di pasa Dili ukatu itu.

Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang 
menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga.

Salam

Andiko Sutan Mancayo


Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste
Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB

RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa 
selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 
1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, 
mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi 
bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.

Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke 
Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan 
Ibu Pertiwi.

Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: 
Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. 
Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, 
Sabtu (17/8/2013).

Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, 
IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur 
hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang.

Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara 
melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur 
menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang.

Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. 
Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku 
tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik.

Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok 
dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu 
menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut.

Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang 
harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama 
orang-orang yang cinta merah putih.

Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau 
beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, 
Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali 
bertemu di lokasi pengungsian di Kupang.

Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan 
pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh 
seorang tentara. 

Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, 
ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. 
Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut 
hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang.

Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. 
Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat 
mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada 
masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang.

Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan 
berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang.

Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. 
Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 
100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari 
pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, 
menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera 
Barat seperti Acang.

Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan 
keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak 
punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya 
melanjutkan belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya.

Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan di 
IAIN Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007, Acang kembali pulang ke Kupang. 
Mengetahui dia kuliah, orang tuanya sangat bangga.

Sejak 2007 hingga sekarang, Acang belum pernah kembali ke Kupang. Tapi 
kami masih tetap berkomunikasi. Nanti suatu saat saya akan kembali melihat 
orang tua di NTT, ujarnya.

Tapi, untuk menetap, Acang merasa nyaman di Sumatera Barat. Saya belajar 

Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-08 Terurut Topik Zaid Dunil
Mudah2an Acang selalu mendapat rahmat dan hidayah  Allah dan tercapai cita
citanya. Amin.
Wassalam
Dunil Zaid, 70,5 Kpg Ujuang Pandan OParak Karambia, Pdg.


2013/9/9 Andiko andi.ko...@gmail.com

 Sanak Palanta

 Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak
 timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak
 dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah
 humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di
 Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di
 Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara
 nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang,
 antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara
 tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh
 sate di pasa Dili ukatu itu.

 Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang
 menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga.

 Salam

 Andiko Sutan Mancayo


 Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste
 Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB

 RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa
 selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada
 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda,
 mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi
 bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.

 Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang
 ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari
 pangkuan Ibu Pertiwi.

 Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu:
 Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir.
 Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com,
 Sabtu (17/8/2013).

 Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab,
 IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur
 hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang.

 Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara
 melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur
 menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang.

 Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa.
 Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku
 tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik.

 Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok
 dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu
 menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut.

 Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang
 harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama
 orang-orang yang cinta merah putih.

 Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores
 atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses
 pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun,
 kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang.

 Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk
 mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke
 Jakarta oleh seorang tentara.

 Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta,
 ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen.
 Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut
 hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang.

 Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat.
 Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat
 mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada
 masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang.

 Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan
 berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang.

 Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga.
 Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih
 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari
 pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil,
 menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera
 Barat seperti Acang.

 Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan
 keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak
 punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya
 melanjutkan belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya.

 Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan di
 IAIN Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007, Acang kembali pulang ke Kupang.
 Mengetahui dia kuliah, orang tuanya sangat bangga.

 Sejak 2007 hingga sekarang, Acang 

Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-08 Terurut Topik Abraham Ilyas
Andiko St. Mancayo sarato Dunsanak sa palanta n.a.h

Mambaco kisah si Acang iko, mako manuruik pandapek ambo di Timtim kutiko
itu terjadi *perang saudara nan sebenar-benarnya perang saudara*
.. sedangkan di kampuang awak kutiko pergolakan oleh PRRI tahun
1961 - 1962 yang terjadi iyolah *perang saudara sesama anak bangsa*
(jagad gede).

Kisah perang saudara jagad gede ini telah banyak ditulis dan didiskusikan
oleh akademisi maupun para ahli sejarah di institusi pendidikan !

Tentunya akibat dari kedua jenis perang tersebut akan sangat berbeda !

Salam

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-08 Terurut Topik Andiko
Mamanda AI yang baik

Dikantua ambo seorang personilnyo adalah anak Timor Leste, inyo marasokan 
maso operasi Seroja di kampuangnyo. Baliau sangat suka mancaritokan bosnyo 
nan urang Minang yang manuruik baliau sangat baik ka inyo, ukatu awal tahun 
80an, mendarat di Jakarta. Kok mandanga curito inyo maso bagolak di 
Tim-Tim, yo tagak bulu roma awak mandanga curitonyo.

Salam

andiko

Pada Senin, 09 September 2013 7:58:10 UTC+7, Abraham Ilyas menulis:

 Andiko St. Mancayo sarato Dunsanak sa palanta n.a.h

 Mambaco kisah si Acang iko, mako manuruik pandapek ambo di Timtim kutiko 
 itu terjadi *perang saudara nan sebenar-benarnya perang saudara* 
 .. sedangkan di kampuang awak kutiko pergolakan oleh PRRI tahun 
 1961 - 1962 yang terjadi iyolah *perang saudara sesama anak bangsa* 
 (jagad gede).

 Kisah perang saudara jagad gede ini telah banyak ditulis dan didiskusikan 
 oleh akademisi maupun para ahli sejarah di institusi pendidikan !

 Tentunya akibat dari kedua jenis perang tersebut akan sangat berbeda !

 Salam 


-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)

2013-09-08 Terurut Topik Abraham Ilyas
Ralat: .sedangkan di kampuang awak kutiko pergolakan oleh PRRI tahun 1958
- 1961 yang terjadi iyolah *perang saudara sesama anak bangsa* (jagad
gede).

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.