[wanita-muslimah] Re: Jilbab - kisah adam dan pasangannya
mbak Mia, membahas Adam dan Hawa memang meskipun merupakan kisah lama, namun tidak pernah basi dibicarakan setiap saat, paling tidak, ada beberapa pesan moral dari kisah ini : 1) Tentang Adam dan Hawa sebagai mitologi; Qur'an tidak pernah menyebut siapa manusia pertama, kalau adam adalah nabi pertama memang ya, karena tidak dikisahkan nabi sebelum Adam, dan adam adalah sederet nabi-nabi yang tergabung dalam 25 nabi atau rasul yang amat dikenal dalam khazanah islam. Para antropolog karena tidak menemukan bukti arkeologis, maka menyebut adam sebagai mithos belaka. Qur'an sebenarnya bukan kitab sejarah meskipun berbicara sejarah. Secara gamblang qur'an menyebutkan bahwa di antara kisah-kisah orang-orang terdahulu ada yang jejak-jejaknya bisa dilihat bekasnya, namun ada yang musnah (QS 11:100). Maka kalau para ilmuwan tidak berhasil menemukan bukti jejak nabi adam secara arkeologis tidak berarti mithos kan mbak Mia ?? Memang banyak juga qur'an menyebutkan kisah orang-orang terdahulu yang tidak diketahui track recordnya secara jelas, paling tidak, ada banyak perdebatan siapa figure yang dimaksud qur'an, contohnya : lukman hakim dan zulqarnain. 2) Tentang perintah sujud kepada Adam; ketika iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, jelas sekali dipaparkan bagaimana dialog Allah dengan Iblis, Iblis diciptakan dari api, sedang adam diciptakan dari tanah. Iblis merasa api lebih baik daripada tanah karena itu iblis enggan bersujud pada adam, sehingga dipandang pengingkaran iblis ini diberikan sanksi berupa diusir dari jannah dan ditempatkan di neraka jahannam, menunjukkan ada pesan dari Tuhan paling tidak kalau dilihat dari dua sisi yaitu politik dan sains. Dari sisi politik misalnya, karena ada penunjukan adam sebagai khalifah di muka bumi. Ini merupakan pesan bahwa yang namanya khalifah (penguasa) itu membutuhkan legitimasi untuk bisa menjalankan tugasnya secara efektif, tanpa pengakuan dari rakyat jelas akan bermasalah dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya. Meskipun iblis sebagai makhluq jin adalah penghuni alam yang berbeda dengan alam yang dihuni adam, lebih menunjukkan bahwa Tuhan menyampaikan pesan kepada hamba-nya bahwa seorang "adam" membutuhkan ketaatan dari pihak lain yang pada gilirannya akan berguna bagi kelangsungan kepemimpinannya. Sedangkan dari aspek sains, sebenarnya sudah menjadi hukum alam bahwa api harus tunduk kepada tanah, kalau hukum alam ini tidak berlaku maka kasihan para ibu, mbak Mia, istri saya, termasuk para juru masak, beras yang akan dimasak/ditanak tidak akan pernah matang, karena api enggan membakar tungku yang memuat beras untuk ditanak. Begitu pula sarana transportasi seperti kereta api yang dapat menghasilkan tenaga besar adalah karena kerjasama sinergis antara batubara yang dipanaskan (wakil dari api) dengan tembaga (wakil dari tanah) kalau iblis dibiarkan membangkang pada adam, tentulah hukum alam ini tidak berjalan sebagaimana mestinya maka manusialah yang repot. 3) Tentang Adam dan Hawa terusir dari jannah; dikisahkan bahwa adam dan hawa digambarkan hidup di "jannah" adalah serba enak, karena apa yang diinginkan menjadi terpenuhi karena serba given, tidak perlu susah berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Selanjutnya Ada larangan dari Allah berupa larangan mendekati "syajarah", Adam dan Hawa tidak hanya melanggar mendekatinya malah memakan "buah dari syajarah" tsb karena bujuk rayu syetan. Sehingga sanksi yang didapat adalah auratnya terlepas yang digambarkan meraih daun-daun di jannah untuk menutupi auratnya, sanksi berlanjut dengan disingkirkannya Adam dan Hawa dari "jannah" hidup terlunta-lunta penuh penderitaan di bumi. Sebenarnya kisah tsb menggambarkan adanya siklus kehidupan umat manusia, bahwa kehidupan yang dialami Adam dan Hawa di "jannah" yang serba given dan enak itu juga dialami pula oleh seluruh manusia termasuk kita, bahwa kita mengalami siklus kehidupan yang pertama di alam rahim (uterus) yang berupa janin (amat menarik bahwa sebenarnya kata "janin" ini dekat maknanya dengan "jannah") bukankah ketika kita sebagai janin tidak pernah susah memikirkan sandang pangan dan papan, karena semuanya sudah disuply sepenuhnya oleh ibunda yang mengandung kita. Selanjutnya ketika Adam dan Hawa tersingkir dari "jannah" hidup terlunta-lunta di bumi, yang semula hidup serba given berubah menjadi serba berusaha kadang gagal, kadang berhasil. Siklus demikian juga dialami kita (anak cucu adam), setelah menjadi janin berproses menjadi bayi selama 9 bulan dikandung ibunda giliran keluar menghirup alam dunia terputuslah placenta tsb sehingga bayi yang dilahirkan selalu menangis tibalah siklus berikutnya yaitu tidak serba given model supply makanan dengan placenta, berubah ke siklus serba berjuang butuh effort banyak pihak untuk melanjutkan kelangsungan hidup, disusui, dimandikan dan sebagainya, disapih hingga mandiri ada proses panjang untuk memaknai hidup yang sebenarnya. 4) Tentang Adam d
[wanita-muslimah] Theology and power
http://www.kuwaittimes.net/read_news.php?newsid=NDIyNDAxMTY0 In My View Theology and power Published Date: June 25, 2009 By Fouad Al-Obaid, Staff columnist Many times we hear that religion and politics go hand in hand, to many, they actually complement each other. The latter is there to ensure the proper implementation of the former or so is the belief! What many fail to recognize is that, as in any field or profession, if one is not educated properly in the field, then perhaps s/he should not be entrusted to work. I will give you a clear example; if one is not properly educated in the science of medicine and if one is not adequately qualified to become a sur geon. If you know that such is the case and that your life depends on the skills of a given doctor to cure an illness that requires surgery, would you opt to be operated by a qualified surgeon or by a surgeon that is well- read on every major operation yet has practiced none?! Clearly, the idea of having a priest King is ideal for it would combine the two distinct worlds together, like a Khalifa that would rule based on theology. Nevertheless, we have experienced time and again through history that theological regimes or regimes that claim to gain their legitimacy from the Almighty are bound to fail at one point or another. In our contemporary world, amid our direct neighbor we have clear examples of theology and the negative impact such rules have on the daily lives of their citizens. What comes worse than theological rule, is a dictatorial theology whereby one is not even allowed to challenge through religion the various edicts passed by the ruling 'mullahs' who have taken the job of being God's vice-regents on earth as if the kingdom of heaven passes first through their approval and then to God! What I find ludicrous is the fact that even though we are all given a test in this life for those that believe, and that the test is not an open book test nor is it a group project whereby people pass if they ally themselves with more versed individuals. We are clearly told that a day will come when we will all be held accountable for our own actions and that on such a day no one will be of use to us, not even our parents! With such clear warnings, I find it absurd for the least that people are not willing to seek the truth for themselves. I find it bizarre that people are scared to seek within the various revelations, the truth that will set their conscious free rather than merely rely on unreliable people that seek power at any cost. We are all prisoners of conscience due to our inability to challenge theology for fear of damnation, as if the 'mullahs' have such power. It is saddening that those that are unable to convincingly argue their points resort to fear, for they know that their answers will come short of convincing the masses if they don't confuse in their speeches. The ultimate tool to control masses; the promise of an unknown that these so to speak of 'mullahs' have access to. More importantly this is how they derive their ultimate power. May we all be guided to the path of truth and righteousness and that we may live together in peace regardless of our beliefs. The judge on that matter will make a manifestation on his decision at a later time. In the meantime, righteous actions are what people should strive to accomplish. fo...@kuwattimes.net [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] When Sex Leaves the Marriage
http://well.blogs.nytimes.com/2009/06/03/when-sex-leaves-the-marriage/?pagemode=print June 3, 2009, 1:07 pm When Sex Leaves the Marriage By Tara Parker-Pope Is your relationship still filled with sparks? (Lauren Fleischman for The New York Times) Why do some couples sizzle while others fizzle? Social scientists are studying no-sex marriages for clues about what can go wrong in relationships. Married men and women, on average, have sex with their spouse 58 times a year, a little more than once a week, according to data collected from the General Social Survey, which has tracked the social behaviors of Americans since 1972. But there are wide variations in that number. Married people under 30 have sex about 111 times a year. And it's estimated that about 15 percent of married couples have not had sex with their spouse in the last six months to one year, according to Denise A. Donnelly, associate professor of sociology at Georgia State University, who has studied sexless marriage. I recently spoke with Professor Donnelly about how much researchers really understand about no-sex marriages. Here's our conversation. Is there any indication that the sexless marriage is becoming more common? Or are we just hearing about it more? I suspect that we just hear more about it. Back in the days before reliable birth control, having a sexless marriage was one way of limiting family size. Those were also the days when women were not supposed to enjoy sex and often used it as a bargaining tool in their marriages (because they were socialized to do so). Plus, unhappy couples (who are less likely to have sex) were more likely to stay together because of social expectations, or because they had children they were raising. Why does a marriage become sexless? Does it start that way? Or does sex fade? The answer to that one is both. Some of the people in our sample never had much sex from the beginning, while others identified a particular time or event (childbirth, affair) after which sex slowed or stopped. Some people become accustomed to their spouse, bored even, and sex slows. For others, it is the demands of raising a family, establishing a career, and mid-adulthood. And there are people who have very low sex drives, and may even be asexual. They may have some sex with their partners to begin with, but it becomes unimportant to them (and usually not so unimportant to their spouses). These folks may also be dealing with guilt, issues with the human body, or feel that sex is "dirty" or only for procreation. A small number of couples showed a mixed pattern, where they would have periods of "feast" and of "famine." Are couples in sexless marriages less happy than couples having sex? Generally, yes. There is a feedback relationship in most couples between happiness and having sex. Happy couples have more sex, and the more sex a couple has, the happier they report being. But keep in mind that sex is only one form of intimacy, and that some couples are fairly happy (and intimate) even without sex. In my 1993 study, I did find that people in sexless marriages were more likely to have considered divorce than those in sexually active marriages. There is no ideal level of sexual activity - the ideal level is what both partners are happy with - and when one (or both) are unhappy, then you can have marital problems. Can people in a marriage that has become sexless rekindle their sex lives? Some do. But once a marriage has been sexless for a long time, it's very hard. One or both may be extremely afraid of hurt or rejection, or just entirely apathetic to their partner. They may not have been communicating about sex for a very long time (if ever) and have trouble talking about it. Couples who talk over their sex lives (as well as other aspects of their marriages) tend to have healthier marriages, but it's hard to get a couple talking once they've established a pattern of non-communication. There are mixed opinions about what to do to rekindle marital sex. For some couples, it may be as simple as a weekend away from the kids, taking a vacation or cruise, or just having some time off, alone. Others may need help in re-establishing communication and may seek professional assistance. The sad fact is that there are few counseling professionals that deal with this issue. Often, marriage counselors focus on other aspects, rather than sex. While these other aspects may play a big role in sexual inactivity, talking explicitly about sex is essential. Are people in sexless marriages more likely to get divorced? In my studies, as well as others, people in sexless marriages report that they are more likely to have considered divorce, and that they are less happy in their marriages. Some of our former respondents have kept in touch with me, and the happiest ones are actually those that have moved on to other partners. It may be that lack of sex is a signal that all intimacy in a marr
[wanita-muslimah] In New Theory, Swine Flu Started in Asia, Not Mexico
