Bls: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Ondeh, rancak bana beritanyo, Andiko. Dari koran ma ko sumbernyo? Salam, Suryadi Dari: Andiko andi.ko...@gmail.com Kepada: rantaunet@googlegroups.com Dikirim: Senin, 9 September 2013 1:16 Judul: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste) Sanak Palanta Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili ukatu itu. Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga. Salam Andiko Sutan Mancayo Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013). Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang. Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang. Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik. Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut. Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama orang-orang yang cinta merah putih. Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang. Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh seorang tentara. Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang. Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang. Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang. Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang. Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya melanjutkan belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya. Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007
Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Iko linknyo jo : http://www.ranahberita.com/news.php?id_news=849/Berita/view%20:Nasionalisme%20Seorang%20Pemuda%20dari%20Timor%20Leste#.Ui10xWQY044 Pada Senin, 09 September 2013 13:36:07 UTC+7, Lies Suryadi menulis: Ondeh, rancak bana beritanyo, Andiko. Dari koran ma ko sumbernyo? Salam, Suryadi *Dari:* Andiko andi@gmail.com javascript: *Kepada:* rant...@googlegroups.com javascript: *Dikirim:* Senin, 9 September 2013 1:16 *Judul:* [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste) Sanak Palanta Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili ukatu itu. Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga. Salam Andiko Sutan Mancayo Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013). Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang. Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang. Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik. Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut. Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama orang-orang yang cinta merah putih. Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang. Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh seorang tentara. Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang. Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang. Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang. Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang. Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan keluarganya ilmu yang telah ia
Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Tanyo ciek bung Sutan Mancayo, Apo agamo si Acang atau urang gaeknyo sabalun nyo? AA.. On 09/09/2013 06:16, Andiko wrote: Sanak Palanta Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili ukatu itu. Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga. Salam Andiko Sutan Mancayo Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013). Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang. Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang. Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik. Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut. Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama orang-orang yang cinta merah putih. Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang. Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh seorang tentara. Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang. Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang. Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang. Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang. Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya melanjutkan belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya. Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007, Acang kembali pulang ke Kupang. Mengetahui dia kuliah, orang tuanya sangat bangga. Sejak 2007 hingga sekarang, Acang belum pernah kembali ke Kupang. Tapi kami masih tetap berkomunikasi.
Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Maaf mamak, ambo indak lo tahu doh. Ambo hanyo dapek berita iko di internet Salam andiko Pada Senin, 09 September 2013 17:41:32 UTC+7, asmard...@rantaunet.org menulis: Tanyo ciek bung Sutan Mancayo, Apo agamo si Acang atau urang gaeknyo sabalun nyo? AA.. On 09/09/2013 06:16, Andiko wrote: Sanak Palanta Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili ukatu itu. Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga. Salam Andiko Sutan Mancayo Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013). Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang. Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang. Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik. Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut. Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama orang-orang yang cinta merah putih. Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang. Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh seorang tentara. Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang. Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang. Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang. Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang. Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya
[R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Sanak Palanta Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili ukatu itu. Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga. Salam Andiko Sutan Mancayo Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013). Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang. Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang. Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik. Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut. Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama orang-orang yang cinta merah putih. Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang. Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh seorang tentara. Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang. Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang. Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang. Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang. Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya melanjutkan belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya. Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007, Acang kembali pulang ke Kupang. Mengetahui dia kuliah, orang tuanya sangat bangga. Sejak 2007 hingga sekarang, Acang belum pernah kembali ke Kupang. Tapi kami masih tetap berkomunikasi. Nanti suatu saat saya akan kembali melihat orang tua di NTT, ujarnya. Tapi, untuk menetap, Acang merasa nyaman di Sumatera Barat. Saya belajar
Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Mudah2an Acang selalu mendapat rahmat dan hidayah Allah dan tercapai cita citanya. Amin. Wassalam Dunil Zaid, 70,5 Kpg Ujuang Pandan OParak Karambia, Pdg. 2013/9/9 Andiko andi.ko...@gmail.com Sanak Palanta Berita menarik ambo temukan salasai sumbayang subuah ko, seorang anak timur leste nan dibao dek Brigjen. Purn. Adityawarman, Jendral urang awak dan akhirnyo kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Pasti banyak kisah-kisah humanis nan dialami dek urang Minang sajak operasi seroja tahun 75 di Timor-Timur. Suatu kali ambo pai ka musium tentara di dakek ngarai di Bukiktinggi, ambo mancaliak sebua bendera kesatuan nan ditulih namo tentara nan ikuik operasi Seroja. Lain pulo nan dialami dek sipil urang Minang, antah bana antah indak curito ko. Ukatu operasi seroja di mulai dan tentara tajun payuang di Dili, pas mendarat, alah inyo tamui urang Piaman manggaleh sate di pasa Dili ukatu itu. Mungkin banyak curito menarik dari mamak, bundo jo sanak palanta yang menarik. Ambo menunggu di suduik lapau mandanga. Salam Andiko Sutan Mancayo Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste Sabtu, 17 Agustus 2013 12:51 WIB RANAHBERITA-- Tak ada kepedihan yang mendalam, bagi Hasan Subang Lamanepa selain berpisah dengan kampung halaman. Saat meninggalkan Timor Leste pada 1999, hatinya gundah. Batas teritorial negara yang kini berbeda, mengharuskan ia dan keluarganya menyeberangi tapal batas bekas provinsi bungsu Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Hasan adalah salah satu anak pengungsi Timor Leste yang ikut menyeberang ke Nusa Tenggara Timur setelah wilayah tersebut resmi terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Kesedihan itu harus kami tahan, karena ada yang lebih besar dari itu: Merah Putih. Bagi saya itu darah. Merah Putih sampai titik darah terakhir. Tidak bisa digantikan dengan apa-apa, katanya kepada ranahberita.com, Sabtu (17/8/2013). Hasan kini mahasiswa di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang. Ia menceritakan kisah panjangnya dari Timor Timur hingga akhirnya merasa nyaman menetap di Ranah Minang. Cerita pemuda yang akrab disapa Acang ini bermula ketika konflik saudara melanda Timor Timur. Masyarakat terbelah. Sebagian ingin Timor Timur menjadi negara sendiri, sebagian pro integrasi, termasuk keluarga Acang. Saat