http://www.nytimes.com/2009/06/24/health/24flu.html?_r=1&ref=asia June 24, 2009 In New Theory, Swine Flu Started in Asia, Not Mexico By DONALD G. McNEIL Jr. Contrary to the popular assumption that the new swine flu pandemic arose on factory farms in Mexico, federal agriculture officials now believe that it most likely emerged in pigs in Asia, but then traveled to North America in a human. But they emphasized that there was no way to prove their theory and only sketchy data underpinning it. There is no evidence that this new virus, which combines Eurasian and North American genes, has ever circulated in North American pigs, while there is tantalizing evidence that a closely related "sister virus" has circulated in Asia. American breeding pigs, possibly carrying North American swine flu, are frequently exported to Asia, where the flu could have combined with Asian strains. But because of disease quarantines that make it hard to import Asian pigs, experts said, it is unlikely that a pig brought the new strain back West. "The most likely scenario is that it came over in the mammalian species that moves most freely around the world," said Dr. Amy L. Vincent, a swine flu specialist at the Agriculture Department's laboratory in Ames, Iowa, referring, of course, to people. The first person to carry the flu to North America from Asia, assuming that is what happened, has never been found and never will be, because people stop carrying the virus when they get better. Moreover, the officials said, the chances of proving their theory are diminishing as the virus infects more people globally. It has now reached more than 90 countries, according to the World Health Organization. Since some of those people will inevitably spread it to pigs, its history will become impossible to trace. "To tell whether a pig is newly infected by a human or had the virus before the human epidemic began really can't be done," said Dr. Kelly M. Lager, another Agriculture Department swine disease expert. The highly unusual virus - which includes genetic bits of North American human, avian and swine flus and Eurasian swine flu - has not been detected in any pigs except those in a single herd in Canada that was found infected in late April. A carpenter who worked on the farm after visiting Mexico had been thought to have infected the herd. But in mid-June, Canadian health agencies said he was not to blame. The whole herd was culled, and the virus has not been found elsewhere in Canada, as it would have been if it were endemic, since American and Canadian laboratories test thousands of flu samples to help the pork industry develop vaccines. But a sample taken from a pig in Hong Kong in 2004 was recently found to have a virus nearly matching the new flu. That flu, which had seven of the new flu's eight genome sequences, was noted in an article in Nature magazine on June 11, which called it a "sister virus." Scientists tracking the virus's lineage have complained that there is far too little global surveillance of flu in swine. Public databases have 10 times as many human and avian flu sequences as they do porcine ones, said Dr. Michael W. Shaw, a scientist in the flu division of the Centers for Disease Control and Prevention, and there are far fewer pig flu sequences from Asia than from North America and Europe, and virtually none from South America or Africa. "Something could have been going on there for a long time and we wouldn't know," Dr. Shaw said. But national veterinary officials said they knew of no close relatives of the new virus in the large private North American databases, either. That makes it most likely, they said, that it has been circulating in Asia. The new virus was first isolated in late April by American and Canadian laboratories from samples taken from people with flu in Mexico, Southern California and Texas. Soon the earliest known human case was traced to a 5-year-old boy in La Gloria, Mexico, a rural town in Veracruz. Because that area is home to hog-fattening operations with thousands of pigs in crowded barns near lagoons of manure, opponents of factory farming were quick to blame the industry. In May, the Mexican government said it had tested pigs on the Veracruz farms and found them free of the virus. Smithfield Foods, an owner of the farms, and the National Pork Producers Council, the industry's lobbying arm, were quick to publicize that announcement. But outside veterinary experts still disagree on whether those tests proved anything. According to Smithfield, Mexican government veterinarians tested snout swabs taken on April 30 and blood samples stored since January. But since the human outbreak in Veracruz is believed to have started in February, many veterinary experts said testing pig snouts for live virus in April proved nothing. Any pig sick in February would have long since recovered and, since hogs are usually slaughtered at 6 mont
Re: [wanita-muslimah] Jilbab - kewajiban jangan diremehkan
Lha, masih mau dipolitisasi atau memang mau mendengarkan yang seharusnya. Suatu bangsa akan hancur bila senang dipolitisasi. Jadi, sudah waktunya kita angkat kejujuran dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, TV di Jepang selalu menyiarkan sejarah perkembangan kebudayaan manusia, misalnya kapan kertas dibuat manusia, kapan pakaian dibuat manusia, lalu dari manusia mana yang pertama kali membuat pakaian. Istilah sekarang kita bisa pelajari sejarah penemuan segala sesuatu. Sayangnya masih bahasa Inggris, sehingga tidak terjangkau oleh umum. Suwun, chodjim - Original Message - From: L.Meilany To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, June 26, 2009 12:57 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Jilbab - kewajiban jangan diremehkan Nimbrung2 Pak Chodjim mustinya menyelaraskan dengan pengertian umum :-) Jilbab bagi awam di Indonesia pengertiannya adalah yg seperti dipakai istri2 JK Win. Atau seperti yg dipakai oleh perempuan PKS, yg lebar panjang. Salah kaprah ini kan juga melebar ke pengertian lain. Misalnya kalo beli di warung pinggir jalan ' air mineral' banyak yg gak ngerti. Tapi bilang ' beli aqua', dikasihlah air mineral meskipun mereknya bukan aqua. Bisa merk prima, vit, dlsb. Mau naik 'bus trans jakarta' [ ini yg bener kan?] pasti banyak yg gak tau. Yg umum adalah mengatakan mau naik 'bus way-baswei' Salam, l.meilany - Original Message - From: achmad chodjim To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 23, 2009 4:01 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Jilbab - kewajiban jangan diremehkan Urun rembug, Mas Wikan. Sebenarnya 90% orang Indonesia itu sudah berjilbab, tidak peduli mereka itu Kristiani maupun pemeluk Hindu dan Buddha. Jilbab itu bahasa Arab yang artinya "pakaian luar". Jadi, amat keliru kalau kita menyebut Ibu Megawati, Ibu Ani SBY dan Ibu Budiono itu tidak berjilbab. Kesalahan orang kita, kita memaksakan pakaian luar kita itu seperti orang Arab. Padahal, setiap negeri itu memiliki model pakaian luar sendiri-sendiri. Wassalam, chodjim - Original Message - From: Wikan Danar Sunindyo To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Sunday, June 21, 2009 3:19 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Jilbab - kewajiban jangan diremehkan mas istiaji saya mau nanya apakah dosa pertama nabi adam dan ibu hawa adalah membuka aurat ataukah memakan buah khuldi lalu pada saat apa mereka berdua membuka aurat apakah saat mereka sudah menikah atau belum? wassalam, -- wikan 2009/6/21 istiaji sutopo > > > As salaamu'alaikum wr. wb. > > Benar sekali, penutupan aurat sangat tinggi nilainya dimata Allah swt. > bukan semata selembar kain tetapi adalah " pakaian taqwa " > > Menanggapi bung Sembiring, justru malahan karena selembar kain masalah > ekonomi, kesehatan dan pendidikan akan selesai - karena Rahmat Allah > swt. Insya Allah akan turun dengan derasnya Jangan diremehkan > hal-hal yang ghaib. Perhatikan Al Qur'an QS 002 Al Baqarah ayat 003 > > Lihatlah bagaimana dosa pertama Adam as dan Hawa as adalah membuka > aurat, meskipun dikiaskan atas pelanggaran larangan memakan / mendekati > suatu pohon tertentu, sebagai semata-mata ujian Tuhannya, untuk > bagaimana manusia diuji menta'ati apapun tanpa syarat atau logika lagi, > tentang perintah dan larangan Allah swt. yang kita harus katakan " > super absolut " ... [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] The Age, Sunday, June 28, 2009 - Aussie Spy Data Points to Papua Murder Cover-Up
The Age, Sunday, June 28, 2009 Aussie Spy Data Points to Papua Murder Cover-Up by Tom Hyland NEW details of secret Australian surveillance of Indonesia's Papua province have emerged, revealing that Australian officials believed Indonesian military weapons were used in the murder of two US citizens. Documents show the officials told US diplomats within hours of the 2002 shooting that automatic Steyr rifles were used. The US State Department documents show the Australians passed on the information on August 31, 2002 - the day the two US school teachers and an Indonesian colleague were shot dead. They were ambushed on an isolated road near the giant US-owned Freeport-McMoRan gold and copper mine, where the three worked. The heavily censored documents were obtained under freedom of information by US researchers, who say they show Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono stalled US efforts to allow the FBI to investigate the killings. Pro-independence guerillas were blamed, but human rights groups have long accused the Indonesian military of involvement - a suspicion initially shared by Indonesian police. The US documents provide the latest insight into Australia's close knowledge of events surrounding the shootings. Two months after the ambush, Australian spy agencies were reported to have given the US intelligence relating to a planned military attack on the Freeport mine, designed to discredit the pro-independence Free Papua Movement (OPM). And last year, The Sunday Age revealed Australian government officials imposed extraordinary secrecy when eight wounded survivors of the ambush were flown to Townsville Hospital. The newly obtained documents are further evidence of a cover-up surrounding the ambush, says Eben Kirskey of the University of California who has researched the killings. The documents include a cable written on the day of the ambush by the US embassy in Jakarta and sent to the State Department in Washington and US embassy in Canberra. It reveals officials at the mine were reluctant to blame OPM guerillas for attacking the teachers, who were "specifically and deliberately targeted". The cable continues: "There are reports from Australian sources close to provincial police that the automatic weapons used in the attack were manufactured by Steyr, a weapon not typically used by the OPM in the past, though (it) is a common make in Indonesian security force inventories in the province." Indonesian police ballistics experts later identified three types of military weapons used in the shooting, including M16s, which fire the same cartridge as the Steyr. The embassy cable posed three possible explanations for the attack: the OPM had abandoned its practice of not targeting foreigners; the attack was carried out by "some rogue security force"; or it was a terrorist attack - an option the cable ruled out. Documents obtained by Dr Kirskey and Indonesian journalist Andreas Harsono last year revealed the extent of Australian secrecy when the survivors of the attack arrived in Townsville the next day. The survivors were barred from calling relatives for almost two days and from talking about the identity of their attackers. Australian police imposed extraordinary security on the hospital, while US diplomats took the unusual step of asking an Australian military officer to check on the condition of the patients. Separate inquiries published by The Sunday Age last September disclosed unidentified government officials effectively took charge of non-medical operations at the hospital, under a directive issued at "high government level". Two months after the shooting, The Washington Post reported that US officials had obtained information showing Indonesian military officers had discussed an operation against Freeport before the ambush, aimed at discrediting the OPM so the US would declare it a terrorist organisation. The information included details of a conversation secretly intercepted by an Australian agency - likely to be the top-secret Defence Signals Directorate, which monitors mobile phone, radio and internet messages. The new documents show President Yudhoyono stalled in the face of US pressure to allow the FBI to investigate the killings, which Indonesian police initially blamed on the military. In 2006, seven men were sentenced over the killings, including alleged ringleader Antonius Wamang, who received a life term. -- No virus found in this outgoing message. Checked by AVG - www.avg.com Version: 8.5.375 / Virus Database: 270.12.93/2206 - Release Date: 06/27/09 17:55:00 [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Siapakah dirimu?
Siapakah dirimu? mungkin kau merasa bukan orang miskin, karena kau bisa memberi apa adanya, kau pun tertawa gembira, padahal kau bukan orang kiri, juga bukan orang kanan, tak pula mengepalkan tangan, mungkin kau merasa sendirian, atau kau tak punya siapa pun, di taman kau bersama anjing, terlihat tertawa gembira, padahal tak seorang pun menyapamu di jalan, juga tetanggamu tak mengenalmu, tak ada pula yang mengucapkan selamat pagi, apalagi mengucapkan selamat malam, siapakah dirimu? Amsterdam, 26 Juni 2009 Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://sastrapembebasan.wordpress.com/ [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Strong Leadership Needed on Poverty
http://thejakartaglobe.com/opinion/strong-leadership-needed-on-poverty/314518 June 25, 2009 Editorial A child sits near his makeshift house underneath a toll road in Jakarta on Thursday. (Photo: Supri, Reuters) Strong Leadership Needed on Poverty With the sharpest economic downturn in living history hampering poverty reduction efforts in developing nations, the topic of Thursday night's presidential debate was spot-on. As the crisis continues to drag on and more companies either fold or downsize operations to survive, the poverty and unemployment situation in the country will worsen. Unemployment in the country is expected to increase by about 9 percent this year, which translates to about nine million jobless Indonesians who can't provide for their families' needs, consequently exacerbating the poverty situation. And if we take underemployment into account, we are talking about more than 30 million Indonesians who are unable to make ends meet, further straining the country's already poor social services infrastructure. For Indonesia, poverty, which officially grips 15 percent of the population, and unemployment are the twin challenges the next president must seriously address . However, all three presidential candidates failed to propose any meaningful programs to address society's widening income gap. They all stuck to the hackneyed approach of meeting the basic needs of the poor first, while setting aside socioeconomic needs. Empathy often compels us to help the poor by throwing money at them; but to really help the poor, we must provide decent jobs. Poverty eradication is not just about making sure families have three meals a day; it is also about ensuring access to health care and education, providing opportunities to earn a decent income, making sure the rule of law is upheld and eliminating corruption. It is about embracing the foundations of democracy, the rule of law and free markets. Empowerment, rather than bigger government and a bloated bureaucracy set up to monitor "pro-poor programs," is the solution to the country's problem. We as a nation must invest heavily and continuously in infrastructure and human development. We must improve and reform our educational system to produce people who can work in modern industries and thereby improve their standard of living. We must lower taxes so companies, businesses and individuals can invest more, thus creating a virtuous cycle of growth and innovation. A strong rupiah policy must be pursued so our currency has greater value, which builds confidence and encourages spending. Having a sound macroeconomic policy and a light touch on regulations will do far more to alleviate poverty than any government program. We therefore fully applaud the nomination of Finance Minister Sri Mulyani Indrawati as the next governor of the central bank. With her appointment, there will be improved coordination between Bank Indonesia and the Ministry of Finance. Sri Mulyani has done an outstanding job as finance minister. She would bring her powerful intellect, her sense of national duty and her no-nonsense approach to reform to the central bank, and thereby strengthen this crucial institution, which has suffered from recent scandals [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] It's Not Just Doctors That Indonesia Needs
http://thejakartaglobe.com/opinion/its-not-just-doctors-that-indonesia-needs/314387 June 25, 2009 Sudirman Nasir It's Not Just Doctors That Indonesia Needs The heated campaigns to win over voters for the upcoming presidential election are now part of our daily routine. Each candidate pair offers populist programs such as poverty eradication, more accessible education and health services. Jusuf Kalla, for instance, stated explicitly that if elected as the next president, he would significantly increase the budget to provide more qualified specialist doctors and better hospitals in order to increase public health services. As in other developing countries, public health issues are not considered mainstream or "sexy" issues in the Indonesian political arena. Public health issues tend to be perceived as too technical and specific and thus are mostly raised only by medical and public health experts and practitioners. Politicians respond to public health issues only sporadically. Moreover, as Kalla's statement attests, our politicians tend to think that by simply providing high-quality doctors, better and more accessible hospitals and clinics, the health status of our citizens will automatically improve. These politicians also tend to see public health issues separate from wider political and socioeconomic issues. High-quality doctors and better hospitals are clearly necessary but are not sufficient by themselves to improve public health. Abundant research shows that to enhance important public health indicators, such as the mortality rate and life expectancy, the fulfillment of basic rights related to adequate nutrition, sanitation, housing and education is a crucial requirement. To improve these public health indicators, fulfilling basic rights is much more important than simply making treatment facilities available. Guaranteeing basic rights functions as a preventative system to reduce the prevalence of infectious diseases. Providing treatment facilities without fulfilling the above basic rights will not significantly improve important public health indicators. Research indicates that developed countries with high life expectancy rates - such as those in Western Europe, Scandinavia, North America, Australia, New Zealand and Japan - prioritize adequate nutrition, sanitation, housing and education. The same can be said of developing countries that have been successful in significantly increasing life expectancy rates, such as Cuba, Chile, Sri Lanka, Malaysia, Thailand and the state of Kerala in India. It is therefore essential to urge our leaders, including the presidential and vice presidential candidates, to broaden their vision on public health issues to encompass the fulfillment of basic rights in tandem with the need to improve the quality of our health services. In doing so, we need to widen our horizons to take into consideration the socioeconomic determinants of health. It is apparent that important public health issues, such as the spread of many infectious diseases, do not occur at random or in a social vacuum. Socioeconomic inequality and poverty are the underlying factors of the transmission of infectious diseases. It is not surprising that the mortality caused by infectious diseases occurs mostly in disadvantaged areas and among people from low socioeconomic backgrounds. Lack of access to basic sanitation, nutrition, clean water, housing and a lack of access to health information plays key roles in producing risky environments and renders residents vulnerable to various infectious and communicable diseases. Poverty is both a cause and a consequence of diseases. In the last two decades, many public health researchers have advocated the urgent need for structural intervention on public health problems. The underlying factors of public health issues, such as socioeconomic inequality, poverty and deprivation, should be tackled if we are to improve health status and wellbeing. Narrow-minded and out-of-date perspectives that merely see public health issues through biomedical or curative lenses should be reformed. Socioeconomic determinants of public health problems are increasingly important, particularly in countries like Indonesia that are characterized by rampant poverty, unemployment and stark socioeconomic inequality. In this context, Indonesia urgently needs to learn from other countries that have fulfilled the people's basic right to nutrition, housing, sanitation and education. Curitiba, in Brazil, is an example of a developing-world city that has addressed socioeconomic determinants of health by fulfilling basic rights in housing and sanitation, particularly among the urban poor, and stimulating people's participation in waste management by providing food incentives. India's Kerala state is famous for improving its public health situation, compared to other states in India, due to its serious and sustainable effor
[wanita-muslimah] Agencies Defy Government Ban On Sending Workers to Malaysia
http://thejakartaglobe.com/home/agencies-defy-government-ban-on-sending-workers-to-malaysia/314746 June 26, 2009 Anita Rachman An Indonesian maid cleans her employer house in Kuala Lumpur. (Photo: Zainal Abd Halim, Reuters) Agencies Defy Government Ban On Sending Workers to Malaysia Despite a government ban on sending domestic workers to Malaysia, some labor placement agencies are continuing to send their workers to the neighboring country, Yunus Yamani, chairman of the Association of Indonesian Labor Exporters, told the Jakarta Globe on Friday. "The government has put us in a difficult position. We have thousands of workers ready to be sent to Malaysia, with their passports, visas and even tickets to fly," he said. "I demand the government give us a solution to this issue. We can't just immediately stop the process." Yunus refused to name the companies that are still sending domestic workers to Malaysia, but Rusdi Basalamah, vice chairman of the Migrant Worker Service Company Association (Apjati), said that up to 100 workers departed for Malaysia on Friday. "Today [Friday] there are 60 to 100 workers flying to Malaysia, and how can you stop them if they have signed working agreements?" he said, adding that he was yet to receive an official letter from the ministry on the ban and therefore could not issue an order to association members to stop sending workers to Malaysia . Following several reports of abuse, Manpower and Transmigration Minister Erman Suparno said on Thursday that the government had decided to suspend sending domestic, plantation and construction workers to Malaysia until the neighboring country agreed to review a memorandum of understanding signed in 2006. Indonesia also demanded that the Malaysian government give Indonesian workers there one day off each week and the right to take leave. Erman told the press that he would issue an official letter to placement agencies and related ministries as a follow-up to his statement. However, Yunus said that by Friday he had not received any official correspondence from the government. "It was just a statement reported by media," he said. "We did not receive any letter that orders us to stop sending workers." Rusdi said that labor agencies would continue to send workers until the government provided a clear explanation and an official letter on the ban. He also said that many labor agencies were confused as to whether the ban was on recruiting or sending workers to Malaysia. "And what about thousands of workers that have spent months in training? Are they not allowed to go now?" he asked. "They should have a clear definition on this, because otherwise it will just hurt the workers." [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Iran uprising fizzles out as Mousavi backtracks
http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/iran-uprising-fizzles-out-as-mousavi-backtracks-1721550.html Iran uprising fizzles out as Mousavi backtracks Ahmadinejad close to sealing election / Cleric says protesters should be executed By Kim Sengupta Saturday, 27 June 2009 AP A poster for the opposition leader Mirhossein Mousavi that has been defaced in Tehran A senior Iranian cleric yesterday called for protesters to be executed as "enemies of Allah", as authorities came one step closer to formally declaring Mahmoud Ahmadinejad winner of the disputed election. The demand that demonstrators "must be shown no mercy" came as the main opposition leader Mirhossein Mousavi took a more conciliatory attitude towards authorities by saying he will seek official approval for future demonstrations - a significantly more emollient stance than 24 hours earlier, when he vowed to "neutralise this evil conspiracy" against the public. In addition his website was attacked by hackers, and is now blank. The latest moves may signal the beginning of the end for the protests, which have swept Iran since the incumbent President Ahmadinejad claimed a landslide victory. The number of people attending marches has dwindled after demonstrators repeatedly came under attack from police and the Islamist Basiji militia, and almost 1,000 people were arrested. Related articles a.. Karim Sadjadpour: The crowds have gone but Tehran has changed forever b.. Robert Fisk's World: The jury is out on the Iranian model of religion and politics Iran's Guardian Council yesterday seemed close to endorsing President Ahmadinejad as victor, in what it maintained was "one of the cleanest elections we have had". Spokesman Abbasali Kadkhodai said allegations of fraud by the opposition had proved groundless. "After 10 days of examination we did not see any major irregularities," he said. "I can say with certainty that there was no fraud in the election." In his latest message Mr Mousavi urged supporters not to break the law, while maintaining that the struggle to have the polls annulled must continue. The opposition leader said he had been asked by the Interior Ministry to apply in person for rallies to be authorised, and to give a week's notice. He pointed out that while restrictions were imposed on his protests, supporters of President Ahmadinejad were able to hold marches "that were well publicised on state television, seeming to encourage participation, with their regularly advertised march routes." The attitude of the hardliners meanwhile appears uncompromising. In a sermon at Tehran University, a venue believed to have been chosen deliberately because of the prominent role played by students in the protests, one Assembly of Experts member, Ahmad Khatami, said: "I want the judiciary to punish rioters without mercy, to teach everyone a lesson." Mr Khatami's speech, which was broadcast nationwide, continued: "Based on Islamic law, whoever confronts the Islamic state should be convicted as mohareb [one who wages war against God] and punished ruthlessly and savagely. Under Islamic law punishment for those convicted as mohareb is execution." He also claimed that Neda Agha Soltan, the icon of the opposition shot dead last Saturday, was killed by demonstrators. But Associated Press reported that a Basij militiaman shouted "I didn't want to kill her" after she died. Demonstrators stripped him of his identity card and took his photograph before letting him go. The US, which has taken a harder line towards the regime in the past few days, has accused President Ahmadinejad of trying to deflect attention from popular discontent at home by blaming outsiders. White House spokesman Robert Gibbs said: "President Ahmadinejad is among people in Iran who want to make this not a debate among Iranians in Iran but about the West and the United States." Russia, which along with China, had maintained that the election result should be accepted, said it was nevertheless, worried by the scale of violence by authorities. Foreign Minister Sergei Lavrov said: "We count on all questions which have arisen in the context of the elections being resolved in accordance with democratic procedures." [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] After 150 years, consensus nears on making homosexuality legal
http://www.hindustantimes.com/StoryPage/StoryPage.aspx?sectionName=HomePage&id=866ecefc-9d70-4f7e-9da8-36af4ccbe3a2&Headline=After+150+years%2c+consensus+nears+on+making+homosexuality+legal After 150 years, consensus nears on making homosexuality legal Nagendar Sharma, Hindustan Times New Delhi, June 28, 2009 First Published: 01:04 IST(28/6/2009) Last Updated: 01:09 IST(28/6/2009) Ahead of annual marches by gays and lesbians in many Indian cities on Sunday, there is good news for them - having sex may no longer be a crime. Signalling a major shift in its once-unyielding stand, the government has for the first time indicated it is willing to review a controversial 150- year-old law that makes homosexuality a criminal offence. A meeting between the Home, Health and Law ministers is likely to be convened soon to discuss the issue of either completely repealing or amending section 377 of the Indian Penal Code (IPC), which provides for 10 years imprisonment for "unnatural sex". That includes homosexuality. "The issue was being discussed in Ministry of Home Affairs and Health Ministry and it will come before the Law Ministry also," said union Law Minister M. Veerappa Moily. "The Home minister will convene a meeting of the three ministers soon." Earlier this month, Moily said "some sections of the IPC are outdated and may require a fresh look." Home Minister P. Chidambaram will chair the meeting, which is likely to evolve a fresh stand acceptable to all three ministries. The flexibility in the government stand follows the change of guard in all the three key ministries. While Chidambaram and Moily are understood to be in favour of a fresh look on the issue, Health Minister Ghulam Nabi Azad hasn't yet revealed what he thinks. Previous Home and Law ministers Shivraj Patil and H. R. Bhardwaj strongly opposed any change in the controversial IPC section. "The purpose of section 377 IPC was to provide a healthy environment in the society by criminalising unnatural sexual activities against the order of nature. The Health ministry is welcome to take all steps for ensuring better health of the people, but no tampering with well laid down legal procedure can be allowed without a firm reasoning," Bhardwaj had told HT in October last year. This was why the UPA government in its first term refused a proposal from former Health Minister Dr Anbumani Ramadoss to make gay sex legal. The Health ministry had argued that the provisions of the existing law "push HIV people underground, which makes such risky sexual practices go unnoticed". The Home and Health ministries had taken opposite stands last year, in their replies to the Delhi high court, on a petition filed by an NGO called the Naaz Foundation. The Home ministry had strongly opposed any change in the IPC, while the Health ministry was in favour of scrapping the controversial section. The scales were finally tilted in favour of the Home ministry when the law ministry supported its stand and made it clear that the government was not in favour of any change in the existing law. The arguments in the Delhi high court are complete and the verdict is expected soon. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Syria threatens to take back Golan by force