itu, bagi Acang, melihat mayat berlumur darah itu sudah biasa. Mendengar suara tembakan bukan hal yang aneh. Hampir tiap hari ada baku tembak. Bahkan, keluarga pihak ibunya pun banyak yang jadi korban konflik. Pihak keluarga saya berada di pihak pro integrasi. Jadi sering bentrok dengan pihak yang ingin merdeka. Suara tembakan, mayat bergelimpangan, itu menjadi pemandangan sehari-hari, kata pemuda kelahiran 1986 tersebut. Seingat Acang, puncak konflik itu pada tahun 1999. Ketika itu juga, Acang harus meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Manatutu bersama orang-orang yang cinta merah putih. Dibawa dengan kendaraan milik TNI, pengungsi diantar ke Kupang, Flores atau beberapa daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Ketika proses pengungsian, Acang yang berumur 13 tahun terpisah dari orang tuanya. Namun, kembali bertemu di lokasi pengungsian di Kupang. Bulan Juni tahun 2000, kisah melalangbuana Acang dimulai. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Acang dan empat temannya dibawa ke Jakarta oleh seorang tentara. Dimaksudkan untuk disekolahkan di pesantren. Namun, setiba di Jakarta, ternyata Acang dan kawannya dibawa menyeberangi Selat Malaka oleh Brigjen. Purn. Adityawarman. Ya, mereka tiba di Pulau Sumatera. Perjalanan berlanjut hingga sampai di Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya di Padang Jopang. Tepat 27 Juni 2000, Acang mulai sekolah di pesantren setempat. Kedatangannya yang tidak membawa bekal apa-apa selain pakaian, membuat mereka tergantung kepada masyarakat dan pengelola pesantren. Tiap ada masyarakat syukuran, Acang dan murid di pesantren itu diundang. Di awal kedatangan, Acang kesulitan memahami bahasa Minang. Tiga bulan berlalu, kesulitan itu ditepisnya. Dia mulai mengeja bahasa Minang. Tahun 2002, Acang pulang ke pengungsian di Kupang dan bertemu keluarga. Data Pemprov NTT pada 2005 mencatat, total pengungsi dari Timor Leste lebih 100 ribu orang atau lebih dari 24 ribu kepala keluarga. Sebagian besar dari pengungsi kini menetap dan dapat bantuan rumah di NTT. Sebagian kecil, menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk ada yang di Sumatera Barat seperti Acang. Ketika bertemu dengan keluarga pada 2002 itu, Acang sempat mengajarkan keluarganya ilmu yang telah ia dapat selama di pesantren. Namun, tidak punya cukup waktu. Acang harus kembali ke pesantren dan keluarganya melanjutkan belajar Islam kepada guru agama yang ada di lingkungannya. Selepas tamat Madrasah Aliyah pada 2006, Acang melanjutkan pendidikan di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tahun 2007, Acang kembali pulang ke Kupang. Mengetahui dia kuliah, orang tuanya sangat bangga. Sejak 2007 hingga sekarang, Acang
Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Andiko St. Mancayo sarato Dunsanak sa palanta n.a.h Mambaco kisah si Acang iko, mako manuruik pandapek ambo di Timtim kutiko itu terjadi *perang saudara nan sebenar-benarnya perang saudara* .. sedangkan di kampuang awak kutiko pergolakan oleh PRRI tahun 1961 - 1962 yang terjadi iyolah *perang saudara sesama anak bangsa* (jagad gede). Kisah perang saudara jagad gede ini telah banyak ditulis dan didiskusikan oleh akademisi maupun para ahli sejarah di institusi pendidikan ! Tentunya akibat dari kedua jenis perang tersebut akan sangat berbeda ! Salam -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Mamanda AI yang baik Dikantua ambo seorang personilnyo adalah anak Timor Leste, inyo marasokan maso operasi Seroja di kampuangnyo. Baliau sangat suka mancaritokan bosnyo nan urang Minang yang manuruik baliau sangat baik ka inyo, ukatu awal tahun 80an, mendarat di Jakarta. Kok mandanga curito inyo maso bagolak di Tim-Tim, yo tagak bulu roma awak mandanga curitonyo. Salam andiko Pada Senin, 09 September 2013 7:58:10 UTC+7, Abraham Ilyas menulis: Andiko St. Mancayo sarato Dunsanak sa palanta n.a.h Mambaco kisah si Acang iko, mako manuruik pandapek ambo di Timtim kutiko itu terjadi *perang saudara nan sebenar-benarnya perang saudara* .. sedangkan di kampuang awak kutiko pergolakan oleh PRRI tahun 1961 - 1962 yang terjadi iyolah *perang saudara sesama anak bangsa* (jagad gede). Kisah perang saudara jagad gede ini telah banyak ditulis dan didiskusikan oleh akademisi maupun para ahli sejarah di institusi pendidikan ! Tentunya akibat dari kedua jenis perang tersebut akan sangat berbeda ! Salam -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Re: [R@ntau-Net] OOT : Nasionalisme Seorang Pemuda dari Timor Leste (Sentuhan Urang Minang di Timor Leste)
Ralat: .sedangkan di kampuang awak kutiko pergolakan oleh PRRI tahun 1958 - 1961 yang terjadi iyolah *perang saudara sesama anak bangsa* (jagad gede). -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.