http://www.haaretz.com/hasen/spages/1095962.html Last update - 00:10 28/06/2009 Syria threatens to take back Golan by force By Haaretz Service Syrian officials threatened on Saturday to take back the Golan Heights by force if a peace agreement involving the return of the strategic plateau is not reached with Israel, Army Radio reported. A group calling itself the Syrian Committee for the Freedom of the Golan said it would take steps to regain control of the territory, adding that Israel has not shown willingness to achieve peace or to return what they called "Syrian land." The comments were made at the inauguration ceremony, attended by Syrian President Bashar Assad, for a new communications center in Quneitra. Advertisement "The communications center will report on the troubles of Syrian residents residing in the occupied Golan under barbaric and racist Israeli rule," Syrian Information Minister Mohsen Bilal was quoted as saying at the ceremony, in a reference to Druze in the Golan who wish to live under Syrian sovereignty. Last Sunday, Assad rejected Prime Minister Benjamin Netanyahu's offer to resume peace talks between the two countries from "point zero." Assad said the negotiations should resume from the point at which they stopped under former Prime Minister Ehud Olmert, when the two sides had planned to formulate mutual commitments that would enable the talks to move to a direct negotiations stage. The indirect negotiations stopped some six months ago, following Operation Cast Lead, and the announcement of early elections in Israel. Israel gained control of the Golan Heights during the 1967 Six-Day War. Syria insists that the basis for peace talks with Israel is a full withdrawal from the territory. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Debate over Kuwait democracy
http://www.gulfnews.com/news/gulf/kuwait/10326075.html AP Kuwait's Interior Minister Shaikh Jaber Khalid Jaber Al Sabah reacts during the National Assembly session in which several MPs subjected him to questioning on Tuesday in Kuwait City. Debate over Kuwait democracy Reuters Published: June 25, 2009, 23:01 Dubai: The ups and downs of parliamentary democracy in Kuwait are being used by some leaders in the region to discredit the idea of representative government that dilutes their immense powers, analysts say. A new episode in the soap opera of Kuwait's system began this week with an attempt by parliamentarians to force out the interior minister, who is a member of the ruling family. The Al Sabah family, which dominates the Cabinet, is expected to remove him rather than see one of its own face a public thumbs-down in a no-confidence vote set for July 1. Last month the former British protectorate of 3.2 million - one of the world's largest oil exporters - held its third elections in three years, part of a protracted tussle for power between the ruling family and elected parliamentarians. But the trend in the region, from commentary in state-dominated media to official statements, has been to cite Kuwait - unique in its wide, free vote for a parliament with teeth - as an argument for more dynastic rule. Countries in the region often cite khususiyya, or special characteristics, to justify limiting popular participation in government and prefer to avoid the word "democracy". Western governments, who back the leaders in the region, also look askance at the sight of Islamists spoiling plans for economic liberalisation in Kuwait or gaining a say elsewhere. "The way things go are not encouraging with development [projects] blocked by deputies. Even Kuwaitis are embarrassed about their democracy," said a Western diplomat in Riyadh. Prince Nayef Bin Abdul Aziz, Interior Minister of Saudi Arabia, said this year Saudi Arabia, the Gulf's largest country at 25 million people, had no need for elections to its advisory Shura Council, and last month the absolute monarchy delayed municipal council polls for two years, snuffing out for now a brief democracy experiment. Islamists opposed to relaxing clerical influence were the main winners in the Saudi municipal vote in 2005, which was held after Western pressure to democratise. Now many liberals in the region look to the ruling families to protect them from the Islamists, who have popular support. Saudi intellectual Abdullah Al Gaddami said Western-allied Gulf governments would always brand the strongest opposition force, Islamist or otherwise, as an obstacle to progress. "If we'd had elections 40 years ago the socialists and leftists would have won, since that was predominant then. Now it's the Islamists," he said. "Democracy cannot impose results that it wants. That's another form of dictatorship." Analysts and democracy activists say the wrong lessons are being drawn from Kuwait's system, where deputies are seeking public accountability from ministers resistant to the concept. Turki Al Rasheed, a Saudi columnist who has observed Kuwaiti elections and ran a programme to encourage Saudis to vote in 2005, said ruling family members could not have it both ways. "You cannot have royal protection and be a salaried employee," he said, dismissing the idea that Kuwait set a bad example for democracy in the region. "We don't want decoration, we want to question people who call the shots." He said the Emir and his prime minister should appoint ministers based on merit rather than on bloodline. Assembly deputies are voted in as individuals since political parties are banned. The Emir has the power to pass legislation by decree and has suspended parliament three times, including for years on end. Yet government websites tout Kuwait as a "thriving democratic society with a democratic government". "Kuwait is an enlightening example in the region and it should stay glowing despite the pressure that anti-democracy governments exert on it," said blogger Ahmad Mansour [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] US sends weapons to govt in Mogadishu
http://www.arabnews.com/?page=4§ion=0&article=124056&d=26&m=6&y=2009 Friday 26 June 2009 (03 Rajab 1430) US sends weapons to govt in Mogadishu Abdi Guled | Reuters MOGADISHU: Washington has sent weapons to Somalia's government to thwart insurgents, who cut hands and feet of thieves yesterday and paraded the severed limbs in the streets of Mogadishu. Somalia's Al-Shabab insurgents are seen as a proxy for Al-Qaeda. They have rejected the election of Sheikh Sharif Ahmed, a Muslim religious figure, as president in January. Osama Bin Laden declared Ahmed an enemy in an audiotape released in March. He called on the insurgents to topple the government. The Washington Post said yesterday that arms and ammunition had been sent to the government in a move signaling that US President Barack Obama's administration wanted to thwart the hard-liners. "It's confirmed. They received approval from the UN Security Council," an international security source said. While the United Nations has had a long-standing arms embargo on Somalia, a May Security Council resolution urged member states to train and equip government security forces - as long as a UN embargo monitoring committee had no objections. Another foreign security source said weapons had come into Somalia for the government via Uganda, which provides half the 4,300 African Union troops protecting key sites in Mogadishu. "The prospect of the government collapsing is sending alarm bells ringing in Western capitals, but whether this latest move will succeed remains to be seen," said Rashid Abdi, analyst at International Crisis Group. "Going further than providing arms to actually sending in more foreign forces would be a mistake," he said. "The government would then play right into the hands of the militants, who would accuse them of accepting foreign meddling." Yesterday, Al-Shabab officials used long knives to cut off a hand and a foot each from four young men in Mogadishu as punishment for theft, witnesses said. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] I wish I were a maid
http://www.arabnews.com/?page=13§ion=0&article=124061&d=27&m=6&y=2009&pix=kingdom.jpg&category=Local Press Saturday 27 June 2009 (04 Rajab 1430) I wish I were a maid Bashayer Muhammad | Al-Watan A local columnist, in an article entitled "I wish I were a maid," wrote about maids and how they live with Saudi families. The writer expressed his resentment at how some Saudi families treat maids, including not letting them venture outside unless there is an emergency. I am surprised at why he is upset at the condition of maids when women are demanding the same thing that he demands for maids? Does this writer know that the condition of some maids is better than housewives? If maids are held inside their homes for two years, then housewives are being held for longer periods having left their families to come and live with their husbands. If they do leave home in extreme cases, then they do so with their husbands. Some families do not find any difficulty in sending their maids to the supermarket alone while their womenfolk are banned from leaving alone. A housewife told me that she wishes she were in her maid's shoes. She said she would be willing to trade all her luxury, including her cell phone and Internet, just to regain her freedom. The writer said he visited Indonesia and the Philippines and learned about the living conditions of women in these countries and the freedom of movement they enjoy there. I was wondering why the writer did not wish for Saudi women the same freedom these women have in their countries. I find it strange that he asks us to extend to maids the same living conditions here that they enjoy in their homelands, while ignoring Saudi women. I wonder, are we going to allow maids to leave homes without their abayas and hair uncovered? If the writer was demanding justice for them, like good working conditions with normal hours and on time payment of salaries, then I would agree with him 100 percent. We, as women, see justice for maids in treating them nicely and equally, and allowing them to wear what we wear and eat what we eat. With regard to freedom of movement - when maids receive this luxury, then we will also take half of it. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Women's transport: Solutions needed
Refleksi : Di Iran, Pakistan, Mesir etc wanita dibolehkan menyetir mobil, tetapi di Arab Saudia tidak dibolehkan wanita menyetir . Mengapa terdapat perbedaan dan apakah larangan ini sesuai dengan wahyu illahi? http://www.arabnews.com/?page=1§ion=0&article=124071&d=27&m=6&y=2009 Saturday 27 June 2009 (04 Rajab 1430) Women's transport: Solutions needed Laura Bashraheel | Arab News JEDDAH: In Saudi Arabia, the only country in the world where women are not allowed to drive, transportation is definitely an issue. Women are usually driven around by family members and personal drivers, or are forced to use some other type of private transportation. While the private transport is a booming business, the higher the demand the more expensive the supply becomes. Providing alternative solutions is the only exit. Some companies provide cars and drivers to ferry their women employees for work purposes, but not all companies have the budget to do that. Workingwomen, meanwhile, find it difficult getting to work and are often charged thousands of riyals a month in transportation. Hadeel Al-Amir, a 30-year-old employee at a private company, does not have a personal driver. Her husband also travels a lot and so she used to face an everyday dilemma when going to work. Therefore, she found a driver who charges SR1,200 a month to take her to and from work everyday. Of course, she pays extra to go to other destinations apart from work. "I pay SR40 per trip and sometimes even more if this driver is not available," said Al-Amir. Al-Amir receives SR300 a month in car allowance. "The government should provide more means of transportation," she added. She believes spending this amount of money on transportation is a "rip off." "Limousines could come in handy sometimes but I have to wait in the street to catch one," she said, explaining how she had to once wait for 20 minutes under the sun for a taxi. Many believe that buses would also be expedient. However, buses need stations and a bus network, something that the Kingdom lacks. The few buses that do operate in cities and towns across the Kingdom do so randomly. "I would go on a bus if the service was available the whole day," said Mona Ismaeel who is 25 and employed at a company on Jeddah's Madinah Road. "Me and my sisters spent huge amounts of money on transportation when we were studying at university, not to mention the harassment of drivers," she said. Mona's father died and she has no brothers. "My mother uses my aunts' drivers every now and then," she said, explaining how this is an embarrassing situation. The family bought a small car but drivers would not last long. "Drivers nowadays charge up to SR2,000 a month. We have a visa but our last driver only stayed with us for one month and then ran away so he could work illegally and earn double what he was getting from us," she added. Mona said the government should find a solution to the "humiliation" she and women like her face. "Rich people do not worry about transportation. They buy three cars instead of one and issue as many visas as they want," she said. Although the government is building bridges to ease congestion on Jeddah's roads, they are still far from finding solutions to the problem. The private sector, however, recognizes the potential of the chauffeur-driven car business. Meshwar, a car service company, provides transportation and charges by the hour. The service started three years ago and expanded due to high demand. According to Shadi Shakir, the company's marketing manager, most of the company's clients are women. "Our customers are those who do not have drivers and at the same time do not want to use taxis," he said. "The company was established to serve the needs of society. We are now increasing our business," Shakir said. Saudis, however, are not the only ones who suffer from a lack of transportation. Expatriates experience the same. They, however, are not allowed to issue driver visas. A German expatriate, who lives and works here along with his wife and son, faces a lot of problems especially since his wife works and son goes to school. "Now we have a car, we are not allowed driver visas," he said, adding that only foreign doctors and general managers are allowed that luxury, and that he does not fall into either category. "The only way to get a driver is on the black market. We've hired an illegal driver who charges SR1,800 a month," he said. He described his situation as a "nightmare" especially since his wife does not speak Arabic and so he has to find a driver who speaks English. At the same time, he worries about his son being ferried to school with a complete stranger. "A train, metro or a monorail could be really convenient. They would reduce the horrible traffic situation in Jeddah," he said.
[wanita-muslimah] sajak2 hl tanpa judul nongol lagi neh...
debu, yang hinggap di alis matamu, pergi bersamamu, ke tempat yang dibilang biangnya dosa, dimana nafsu dan cinta palsu bersatu, bajingan atau pahlawan kemaren sore? siapa yang mau tau? setan yang jadi saksi, dan sebaris puisi mimpi berdebu. -amsterdam, 27/06/2009--- legenda sepatu tua/berjuta langkah ditempuhnya/duri dan rintangan dilibasnya/berjuang tanpa putus asa/ilmu kudu percaya diri/jadilah dirimu sendiri! -amsterdam, 27/06/2009 memuja dewi malam/sukarela jadi fansnya/tersihir senyumnya/terpesona matanya/dongeng cinta di layar kaca/candunya asmara/memasung jiwa/lupa segalanya/lupa pada mertua! --amsterdam, 27/06/2009 cinta bisa basi/jika jarang dipanaskan/disihir api birahi/cinta jadi puisi/dalam tabung hampa/padamu semusim asmara/dirayu wangi bunga/enak ya? --amsterdam, 27/06/2009 berdiri di atas kaki sendiri/bukan jadi budaknya materi/bukan jadi kacungnya barat/ayo berdikari!/jangan bengong lagi/cukup sudah bermental kuli --amsterdam, 27/06/2009 sebaris puisi dikoreksi/rindu pada sajaknya/di musim kampanye tipsani/realitas kehidupan ganas mengerikan/gelap tanpa masa depan/anak jalanan berkeliaran/merayu bintang dan rembulan/demi seribu janji kumenanti/segelas air api/tak bisa membakar puisi -amsterdam, 23/06/2009 percakapan antara arjuna dan kresna/di bukit dekat kurusetra/arjuna meragu/di hastina ada dorna gurunya/ada bisma eyangnya/ada kenangan masa kecilnya/terhapus semua kerna tahta/kresna punya teori perang/ujungnya adalah persembahan/di altar kurusetra/tak ada sanak sodara/yang ada napsu/kepentingan dari kekuasaan -amsterdam, 23/06/2009 pernah dengar nama irawan? kisah anak arjuna, yang datang dari tengah hutan, seperti keajaiban datang dari langit, arjuna terpana, beku seribu bahasa, inikah anaknya yang tak pernah diasuhnya? datang ke kurusetra membela bapaknya? langit muram awan hitam, tanda badai dan hujan airmata, turunan dewa berebutan tahta! irawan tumbang sebagai tumbalnya kemarahan arjuna, demi strategi perang kresna? amsterdam, 23/06/2009 dewi kunti/demi kekasih para dewa/wajah langit muram/bau darah disiram/kutukan hujan tangis/dirayu kepentingan/memori dimodifikasi/tragedi puisi! ---amsterdam, 23/06/2009 heri latief http://akarrumputliar.wordpress.com/ [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Gelora Bung Karno Digadaikan, Cederai Harga Diri Bangsa
Refleksi : Gelora Bung Karno digadai tidak berbeda jauh dengan diberikan konsesi kepada maskapai asing untuk mengolah kekayaan alam dengan keuntungan jatuh ke tangan penguasa negara dan konco-konco mereka. Selama pemerintahan Jenderal Soeharto, baik SBY, J. Kalla, Prabowo, Wiranto, dan Megawati etc turut membiarkan hal tersebut terjadi, jadi kalau mereka sekarang ini saling menuduh sambil puji diri adalah bagaikan sendiwara beradegan striptease dengan pendirian bahwa para penonton [rakyat] buta tuli. http://www.detiknews.com/read/2009/06/26/165847/1154743/727/gelora-bung-karno-digadaikan-cederai-harga-diri-bangsa Jumat, 26/06/2009 16:58 WIB Warta No. 1 Gelora Bung Karno Digadaikan, Cederai Harga Diri Bangsa Advertorial - detikNews Jakarta - Kebijakan pemerintah yang menetapkan Gelora Bung Karno Jakarta sebagai tambahan asset yang dijaminkan dalam penerbitan surat berharga berbasis syariah, sukuk ritel dikecam sejumlah kalangan. Sebab stadion olah raga dan pusat bisnis itu dianggap sebagai kebanggaan bangsa. "Niat itu jelas merupakan maksud jahat yang sangat mencederai harga diri bangsa," ujar politisi senior Haryanto Taslam. Menurut koordinator relawan Pandu Prabowo itu, asset Gelora Bung Karno merupakan salah satu kebanggaan bangsa yang mestinya harus dijaga dan dipelihara dengan baik sesuai dengan fungsinya. Karena itu, Hartas-panggilan akrab Haryanto Taslam mengingatkan kepada pemerintah agar tidak gegabah menggadaikan asset-aset negara, lebih-lebih asset yang bernama Gelora Bung Karno. "Pemerintah jangan main-main dengan memanfaatkan fasilitas dan asset Negara secvara sembrono," tukas mantan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini. Pada akhir 2008 lalu, Gelora Bung Karno ditetapkan sebagai aset yang dijaminkan dalam penerbitan sukuk. Menurut Direktur Kebijakan Pembiayaan Syariah Depkeu, Dahlan Siamat, seluruh aset itu nilainya Rp 51 triliun, tetapi hanya sekitar Rp 25,9 triliun yang bisa dijaminkan. Untuk mengantisipasi penolakan DPR atas jaminan asset itu, pemerintah juga membidik aset sejumlah departemen dan lembaga senilai 27 triliun untuk aset jaminan. Penerbitan sukuk ritel dimaksudkan untuk menggaet para investor dari Timur Tengah. Sebelumnya pemerintah melakukan one on one meeting dengan beberapa investor Timur Tengah yang potensial. Salah satunya dengan Qatar Islamic Bank yang tertarik membeli sukuk. Wajar saja sempat beredar kabar bahwa Gelora Bung Karno akan "digadaikan" kepada Qatar. Dijaminkannya asset Negara dalam penerbitan Sukuk diduga karena pemerintah mengalami deficit yang serius. Penerbitan sukuk itu merupakan jalan pintas untuk menutupi deficit anggaran belanja Rp 139,5 triliun dan mengamankan APBN 2009. Anehnya defisit negara bukannya ditutup dengan mengefisienkan pengeluaran negara dan menutupi lobang kebocoran, sebaliknya menambah utang baru dalam bentuk sukuk. (*) (adv/adv) [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Hashim Kritik Data Pemerintah Soal Kemiskinan
http://www.detiknews.com/read/2009/06/27/000304/1154887/727/hashim-kritik-data-pemerintah-soal-kemiskinan Sabtu, 27/06/2009 00:03 WIB Warta No. 1 Hashim Kritik Data Pemerintah Soal Kemiskinan Advertorial - detikNews Jakarta - Pengusaha nasional yang juga tim sukses pasangan Mega-Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, mengkritik data pemerintah yang menyebut jumlah orang miskin di Indonesia hanya sekitar 15 persen. Data tersebut dinilainya tidak akurat dan bohong. "Saya kira 15% jumlah orang miskin itu nggak benar," katanya saat memberi sambutan dalam deklarasi dukungan untuk pasangan Mega-Prabowo oleh Angkatan Penerus Indonesia Raya (APIRA) dan 18 Ormas, di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, Jumat (26/6). Menurut adik kandung Prabowo tersebut, merujuk data Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 49 persen atau sekitar 115 juta orang. Asumsinya, penghasilan mereka di bawah US$ 2 atau di bawah Rp 20 ribu per hari. Namun, lanjut Hashim, data tersebut dibantah oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan ditegaskan bahwa kemiskinan hanya 15 persen dengan asumsi berpenghasilan Rp 182.500 per keluarga per bulan. Sehingga, jika ada keluarga yang berpenghasilan Rp 200 ribu per bulan, tidak dikategorikan miskin. "Masak satu keluarga miskin ukuran pendapatannya Rp 182.500 per bulan. Kalau ukurannya itu, berarti orang yang pendapatannya Rp 200.000 per bulan itu bukan orang miskin. Ini kan tak masuk akal. Ini sama saja bohong. Itungan Bank Dunia saja untuk penghasilan 25 hari Rp 500 ribu masih dikategorikan miskin," ungkapnya. Menurut adik kandung Prabowo tersebut, mantan wapres Hamzah Haz juga pernah mengutarakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 70 persen hingga 80 persen. Jumlah ini didasarkan pada besaran UMR (Upah Minimum Regional). "Jadi yang benar yang mana? Ya data Pak Hamzah Haz dan juga data Bank Dunia," ujar Hashim disambut tepuk tangan. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] An alternative reading
http://weekly.ahram.org.eg/2009/953/op1.htm 25 June - 1 July 2009 Issue No. 953 Published in Cairo by AL-AHRAM established in 1875 An alternative reading Azmi Bishara examines the causes and ramifications of post-election unrest in Iran Iran does not just have an authoritarian system of government, it has a totalitarian one. It is powerful, highly centralised, with sophisticated administrative and control systems, and it applies an ideology that claims to have answers for everything and that seeks to permeate all aspects of life. Instead of a political party and youth organisations, it relies on mass organisations, such as the Basij, that blend security with ideology and even with the benefit of broad sectors of the populace. It also depends on a broad and well-organised network of mullahs and on a politicised security agency and Revolutionary Guard. However, it differs from other totalitarian systems in two definitive ways. Firstly, no other totalitarian system has incorporated such a high degree constitutionally codified democratic competition in the ruling order and in its ideology. Political competition is systematised in the form of regularly held elections in which rivals espouse different platforms within the framework of the agreed upon rules of the game, just as do political parties within capitalist frameworks. The difference between Democrats and Republicans in the US is not much greater than that between reformists and conservatives in Iran. Of course, these trends in Iran are not actual political parties, but then neither are the Republicans and Democrats, at least not in the conventional European sense. They are more in the nature of electoral leagues. The second difference between Iranian totalitarianism and other totalitarian systems is that the official ideology that permeates institutions of government, the public sphere and the educational and other formative systems as the primary definer of identity and shaper of moral and ethical conduct is a real religion embraced by the vast majority of the people. It is not an atheist or secular religion, such as is officially espoused in communist or fascist systems and which is only believed by a clique of apparatchiks whose faith quickly becomes a form of vested interest and is rarely passed on to their children. In Iran a religious doctrine is the state ideology, the clerical hierarchy defines and anchors the state hierarchy, and the lower echelons of the clergy are the intermediaries between the people and the ruling ideology. These important distinctions are what give the Iranian system a dynamism and vitality that did not exist in Europe's communist or fascist totalitarian systems, even though this system emerged in an "oriental" society that was less technologically advanced than the European ones and coalesced outside the context of European modernism and modernisation that the other systems drew on. China's ruling party, even in its most open and relaxed phase, sanctions far less political diversity than we have seen in Iran, not only in the form of systematised political rivalries but also in the form of sometimes brutal criticism of the regime, the president and the government. Such tolerance of political diversity was also unheard of in the former Soviet Union and in other totalitarian systems. Looking at Iran from the perspective of its degree of democratic competition, tolerance of criticism and peaceful rotation of authority in accordance with set rules, it is much closer to the pluralistic democracies in the West than to a dictatorial regime. On the other hand, its imposition of an all encompassing ideology, and its attempt to use this to control all aspects of people's public and personal lives, sets it radically apart from Western societies where people's personal lives are regulated through the permeation of market mechanisms into the private individual realm and the permeation of the media into family life. There is an imposed ideology in the US, often referred to as the "American way of life," but it leaves broad scope for the private sphere and individual freedoms, including the freedom of religion, even if it strongly influences this sphere through consumer market mechanisms and the media, which sometimes pose challenges to individual freedom. There is no point here in bringing up the scope of individual or democratic freedoms in Arab authoritarian regimes, dynastic and nepotistic systems incapable of producing either a totalitarian or democratic order, apart from to note the malicious glee some Arabs are displaying in response to events in Iran rather than examining what is happening in their own countries which, one would think, they might suppose more important. The reformist uprising has arisen within the framework of the Iranian establishment and the accepted rules and p
[wanita-muslimah] Mallarangeng Mau Somasi Orang Tua
Rakyat Merdeka 28/6/2009 Mallarangeng Mau Somasi Orang Tua Hubungan persaudaraan, bisa musnah gara-gara berbeda ideologi politik. Sudah banyak contoh. Salah satunya, mungkin yang terjadi antara JK atau Jusuf Kalla dengan Rizal Mallarangeng. Dua-duanya sama-sama berasal dari Makassar. Yang satu orang muda, enerjik dan pintar. Satunya lagi, orang tua yang disegani, wapres, calon presiden, dan tokoh ternama dari Sulawesi Selatan. Tapi, hubungan pertalian kedaerahan, rupanya tak jadi jaminan keakraban. Meskipun JK bukan orang tua kandungnya, tapi Rizal bermaksud mensomasinya gara-gara insiden kampanye di Medan. “Saya tidak akan pernah mencabut pernyataan saya,apalagi meminta maaf sebagaimana yang dituntut dalam somasi terhadap saya,” kata Rizal Mallarangeng yang didampingi kuasa hukum Luhut Pangaribuan, di Bali, kemarin. Somasi ini berawal dari selebaran yang beredar saat kampanye JK di Medan. Rizal Mallarangeng pernah menuduh tim kampanye JK Wiranto adalah pelakunya. Bahkan dia menuntut agar JK meminta maaf atas insiden itu. Tentu saja pernyataan tersebut menyulut emosi kubu JK-Win. Jumat malam kemarin, Rizal dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Mereka menuntut Rizal minta maaf dalam waktu 1X24 jam. “Kami melakukan somasi kepada Rizal Mallarangeng mengenai tuduhan melakukan propaganda hitam di Medan. Rizal menuduh langsung Pak JK yang melakukan itu. Padahal, Pak JK sama sekali tidak tahu. Apalagi Saudara Rizal meminta Pak JK meminta maaf kepada Ibu Herawati. Itu tidak relevan,” papar Poempida Hidayatullah, saat pengajuan laporan. Menurut Rizal, dia tetap berpendapat bahwa JK harus menjelaskan peristiwa tersebut dan meminta maaf kepada istri Boediono. Selebaran itu isinya adalah black campaign tentang agama yang dianut Boediono. Herawati Boediono dituduh non muslim. “Persoalan ini prinsip dan melebihi persaingan politik. Pemilu boleh datang dan pergi, pemimpin boleh naik dan turun, tapi prinsip ini bersifat abadi. kita tidak boleh bohong dalam mengedarkan informasi dan melepaskan tanggungjawab dalam perkara ini,” paparnya. Tentang pelaporan dirinya kepada pihak Polda Metro Jaya, Rizal menyatakan siap menghadapinya.“Kalau saya dipanggil polisi, saya akan ikuti secara prosedur hukum. Tapi saya juga akan mensomasi Pak JK. Dan bila dia dilaporkan ke polisi maka dia juga harus datang,” ujarnya. Meski begitu, Rizal mengaku membuka jalan damai dengan pihak JK-Win sebelum masuk pengadilan. “Perdamaian masih terbuka,” ucapnya. Tim kampanye nasional JK-Win, Zainal Bintang menyesalkan tindakan Rizal Mallarangeng memperkarakan JK. “Tidak pantas Mallarangeng menyerang JK, karena JK itu orang tua dan tokoh Sulsel,” kata Zainal yang kebetulan tokoh Sulsel itu. Zainal sebagai sesama orang Sulsel menasehati Mallarangeng agar tidak bersikap berlebihan sebagai tim sukses SBY-Boediono. “Ingat ketika SBY-JK menang, JK-lah yang merekomendasikan Andi Mallarangeng menjadi jubir SBY, setelah itu baru adik-adiknya ikut. Jadi, ingatlah JK itu yang membesarkan Mallarangeng,” katanya. Fungsionaris Golkar ini sungguh tak menyangka, Mallaranggeng sampai hati berbuat tega memperkarakan JK ke-Kepolisian. “Bukan saya mengabaikan masalah hukumnya. Tapi, Mallarangeng kan orang Bugis apalagi satu kabupaten di Bone dengan JK. Mengapa dia sampai hati menyerang JK ?” heran Zainal. Dia mengingatkan, masalah selebaran, belum tentu JK yang melakukan. “Ini overdosis. Saya imbau wahai masing-masing tim sukses jangan terlalu semangat sehingga menimbulkan banyak pihak repot,” bebernya. Boediono sendiri tak terlalu peduli dengan selebaran itu. Dalam acara makan malam di Ende, Nusa Tenggara Timur, Jumat malam, dia mengatakan pasrah saja pada Tuhan. “Saya serahkan kepada Tuhan, semoga yang melakukan diberi ampun,” kata Boediono yang mengaku akibat tudingan tersebut, hubungan dengan isterinya makin mesra. WIS/ARF Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya sekarang! http://id.mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Minta Maaf Oke, Hukum Harus Jalan
Jawa PosSabtu, 27 Juni 2009 Ketua Umum PWI Soal Kekerasan Terhadap Wartawan Di Papua Minta Maaf Oke, Hukum Harus Jalan Ketua Umum PWI Pusat Margiono menyambut baik permintaan maaf yang disampaikan juru bicara tim kampanye SBY-Boediono Rizal Mallarangeng terkait kekerasan yang menimpa wartawan Sinar Harapan, Odeodata Hermina Julia Vanduk. Julia ditendang hingga pingsan oleh seorang tim kampanye SBY-Boediono, di Jayapura, kemarin, saat hendak meliput kampanye Boediono. “Kami menghargai pemintaan maaf yang disampaikan jubir cawapres Boediono. Namun, kalau terbukti bersalah, proses hukum harus tetap ditegakkan,” kata Margiono di Jakarta, kemarin. Sesuai UU Pers No 40 Tahun 1999, jelas Margiono, pers mempunyai hak mencari, mempero1eh, dan menyebarluaskan berita, gagasan dan informasi. “Kalau ada yang menghambat atau menghalangi, bisa dikenakan pidana penjara dua tahun atau denda lima ratus juta rupiah. Itu sesuai amanat Undang-undang,” tegas Margiono. Peristiwa penganiayaan ini berawal saat Julia dan sejumlah wartawan lainnya hendak meliput rentetan kampanye Boediono di Jayapura, Papua, kemarin pagi. Tiba-tiba Julia diserang sejumlah anggota tim kampanye Boediono. Julia tersungkur dan sempat pingsan setelah menerima aksi kekerasan itu. Menurut Julia, saat itu dia hanya meminta agar tidak menghalang-halangi wartawan yang akan meliput Boediono. “Saya tegur dia (pelaku), agar tidak ikut campur urusan wartawan, apalagi dia bukan lagi sebagai wartawan, tapi kenapa tiba-tiba dia menyerang saya dari belakang dengan cara menendang. Setelah ditendang, saya tidak ingat apa-apa," kata Julia. Juru Bicara tim kampanye SBY-Boediono Rizal Mallarangeng, yang ikut mengawal kampanye Boediono di Papua, langsung meminta maaf atas insiden kekerasan tersebut. "Kami minta maaf kepada wartawan di Papua dan di seluruh Indonesia atas perlakukan anggota kami. Kami sangat menyesalkan insiden tersebut. Kami akan pecat dia bila terbukti bersalah," kata Rizal saat mendampingi wartawan menjalani pemeriksaan di kantor Polresta. Rizal meminta wartawan untuk tidak melakukan aksi boikot terhadap rentetan kampanye Boediono selama di Jayapura, Papua. Sebelumnya, wartawan mengancam akan melakukan boikot. "Silakan kalian menempuh jalur hukum, tetapi tolong tidak perlu ada aksi boikot," pinta Rizal. Harian Sinar Harapan dalam rilisnya menjelaskan, wartawannya di Jayapura tersebut ditendang dari belakang oleh tim kampanye Boediono hingga tersungkur dan sempat pingsan. Pemimpin Redaksi Sinar Harapan, Kristanto Hartadi mengecam aksi kekerasan yang menimpa wartawannya dan menyebut aksi tersebut sebagai upaya penentangan kebebasan pers. Dia juga meminta jajaran kepolisian Papua segera memproses secara hukum pelaku tindak kekerasan tersebut. “Kami juga meminta Tim Sukses SBY-Boediono dan pimpinan Partai Demokrat agar menertibkan anggota tim sukses mereka supaya tidak mengulang tindak kekerasan dalam bentuk apa pun kepada wartawan,” kata Hartadi dalam rilisnya. RK, yang diduga sebagai pelaku kekerasan adalah wartawan salah satu televisi nasional, yang, menurut Julia, sudah tidak lagi menjalani profesi itu. Polresta Jayapura langsung melakukan pengejaran terhadap pelaku. "Kami sudah keluarkan perintah untuk mengejar pelaku dan menangkapnya," kata Kasat Reskrim Polresta Jayapura AKP Y Takamuli.(JPNN) Wartawan Desak Partai Demokrat Minta Maaf By Republika Newsroom Sabtu, 27 Juni 2009 pukul 16:22:00 JAKARTA -- Puluhan wartawan melakukan aksi demo di depan Kantor DPP Partai Demokrat (PD) untuk mendesak ketua DPP PD meminta maaf atas aksi kekerasan kader PD terhadap wartawan Sinar Harapan, Odeo Data Hermina Julia Vanduk ketika meliput kampanye Cawapres Boediono di Papua. "Atas perlakuan yang dilakukan kader PD, kami minta Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo meminta maaf secara terbuka di media massa," kata koordinator Poros Wartawan Jakarta, Wahyu Widodo di Jakarta, Sabtu. Selain meminta agar pihak DPP PD meminta maaf, sedikitnya 60 orang wartawan itu meminta agar pihak kepolisian segera mengusut tuntas dan menyelesaikan secara hukum kasus kekerasan terhadap wartawan itu.Aksi orasi wartawan itu berlangsung di Jalan Pemuda Jakarta Timur, dan sebagian diantaranya membakar bendera PD dan kaos SBY-Boediono, juga membentangkan spanduk yang bertuliskan "Penindasan pada wartawan adalah awal penindasan pada rakyat", "SBY jangan diam saja", "Partai Demokrat jangan lari dari tanjung jawab." Menurut Wahyu, para wartawan sangat menyesalkan tindakan kader PD itu, karena selama ini SBY dinilai memiliki komitmen tinggi untuk menghapuskan kriminalisasi pers, namu
[wanita-muslimah] Debat Capres Judul tanpa Teks + Kampanye Saling Serang
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/82099/70/13/Debat-Capres-Judul-tanpa-Teks Debat Capres Judul tanpa Teks Jumat, 26 Juni 2009 00:01 WIB Ppara calon presiden berlangsung di studio Metro TV tadi malam. Tidak banyak berubah dari debat pertama seminggu yang lalu terutama yang menyangkut substansi. Bagi mereka yang menginginkan debat dengan perdebatan, memang, tidak tersaji dalam debat tadi malam. Yang ada, cuma sedikit kelakar yang kemudian bermuara pada kesepakatan 'me too'--saya juga begitu. Tidak ada perbedaan tajam tentang arah dan substansi debat di antara ketiganya yang membuat pemilih tahu mengapa memilih Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Jusuf Kalla. Agaknya dengan satu debat tersisa, keinginan untuk memperoleh debat bermutu sulit terpenuhi. Memang harus diakui berdebat dengan waktu yang sangat terbatas tidaklah gampang. Tetapi untuk mereka yang memberanikan diri menjadi presiden dengan tim sukses yang besar dan banyak, tidak ada kata maaf untuk tidak bisa menghadirkan perdebatan bermutu. Dua debat yang sudah berlangsung mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa para kandidat tidak cukup siap dengan detail. Mereka hanya siap dengan pikiran-pikiran besar dan normatif. Seperti tingkatkan pertumbuhan, tekan pertambahan penduduk, menyejahterakan petani, mengendalikan inflasi, memerangi kemiskinan. Tetapi tidak terlalu cekatan ketika berbicara tentang bagaimana semua itu bisa dicapai. Debat mereka seperti pengungkapan daftar keinginan yang tergagap-gagap ketika diminta menjelaskan bagaimana merealisasi keinginan itu. Atau seperti sebuah judul tanpa teks. Kita hanya disajikan judul, tetapi meraba-raba sendiri tentang isinya karena kehilangan teks itu. Sebuah perdebatan seharusnya menghadirkan perlawanan. Ada pikiran di seberang sana yang harus ditangkis atau dilawan dengan pemikiran di sebelah sini. Bila semua pemikiran berada dalam jalur yang sama, kita kehilangan perbedaan. Dan karena itu kehilangan alasan untuk memilih. Toh semuanya sama. Terlihat sekali bahwa para kandidat tidak santai menghadapi debat. Mega tegang, Yudhoyono waswas, dan Kalla khawatir. Para kandidat menghadapi debat dengan beban seperti seorang calon doktor yang ingin mempertahankan disertasi dengan target cum laude. Format debat terlalu akademik sehingga pikiran-pikiran genuine dan perilaku apa adanya dari kandidat tidak muncul. Semuanya takut melakukan kesalahan. Padahal ada juga kesalahan yang mengandung kecerdasan. Misalnya ketika Jusuf Kalla membuka sepatu di depan publik untuk memperlihatkan merek JK collection. Membuka dan memamerkan sepatu di depan publik melanggar sopan santun. Tetapi ternyata hal itu mengundang impresi yang luas. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/80314/70/13/Kampanye-Saling-Serang Kampanye Saling Serang Rabu, 17 Juni 2009 00:00 WIB MASA kampanye pemilihan presiden kini telah memasuki pekan ketiga. Dengan berbagai cara, para capres/cawapres beserta tim sukses masing-masing berkampanye untuk merebut simpati pemilih yang diperkirakan mencapai 176 juta orang. Meski telah memasuki lebih dari setengah masa kampanye, publik belum disuguhi kampanye yang berkualitas dan bermartabat. Yang ditebar justru racun politik yang tidak sehat bagi rakyat lewat kampanye saling serang dan saling klaim kesuksesan. Padahal, tim sukses ketiga capres maupun cawapres telah berjanji tidak ingin larut dalam strategi saling serang. Mereka berkomitmen untuk menghindari konflik dan menjatuhkan citra lawan. Bahkan, para capres dan cawapres dalam berbagai kesempatan juga lantang mengumandangkan hal serupa. Namun, fakta berbicara lain. Saling sindir, saling menjatuhkan, saling menjelek-jelekkan, saling klaim keberhasilan menjadi menu utama kampanye para capres/cawapres beserta tim sukses masing-masing. Sejumlah isu pun disodorkan ke ruang publik mulai dari masalah neolib, kuda seharga miliaran rupiah, pengusaha menjadi penguasa, jilbab, hingga sejarah kelam masa lalu. Bahkan, isu berbau SARA pun ikut terangkat. Lantaran sudah menyerempet ke persoalan sensitif, salah satu pasangan capres/cawapres terpaksa mencopot dua penyokongnya dari tim kampanye nasional. Kampanye saling serang tidak cuma giat dilakukan anggota tim sukses capres, para kandidat pun getol melakukannya. Capres Partai Demokrat SBY, misalnya, di Kupang Minggu (14/6), menyebutkan visi dan misinya yang menolak kapitalisme untuk menepis tudingan neolib. SBY pun mengobral wacana, "Kita tidak suka kapitalisme global. Kita juga tidak ingin ada kapitalisme rambut hitam." SBY kemudian menambahkan, "Kalau janji, semua orang bisa; saya lebih baik, saya lebih cepat. Jangan terlalu mudah bikin janji." Pada saat yang sama, capres Partai Golkar dan Hanura Jusuf Kalla di Padang mengatakan moto 'lebih cepat, lebih baik' sangat diperlukan untuk mengejar ketertinggalan bangsa ini dari negara-negara tetangga. Lain halnya dengan capres PDIP dan
[wanita-muslimah] Perbudakan Pahlawan Devisa
Refleksi : Penguasa negara yang mengizinkan atau membiarkan adanya perbudakan pasti memdapat keuntungan, sebab kalau merugikan kepentingan mereka maka sudah tentu mtidak diciptakan atau sudah sejak lama mereka tidak izinkan seperti dilarang pki. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/82243/70/13/Perbudakan-Pahlawan-Devisa Perbudakan Pahlawan Devisa 27 Juni 2009 00:01 WIB Dengan bangga pemerintah memberi mereka julukan pahlawan devisa. Agar kepahlawanan mereka memperoleh pengakuan dibeberkan angka devisa yang menakjubkan. Setiap tahun para pekerja Indonesia di luar negeri yang didominasi oleh pembantu rumah tangga menyumbang tidak kurang dari Rp90 triliun atau setara dengan 10% APBN. Inilah kuantifikasi devisa yang membunuh nurani. Membunuh karena pemerintah lama sekali mati rasa terhadap kejahatan kemanusiaan yang menimpa para pahlawan devisa itu di luar negeri. Kita takut menegakkan harga diri dan martabat hanya karena khawatir kehilangan devisa. Baru setelah Siti Hajar, pembantu rumah tangga asal Tasikmalaya diseterika dan disiksa majikannya di Malaysia sehingga kehilangan bentuk wajah dan perawakan yang asli, pemerintah mulai sadar. Itu pun setelah diramaikan media massa secara beruntun. Kejahatan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri, terutama di Malaysia dan Timur Tengah, banyak, sadis, dan terus berlangsung. Para pembantu rumah tangga diperkosa, dianiaya, tidak dibayar gaji, ditahan paspornya, diperbudak di rumah-rumah majikan dengan jam kerja yang tidak terbatas dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Apakah semua bentuk kekerasan ini belum cukup membangunkan rasa kemanusiaan kita terhadap warga bangsa sendiri? Syukurlah pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia mulai tanggal 26 Juni kemarin sambil menunggu perubahan nota kesepakatan dengan pemerintah di Kuala Lumpur. Perbudakan di Amerika dipraktikkan dengan cara memburu manusia di Afrika untuk kemudian dipaksakan menjadi buruh di 'Negeri Paman Sam'. Arus kepergian manusia Indonesia ke Malaysia dengan berbagai cara--gelap ataupun terang--dan dipekerjakan di perkebunan dan rumah tangga dengan berbagai cara pula--tidak bisakah disebut sebagai perbudakan modern? Perbudakan atas nama devisa? Karena melabrak asas-asas kepatutan kemanusiaan? Agak mengherankan bila kita masih saja bangga karena mengirim rata-rata 3.000 pembantu rumah tangga ke Malaysia setiap bulan. Agak mengherankan kita masih saja bangga mengirim pekerja-pekerja dengan tingkat pendidikan 70% tamatan SD hingga SMP. Kekerasan yang terjadi terhadap TKW Indonesia di Malaysia dan Timur Tengah sesungguhnya bukanlah kekerasan yang berdiri sendiri. Dia menjadi rangkaian kekerasan yang amat panjang dari perjalanan seorang TKW itu sendiri. Sejak dari desa asalnya sampai ke negeri dolar dan ringgit. Bila dilihat dengan lebih jernih, bagian terbesar dari penderitaan yang dialami oleh seorang TKW justru berada dan terjadi di dalam negeri. Usia mereka dipalsukan. Paspor dipalsukan. Ditampung di tempat-tempat penampungan yang jorok dan kejam. Ongkos-ongkos yang berlipat ganda. Ditipu di bandara oleh sindikat berseragam. Agar pemerasan lebih nyaman, dibangunlah terminal tersendiri bagi keberangkatan dan kepergian TKI di Bandara Soekarno-Hatta. Di tempat tujuan pun mereka diperas. Ingat bagaimana beberapa pejabat KBRI di Kuala Lumpur yang masuk bui karena manipulasi ongkos paspor TKW/TKI. Ketika bekerja di perkebunan dan rumah tangga Malaysia, paspor mereka ditahan dan sejak saat itu mereka dianggap pendatang ilegal. Jadi, sesungguhnya cerita tentang TKI dan TKW kita adalah sebuah drama perbudakan modern yang amat panjang dan memilukan. Awal perbudakan itu berada di dalam negeri kita sendiri. Karena ketidakmampuan negara, yang katanya kaya ini untuk menyejahterakan dan mencerdaskan warganya sendiri. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Uang Belanja Habis, Suami Aniaya Istri
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2009/06/27/uang-belanja-habis-suami-aniaya-istri Uang Belanja Habis, Suami Aniaya Istri Juni 27, 2009 - 15:01 BOGOR (Pos Kota) - Faktor ekonomi sering menjadi pemicu terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Seperti yang dialami LS 27, seorang ibu rumahtangga di Bogor ini. Warga Kampung Sukasari III, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor ini dianiaya suaminya berinisial RW 38, hingga memar. Penganiayaan itu terjadi menurut korban, saat memberitahukan uang belanja yang sudah habis. Maksud hati ingin mencari jalan keluar dari himpitan ekonomi, ibu satu anak ini malah jadi amukan suaminya. LS babak belur dianiaya suaminya dengan ditendang dan dibenturkan ke tembok. Akibatnya, LS harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Menurut korban yang melapor ke Mapolresta Bogor, Jumat (26/6), sementara peristiwa penganiayaan yang dialaminya terjadi pada Jumat (19/6) lalu. Menurut korban, penghasilannya bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah pabrik, tak mencukupi kebutuhan keluarganya. Sementara RW, suaminya merupakan pengangguran tulen. "Mungkin dia tersinggung saat saya mengajaknya mencari solusi dari himpitan ekonomi. Soalnya selama ini, dia bergantung hidup dari pendapatan saya," ujar korban. Cekcok mulut tak dapat dihindari. Situasi yang memanas membuat RW tak sanggup menahan emosi hingga ia menyerang LS. Tak terima perbuatan suaminya, LS melapor ke Polresta Bogor. Sebab, sikap kasar suaminya itu sering terjadi. Jika tersinggung, RW sering menganiayanya . Kanit PPA Polresta Bogor Iptu Yuni Astuti mengatakan, pihaknya menerima laporan LS. Menurut pengakuan korban, kata Yuni, setiap LS membicarakan masalah ekonomi, suaminya sering emosi dan menganiaya Dia menambahkan, penganiayaan yang dialami LS sudah terjadi sejak April 2007. "Setiap kali membicarakan masalah ekonomi, suaminya selalu marah. Puncaknya kemarin, istrinya dipukul sampai babak belur," tuturnya. "Jika terbukti, suaminya akan kami jerat dengan UU RI Nomor 23 Pasal 44, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan ancaman lima tahun penjara," pungkasnya. (yopi/sir) [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Kubu SBY Serang Mega-Pro + Tim SBY Laporkan Tim JK ke Bawaslu
Refleksi : Ayo sendiwaranya digembirakan dengan musik hiruk-pikuk, jangan cuma alem-alim saja. Jawa Pos [ Jum'at, 26 Juni 2009 ] Kubu SBY Serang Mega-Pro JAKARTA - Metode dan materi kontrak politik yang gencar dikampanyekan oleh duet Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro) mendapatkan counter balik dari pasangan incumbent. Kubu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono menganggap kontrak politik itu sengaja digunakan agar janji-janji yang ditawarkan terkesan lebih meyakinkan. "Buat kami, bukti lebih mudah dipercaya rakyat ketimbang janji. Meskipun, janji itu ditambahi kontrak tertulis," kata Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Jakarta kemarin (25/6). SBY-Boediono, papar dia, tidak menawarkan janji, melainkan "melanjutkan" bukti sambil memperbaiki yang kurang. Menurut Anas, pada prinsipnya, semua materi yang dikampanyekan oleh capres-cawapres merupakan kontrak politik dengan rakyat. Substansi kontrak politik adalah visi, misi, dan tawaran program pasangan calon yang menjadi dasar isu-isu kampanye. "Semuanya pasti dicatat, diingat, dinilai, dan ditagih rakyat pada saatnya nanti," tegas mantan Ketum PB HMI tersebut. Anas juga mengkritik sejumlah materi kontrak politik Mega-Pro. Salah satunya penghapusan sistem outsourcing para buruh. Anas mengingatkan bahwa sistem tersebut lahir saat Mega menjadi presiden. Sedangkan soal ujian nasional (unas), Anas mengatakan memang ada kekurangan. Tapi, lanjut dia, kekurangan tersebut perlu diperbaiki. "UU BHP (Badan Hukum Pendidikan, Red) yang mau dicabut itu kan juga disahkan dengan melibatkan Fraksi PDIP di DPR," cetusnya. Dia menegaskan, memperbaiki jelas lebih baik serta terhormat karena membutuhkan terobosan konsep dan kerja keras. "Kalau hanya menghapus seperti yang mereka tawarkan, ya tidak usah pakai konsep," sindirnya. Soal luapan lumpur Lapindo, Anas menuturkan bahwa penanganan bencana tersebut memang belum tuntas. Tapi, substansi kontrak politik yang ditawarkan oleh kubu Mega-Pro, lanjut dia, terkesan mengabaikan kompleksitas masalah yang terjadi. "Mereka hanya memberikan angin surga," ucapnya. Sementara itu, Sekretaris II Tim Kampanye Nasional Mega-Pro Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa sifat kontrak politik mereka bukan top-down, melainkan bottom-up. "Jadi, kontrak politik itu aspirasi rakyat. Merekalah yang berinisiatif mengikat komitmen Mega-Pro untuk menyelesaikan semua problem tersebut," cetus dia. (pri/agm) Jawa Pos [ Jum'at, 26 Juni 2009 ] Tim SBY Laporkan Tim JK ke Bawaslu Terkait Selebaran yang Pojokkan Istri Boediono JAKARTA - Dua pekan menjelang hari H pemilu presiden (pilpres), suhu politik antar-pasangan capres makin memanas. Tim sukses kampanye nasional Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono kemarin membuat laporan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait beredarnya selebaran gelap saat berlangsungnya kampanye Jusuf Kalla (JK)-Wiranto di Medan, Rabu lalu (24/6). Selebaran bernuansa SARA itu memang memojokkan kubu SBY-Boediono. Sebab, dalam selebaran itu disebutkan bahwa istri Boediono adalah nonmuslim. ''Ini sesuatu yang sangat krusial, kami (timkamnas, Red) merasa perlu menindaklanjuti," tegas Sekretaris Timkamnas SBY-Boediono Marzuki Alie di Kantor Bravo Media Center (BMC), Jakarta, kemarin (25/6). Menurut dia, tim kampanye daerah sudah terlebih dahulu mengirimkan laporan ke panwaslu setempat. Dengan ikut menindaklanjuti laporan tersebut, timkamnas SBY-Boediono berharap Bawaslu bisa turut mengawal pengusutan masalah tersebut hingga tuntas. "Bawaslu maupun panwaslu kami minta profesional dalam hal ini," tegas Marzuki. Laporan itu disampaikan Ketua Tim Advokasi dan Hukum Timkamnas SBY-Boediono Amir Syamsuddin. Rombongan diterima Kasubbag Wilayah III Bawaslu Faisal Rachman. Di laporan itu, sebagai terlapor adalah tim kampanye nomor urut 3, yaitu tim JK-Wiranto. Mereka dilaporkan atas dugaan pelanggaran pasal 41 ayat 1 UU 42/2008 tentang Pilpres. Bukti yang disertakan adalah selebaran bertulisan: "Dari Habib Husain Al Hasby: Apa PKS Tidak Tahu Istri Boediono Katolik?" yang beredar dalam kampanye tertutup JK saat itu. "Namanya kampanye tertutup, hampir mustahil orang bisa bebas bergerak membagi-bagikan selebaran tanpa diketahui panitia," tambah Marzuki. Sementara itu, secara terpisah, Anggota Bawaslu Bambang Eka meminta kubu SBY tidak buru-buru asal menuduh bahwa pelaku penyebaran selebaran itu adalah kubu JK. Menurut dia, semua pihak harus menunggu pembuktian terlebih dahulu. "Kampanye seperti itu memang black campaign. Tapi, siapa yang melakukannya, harus dibuktikan dahulu," ujar Bambang. Dia menyatakan, sebelum menunjuk siapa yang harus bertanggung jawab, semua pihak harus mendasarkan diri pada fakta hukum. (dyn/agm) Jawa Pos [ Jum'at, 26 Juni 2009 ] Kubu SBY Serang Mega-Pro JAKARTA - Metode dan materi kontrak politik yang gencar dikampanyekan oleh duet Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro) mendapatkan counter balik dar
[wanita-muslimah] Kampanye Pilpres Abaikan Lingkungan
Refleksi : Kalau mereka punya kepentingan dengan pembabatan hutan atau kerusakan lingkungan yang membawa keuntungan maka tentu saja diabaikan dalam propanda pilihlah aku dalam pemilu, sama halnya dengan dengan masalah korupsi, teristimewa korupsi Pak Harto disunyisenyapkan dengan angin sepoi-sepoi basah, jadi hendaklah dipahami hakekat mereka. Jawa Pos [ Sabtu, 27 Juni 2009 ] Kampanye Pilpres Abaikan Lingkungan Oleh : Goei Tiong Ann Jr Beberapa teman budayawan, seperti Mudji Sutrisno atau Garin Nugroho, berseloroh bahwa kampanye pilpres kali ini benar-benar miskin wacana. Maksudnya, tak ada wacana berbobot yang diangkat tiap-tiap tim sukses capres/cawapres. Memang muncul wacana neoliberalisme yang terkesan punya bobot. Tapi, neoliberalisme sebenarnya hanya dijadikan olok-olok untuk ditempelkan kepada capres atau cawapres tertentu. Tidak sampai digali secara mendalam. Demikian pula dari perspektif ekologi atau lingkungan hidup, nyaris sampai sejauh ini tak ada tema kampanye yang berisi janji perubahan kebijakan terhadap lingkungan. Boleh jadi, itu disebabkan pandangan bahwa wacana lingkungan hidup menjadi dagangan yang tak laku dijual dalam pilpres ini. *** Mengapa isu lingkungan hidup tak laku dijual? Sebab, dalam praksis bernegara atau berpolitik selama 64 tahun ini, memang minim kebijakan pemerintah yang pro lingkungan. Meski gerakan reformasi sudah berumur sebelas tahun, ironis sekali, komitmen atau kebijakan pemerintah terhadap lingkungan masih rendah. Jadi, tidak ada perbedaan jauh dari kebijakan rezim-rezim sebelum reformasi. Hal itu, misalnya, tampak dari rendahnya anggaran untuk lingkungan hidup. Bayangkan, besar anggaran lingkungan hanya 0,9 persen dari total APBN kita yang mencapai Rp 650 triliun. Ini yang terendah jika dibandingkan dengan yang ada di negara-negara Asia lainnya. Anggaran lingkungan kita kalah jauh oleh Tiongkok yang mencapai 6 persen atau Vietnam sebesar 5 persen. Rendahnya anggaran tersebut jelas menunjukkan, betapa sesungguhnya persoalan atau masalah lingkungan hidup tidak pernah menjadi prioritas utama. Menyedihkan. Masalah lingkungan hidup terus terpinggirkan. Yang memprihatinkan, masalah lingkungan pun kerap menjadi bagian dari politik pencitraan. Apa tidak keterlaluan jika anggaran untuk lingkungan harus dikalahkan oleh besarnya biaya kampanye tim pemenangan capres-cawapres menjelang Pilpres 8 Juli 2009? *** Kemudian, masih terkait dengan lingkungan hidup, banyak kebijakan pemerintah atau regulasi yang dibuat tampak keropos atau lemah tak berdaya ketika berhadapan dengan "penjahat" lingkungan hidup. Coba lihat, 9.000 dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dibuat pemerintah, sesuai dengan tuntutan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1986, tidak mampu menahan laju kerusakan lingkungan hidup. Juga cukup banyak regulasi yang dalam implementasinya justru memicu kerusakan lingkungan, seperti UU No 14 Tahun 2007 tentang Sumber Daya Air. Bahkan, kini ada desakan kuat agar DPR hasil Pileg 9 April 2009 segera merevisi UU Lingkungan Hidup No 23/1997. Alasannya, UU tersebut justru tidak memberikan perlindungan bagi lingkungan, tetapi justru memberikan ruang bagi eksploitasi dan destruksi lingkungan. Konyolnya, dalam beberapa kasus, para legislator justru lebih silau dengan uang daripada membuat UU yang sungguh-sungguh menjamin dan melindungi lingkungan. Investasi mengalahkan ekologi. Misalnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2004 yang akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang baru disahkan akhir 2008 juga demikian. Buntutnya, hutan atau tambang akhirnya menjadi "ATM" atau sumber uang bagi birokrat, anggota DPR, atau aparat hukum. Tidak heran, lemahnya regulasi itu membuat para pelaku pembalakan liar, cukong kayu, pencemar laut atau sungai, dan sebagainya selalu lolos dari regulasi atau hukum kita. Misalnya, Kepala Rumah Pemotongan Hewan Kedurus Suharto dan Susanto, staf tekniknya, telah terbukti membuang sisa cucian jeroan dan darah hewan secara langsung ke kali Surabaya tanpa mengolah sedikit pun. Mereka sudah dijadikan tersangka dan ditahan polisi (Jawa Pos, 30 Mei 2009). Namun, penulis bisa memastikan, keduanya akan bebas dari jerat hukum. Sebab, hukum sekaligus penegakan hukumnya lemah. Jeritan sungai, laut, hutan, atau udara kita yang tercemar tidak sampai menyentuh nurani para penguasa kita. Kerusakan ekologi atau merosotnya kualitas lingkungan terus menjadi tontonan mengerikan di depan mata kita. Padahal, merosotnya kualitas lingkungan berarti memerosotkan kualitas hidup manusianya. Ini belum termasuk masalah lain yang ikut nimbrung, seperti kemacetan (congestion), polusi air dan udara (water and air pollution), menurunnya kualitas permukiman dan lahan yang ditelantarkan (deterioration of housing and derelict land), serta hilangnya fungsi ruang terbuka (the disappearance of
[wanita-muslimah] Melompat Saat Hendak Disunat
http://cetak.bangkapos.com/metronews/read/22831.html HUT ke 63 Bhayangkara Melompat Saat Hendak Disunat edisi: 25/Jun/2009 wib TERIAKAN dari beberapa anak mewarnai khitanan massal memperingati HUT ke 63 Bhayangkara di Gedung Tri Brata Polda Kepulauan Babel, Rabu (24/6) siang. Bahkan karena takut, ada anak yang mencoba menghindar saat gilirannya tiba. Anak berusia sekitar 7-9 tahun itu melompat dari tempat tidur yang sudah disiapkan, lalu kabur hingga ke luar ruangan Gedung Tri Brata. Padahal saat itu dokter dibantu tim medis Bidang Dokkes Polda Kepulauan Babel bersiap-siap memotong kulup kemaluan si bocah. "Aduh...sakit, ku ngak sunat," ucap seorang bocah sambil menjauhi tim medis. Suasana khitanan massal pun sempat riuh. Orangtua si bocah sibuk mengejar putranya yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu. ke luar ruangan Gedung Tri Brata. Bahkan ada anak yang sukar dibujuk sehingga orangtua terpaksa membatalkan sunatan anaknya. Khitanan massal dalam rangkaian kegiatan HUT Bhayangkara ini diikuti sekitar 89 orang anak dari Pangkalpinang dan sekitarnya, seperti Desa Batu Belubang Kecamatan pangkalanbaru, Bangka Tengah, dan Desa Kace Kecamatan Mendobarat, Kabupaten Bangka. Anak-anak yang sudah dikhitan diberikan bingkisan berupa kain sarung dan kopiah serta uang. Kegiatan khitanan dibuka Kapolda Kepulauan Babel Brigjen Anton Setiadi yang diawali dengan pemotongan nasi tumpeng. Ditemui Bangka Pos Group, Kapolda melalui Kabid Dokkes AKBP dr Mas'udi Sp S menjelaskan selain khitanan massal, Polda juga melaksanakan berbagai kegiatan HUT Bhayangkara. Di antaranya, donor darah. Sebanyak 115 kantong darah yang terkumpul, langsung dibawa ke UTD PMI Kota Pangkalpinang untuk memenuhi kebutuhan pasien. Sementara untuk kegiatan pengobatan gratis menargetkan sekitar 300 pasien. "Kita juga akan melaksanakan kegiatan bhakti sosial berupa pengobatan gratis kepada masyarakat di Pangkalarang Kecamatan Pangkalbalam Pangkalpinang," ungkap Mas'udi. Amran (53) warga Desa Kace, mengucapkan terima kasih kepada kepolisian dalam hal ini Polda Kepulauan Babel yang menyelenggarakan khitanan massal. "Apalagi kegiatan khitanan ini dilakukan pada saat menjelang liburan sekolah. Jadi pas waktunya," ucap Amran. (rya) [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Rokok Haram Bagi Pelajar
Refleksi : Rokok haram bagi pelajar, tetapi tidak haram bagi bukan pelajar? http://www.bangkapos.com/news/read/8938/nasional/Rokok+Haram+Bagi+Pelajar.html Rokok Haram Bagi Pelajar http://musadiqmarhaban.files.wordpress.com /http://musadiqmarhaban.files.wordpress.com Ilustrasi Edisi : Jum´at, 26.Juni.2009 | 14:06 wib PASURUAN, BAngkapos.com -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pasuruan mengharamkan rokok bagi kalangan pelajar. Pasalnya, pelajar yang tugasnya belajar dianggap belum dapat mencari penghasilan sendiri, sehingga bebannya justru memberatkan orang tua. "Kami larang dengan keras kepada pelajar untuk menjauh dan bebas dari rokok. Selain mumpung belum terlanjur, para pelajar juga belum dapat mencari uang sendiri," tandas KH M Dhofir, Wakil Ketua MUI Kota Pasuruan dihadapan ratusan pelajar saat kampanye anti narkoba, kamis (25/6). Menurut KH M Dhofir, selain para pelajar belum dapat mencari penghasilan sendiri, kebiasaan merokok juga dapat mengganggu kesehatan. Jika kesehatan para pelajar terganggu, tentu dapat menghambat studinya maupun menghalang-halangi pelajar dalam meraih prestasi. Sementara Walikota Pasuruan, H Pudjo Basuki, menyampaikan agar para pelajar mengerti dan memahami bahayanya penyalahgunaan narkoba. Sebab, narkoba selain dapat membuat kecanduan, juga mendatangkan kemudaratan berupa gangguan kejiwaan maupun jasmaniah. "Jangan sampai sekali-kali mencoba menggunakan narkoba. Lebih baik narkoba dijauhi dan tidak perlu disentuh sedikitpun. Mending para pelajar belajar dengan dan meningkatkan prestasi mulai dari keilmuan maupun ajang kreatifitas," kata H Pudjo Basuki. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Jangan Lupa Kami Pak Boediono
Refleksi : Nanti kalau Pak Boediono menjabat wakil presiden NKRI akan ada banyak pekerjaan, jadi mudah tidak lagi ingat. "Dulu tak ingat sekarang lupa", demikian kata pepatah, jadi harap menjadi maklum adanya. http://www.pos-kupang.com/read/artikel/29528 Jangan Lupa Kami Pak Boediono PERSDA NETWORK/BIAN HARNANSA Foto keluarga Boediono yang terpajang di salah satu ruang di kediaman Jalan Mampang Prapatan, Jakarta. Sabtu, 27 Juni 2009 | 12:36 WITA ENDE, POS KUPANG.Com -- "Jangan lupa kami kalau Bapak Budiono sudah jadi Wakil Presiden". Demikian kalimat yang terlontar dari mulut salah seorang warga Ende yang berdesakan di antara kerumunan massa saat Cawapres Boediono tiba di Bandara H Hasan Aroboesman Ende, Jumat (26/6/2009). Boediono menanggapi kalimat warga tadi dengan senyum sambil berjalan menghampiri warga dan menyalami mereka. Kehadiran Boediono sudah ditunggu masyarakat. Begitu Cawapres pendaping SBY ini turun dari tangga pesawat, massa di luar pagar bandara langsung melambaikan bendera Merah Putih dan tepuk tangan. Boediono langsung berjalan menuju pagar dan menyalami warga yang mengulurkan tangan mereka dari luar pagar. Dari bandara, Boediono diarak keliling kota Ende. Ratusan sepeda motor dan puluhan mobil mengiringi Boediono dan rombongan. Bahkan ketika tiba di tempat penginapan, massa tetap setia menunggu Budiono di luar Hotel Safari. Warga akhirnya bubar setelah Budiono masuk ke hotel untuk beristirahat. Tim Sukses SBY-Budiono, Rizal Malarangeng kepada Pos Kupang di Hotel Safari-Ende, mengatakan, Boediono ingin melihat kondisi Ende sebagai kota sejarah yang kerap dilupakan. "Kedatangan Pak Budiono tidak semata-mata untuk kampanye tetapi untuk melihat Kota Ende sebagai kota sejarah karena di kota ini Pancasila sebagai dasar negara lahir dari pemikiran Bung Karno ketika beliau diasingkan oleh Belanda ke sini," kata Rizal. Rizal mengatakan kalau Tuhan berkenan dan rakyat mempercayai SBY-Budiono memimpin bangsa Indonesia lima tahun mendatang maka pasangan ini akan memperhatikan masyarakat NTT umumnya, dan Ende khususnya. Ditanya tentang isu neoliberal yang dilancarkan untuk menghadang Boediono, Rizal mengatakan bahwa isu itu sengaja dihembuskan oleh lawan-lawan politik yang tidak suka pada sosok Budiono. "Ada fakta yang harus diketahui bahwa sejak 20 tahun lalu Pak Budiono telah menulis berbagai buku mengenai ekonomi Pancasila. Itu yang tidak diketahui orang," kata Rizal. Sekretaris SDM DPP Partai Demokrat, Fredrikus Lusti Tulis mengatakan kedatangan Budiono ke Ende sebagai bentuk empati beliau kepada masyarakat NTT. Pihaknya menargetkan pasangan SBY-Budiono dapat meriah suara di NTT sekitar 60 hingga 70 persen. Sedangkan Relawan Indonesia Muda (RIM) NTT, Kasimirus Bera Bheri, mengatakan pihaknya menaruh kepercayaan kepada pasangan SBY-Budiono dalam hal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Hanya pasangan ini yang tegas memberantas KKN. (rom) [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] The Jakarta Post, Saturday, June 27, 2009 - Bahtiar Effendy, Champion Of Democracy
The Jakarta Post, Saturday, June 27, 2009 Bahtiar Effendy, Champion Of Democracy Anissa S. Febrina , The Jakarta Post, Jakarta For Indonesia's political insiders, the past 12 years have been a honeymoon period for democracy - time to get to know each other and enjoy the perks of the process. Enough already, says Islamic scholar and political observer Bahtiar Effendy - it's time to get to the core of things. "People have to remember that democracy is only a means and not an end," he says. "What we call democracy in our country today is still merely procedural." Bahtiar, a lecturer at Jakarta's Syarif Hidayatullah state Islamic university who is today being inaugurated as Professor of Politics at the university, has been keeping a close eye on the state of democracy in Indonesia since the beginning of the reform. Born and raised in Ambarawa, Central Java, Bahtiar attended formal school in the morning and Islamic school in the afternoon. He went on to study in an Islamic boarding school in Muntilan, Central Java, before attending Syarif Hidayatullah state Islamic university. There and afterward, his interest in politics - and his concerns about Indonesian democracy - deepened. The scholar's biggest concern about the current state of democracy in Indonesia is that it has become too fluid to be considered high quality or to have adequate depth and substance. "In short, [the practice] of democracy should not neglect the main purpose of running a state: stability, security and socioeconomic comfort for all," he says. Bahtiar's understanding of the kind of democracy that fits Indonesian culture is probably the result of a mixture of his Islamic education and the advanced degrees in politics and Southeast Asian studies he gained in the United States. This education also shaped him as the open-minded Muslim scholar that he is, to the extent he has been labeled a secular one, but "they label me without actually knowing who I really am". Claiming to be a conservative in the sense that he believes in the role of the state in leading the lives of many, Bahtiar points out that the country still lacks a structured institution that is strong enough to manage differing and even often clashing interests. "We're not serious enough in actually building a state, a government consistent enough to focus on strengthening our chosen presidential system that emphasizes order, to be able to truly develop," Bahtiar says. Bahtiar believes that Indonesia has still not achieved governance that can manage conflicting interests and differences through a system that everyone agrees on. With the collapse of the authoritarian Soeharto regime, a wave of euphoria over freedom of expression and political participation swept the country and persists to this day. But, as Bahtiar puts it, democracy appears only on the surface, with power sharing still taking place through "pragmatic" politics. "What is negotiated in parliament, for example, is not aimed at building a better system, but at creating one that would allow room for power sharing. For everyone to get a piece of the pie," he says. He offers the inconsistency behind the Election Law as a clear example, pointing out that, as the loose political party system means no single party can dominate the arena, any elected president must continue to share power to survive. "Even if we claim to have a presidential system, the president still has to compromise in choosing people to serve in the Cabinet for the sake of accommodating the interests of parties that joined the coalition that supports him," the 50-year-old professor says. "Theoretically, the parliamentary system is the ideal practice of democracy. But if we consider our culture, our ways and traditions in doing politics, the presidential system fits better. "And we should focus on building the capacity to strengthen that system." But, as has so often happened in this country, what is on paper rarely reflects reality. For Bahtiar, Indonesia is an anomaly, always a hybrid of two different systems in running a state. It's presidential but partly parliamentary. It's not a federal state but comes close to one in practice. He believes that these aspects probably come from placing democratic procedures on a pedestal without actually getting to the essence of the ideology. "Talking about decentralization, for example: There is no clear structure of relations between the central government and local ones," he says. "If the provincial government is meant only to manage cross-municipal issues and be a representative of the central government, then what's the point of directly electing governors?" Historically, Bahtiar recalls, the country has clearly chosen a path toward democracy, despite having experimented - and failed - with its early attempt at the system. "Nowadays, we already have basic prerequisites to actually build a resilient and sustainable gov
[wanita-muslimah] Ayam Mahonara diserbu Pembeli
Refleksi : Mungkin saja ada anggapan bahwa dengan disantapnya ayam Mahonara maka kasiat serta kenikmatan surga dunia yang telah lama dimimpikan akan terlaksana dan oleh karena itu diserbu pembeli. http://www.pos-kupang.com/read/artikel/28844/ayam-mahonara-diserbu-pembeli Ayam Mahonara diserbu Pembeli Rabu, 17 Juni 2009 | 20:02 WITA Bandung, POS KUPANG.Com - Kisah duka Manohara, isteri Pangeran Tengku Muhammad Fahry dari Kesultanan Kelantan Malaysia yang berujung popularitas di tanah air juga merebak di Bandung dan sekitarnya termasuk Sumedang yang dikenal kota jajanan dan kuliner. Sebuah kedai makanan berlokasi di Jalan Angkrek no 13 Sumedang yang ikut menangguk kecipratan keuntungan hanya dengan menyediakan menu baru diberi nama "Ayam Goreng Manohara", karena terus diserbu pembeli. Subur Setio, pemilik kedai disela-sela kesibukan melayani pembeli kepada ANTARA, Rabu (17/6/2009) mengaku mendapatkan omzet rata-rata Rp 2 juta per hari bersamaan tersedianya menu baru Manohara sejak sepekan belakangan. Kedai itu sendiri buka dalam sepekan setelah terinspirasi ketenaran nama Manohara yang hampir setiap hari ditayangkan seluruh stasiun televisi nasional dan media cetak. "Kedai ini tidak ada hubungannya dengan Manohara yang lagi top itu, tapi saya kira dia tidak ada masalah namanya saya pakai untuk kedai ayam goreng," ucap Subur seadanya. Kekhasan ayam goreng Manohara di Sumedang itu berupa potongan ayam disayat, ditusuk, dan diberi bumbu serundeng. Ide disayatnya ayam ini muncul dari kisah Manohara itu sendiri yang kerap disayat oleh suaminya. Setio yang awalnya merupakan pedagang emas ini telah berusaha untuk mempromosikan kedainya salah satunya dengan beriklan di salah satu televisi swasta. Kedai buka dari pukul 14.00 dengan menu andalan "Ayam goreng Manohara atau sayat" yang dibandrol Rp.7000. Kedai ini banyak dikunjungi anak muda karena lokasinya dekat dengan kampus Universitas Sebelas April Sumedang. Faktor lokasi yang strategis ini membuat kedai ayam ini semakin ramai dikunjungi. Ide penamaan tempat usaha dengan nama orang terkenal bukanlah hal baru. Sebelumnya banyak terjadi hal serupa yang dilakukan oleh orang-orang bisnis dalam menyiasati usaha mereka agar mendapat hasil yang memuaskan. Tak hanya nama orang terkenal yang jadi inspirasi, tetapi juga peristiwa yang terjadi dan cukup menghebohkan. Sebut saja beberapa tahun ke belakang ketika di Aceh terjadi musibah tsunami, para pengusaha kerudung membuat kerudung yang disebut "kerudung tsunami" padahal bentuk kerudungnya tak jauh berbeda dengan kerudung langsung pakai yang sudah ada di pasaran. (ANTARA [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Kampanye Pilpres Sepi
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=29356&ses= 27 Juni 2009 07:10:20 Kampanye Pilpres Sepi KPU Akan Turun Pantau Distribusi Surat Suara MANOKWARI-Meski pihak KPU Provinsi Papua Barat telah menyampaikan jadwal kampanye kepada tim sukses 3 pasangan Capres-Cawapres, namun hingga pertengahan masa kampanye hingga saat ini belum satu pun tim suksek baik di Manokwari,Sorong, Fakfak,Sorsel dan daerah lainnya melakukan kampanye terbuka.''Jadwal kampanye kita sudah serahkan ke tim sukses,namun sampai sekarang,kita belum melihat ada kampanye terbuka di kabupaten/kota,'' ujar Ketua KPU Papua Barat,Regina Sauyai kepada wartawan. Masa kampanye Pilpres sangat berbeda bila dibanding dengan kampanye Pileg yang penuh hirup-pikuk. Poster,spanduk dan umbul-umbul pun bisa dihitung. Terlihat hanya beberapa spanduk pasangan SBY-Boediono dan JK-Wiranto yang dipasang di jalan protocol. Sedangkan poster Mega-Prabowo berukuran besar hanya dipasang di secretariat tim sukses, di Jalan Trikora,Wosi.''Kampanye masih sepi-sepi saja,padahal kita sudah serahkan jadwal ke tim sukses masing-masing pasangan calon. Tapi,sampai saat ini belum ada satu pun tim sukses yang melaporkan untuk menggelar kampanye. Jadwal kampanye sudah diatur oleh KPU pusat. Mengenai ada tidaknya kampanye rapat umum kami tidak tahu peris," tandas Ketua KPU. Untuk kesiapan pelaksanaan pemilihan presiden 8 Juli mendatang,KPU Provinsi terus melakukan pemantauan,terutama distribusi surat suara dan logistik lainnya. KPU kabupaten/kota telah menerima surat suara. Bahkan sudah disortir dan libat untuk selanjutnya didistribusikan ke PPD (panitia pemilihan distrik) hingga ke TPS (tempat pemungutan suara) pada saatnya nanti. ''Distribusi surat suara sudah merata,sudah sampai ke kabupaten/kota. Yang belum saya dapat berita dari Bintuni dan Teluk Wondama,'' katanya lagi.(lm) [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Wartawan Sinar Harapan Ditendang Kader Demokrat
Refleksi : Mungkin perbuatan kader demokrat ini berdasarkan paham kaum demokrat NKRI. http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=29380 27 Juni 2009 07:24:29 Wartawan Sinar Harapan Ditendang Kader Demokrat Kubu SBY- Boediono Minta Maaf, Janji Proses Hukum Pelaku JAYAPURA-Wartawan nasional Sinar Harapan, Odeodata H Julia Vanduk (35) diduga telah mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh RK yang diduga merupakan kader Partai Demokrat yang terjadi di Halaman Swiss-Belhotel Papua, Jumat (25/6) pukul 09.30 wit kemarin. Korban diduga telah ditendang oleh pelaku berinisial RK yang saat itu menggunakan baju partai tersebut, pada saat hendak mengikuti liputan kedatangan calon wakil presiden Boediono yang melakukan kampanye ke PTC Entrop. Akibat kejadian tersebut, korban merasakan kesakitan di pantatnya dan beberapa saat kemudian korban pingsan sehingga langsung dilarikan ke Rumah Sakit Dok II Jayapura. Menurut keterangan korban Odeodata usai melaporkan kejadian tersebut ke Mapolresta Jayapura, kejadian itu berawal korban bersama dengan teman-teman wartawan lainnya sedang meliput kedatangan cawapres Boediono saat tiba di Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura. Korban sempat bertemu dengan teman pelaku bernama Jemmy dan sempat berbincang-bincang beberapa saat, namun pelaku yang berada di sampingnya tiba-tiba bicara sesuatu yang tidak jelas di dengar oleh korban, namun korban tidak menanggapinya. Selanjutnya, setelah rombongan Boediono tiba di Sentani, langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Swiss-Belhotel Papua dan diikuti rombongan wartawan lainnya termasuk korban. Saat tiba di Swiss-Belhotel Papua, korban kembali bertemu dengan Jemmy teman pelaku RK, namun korban saat itu menawarkan kepadanya untuk bersama dengan rombongan korban dalam perjalanan mengikuti rombongan cawapres menuju ke PTC Entrop."Pada saat saya sedang bicara dengan Jemmy, saya melihat pelaku masih banyak bicara yang saat itu tidak jelas. Kemudian korban meminta pelaku untuk diam. Namun, secara tiba-tiba pelaku langsung menendang korban dari arah belakang mengenai pantat saya," ujar Odeodata. Namun korban mengakui tidak mengetahui secara jelas menggunakan kaki kanan atau kaki kiri. Kemudian korban membalikan badannya dan posisi berhadapan dengan pelaku kemudian pelaku berusaha untuk menghantyam korban, namun dilerai oleh teman-teman yang lain. Lalu, pelaku dtarik dan pergi meninggalkan TKP. Akibatnya ditendang oleh pelaku tersebut, korban langsung mengalami pusing dan rasa sakit pada pantat hingga korban pingsan, sehingga langsung dilarikan ke RSUD Dok II Jayapura untuk mendapatkan perawatan. Korban tidak bisa lagi beraktifitas dan tampak shock. Sementara itu, pelaku RK berhasil dijemput Tim Opsnal Satuan Reskrim Polresta Jayapura saat berada di rumahnya yang ada di BTN Purwodadi Sentani, sehingga langsung dibawa ke Mapolresta Jayapura untuk dimintai keterangan secara intensif. Kapolresta Jayapura, AKBP Roberth DJoenso SH didampingi Kasat Reskrim AKP Y Takamully SH, MH mengakui pihaknya akan melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Bahkan, polisi sudah melakukan pencarian terhadap pelaku dan 4 jam kemudian pelaku berhasil diamankan saat berada di rumahnya. "Jika memang terbukti, maka pelaku akan kami jerat dengan pasal 351 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan dan pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP perbuatan tidak menyenangkan," imbuhnya. Sementara itu, RK yang sempat menendang wartawati Sinar Harapan tersebut mengakui menyesal atas kejadian tersebut. "Saya minta maaf kepada Ode dan teman-teman wartawan atas kejadian itu. Saya telah kilaf," ujarnya ditemui Cenderawasih Pos ditengah pemeriksaan. Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Papua, Cunding Levi menyayangkan kejadian penganiayaan yang dilakukan terhadap wartawati Sinar Harapan tersebut. "Kami menyayangkan kejadian itu," katanya. Untuk itu, ia mendesak aparat kepolisian untuk melakukan proses hukum terhadap pelaku, bukan saja dijerat dengan KUHP, tetapi juga dengan Undang-Undang Pers dalam pasal 8 yakni menghalang-halangi tugas pers. "Saya minta polisi menjerat pelaku dengan Undang-Undang Pers juga, karena kejadian itu terjadi saat korban melakukan tugas peliputan kedatangan cawapres Boediono. Ini bukan masalah politis," tegasnya. Dukungan terhadap korban, wartawati Sinar Harapan ini, ditunjukan oleh teman-temannya sesama wartawan dengan mendatangi ke Mapolresta Jayapura untuk memberikan support terhadap korban. Sementara itu, beberapa saat setelah kejadian tersebut, salah satu Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono, Rizal Malaranggeng datang ke Mapolresta Jayapura untuk menemui wartawan. Rizal Malaranggeng menyayangkan kejadian tersebut dan meminta maaf atas kejadian yag dialami olehtersebut. Rizal Malaranggeng mengaku sangat menyesalkan aksi kekerasan terhadap seorang wartawan yang dilakukan salah seorang yang konon kader partai demokrat. " Apapun alasannya tindakan ini sangat tidak dibenarkan, karena perbuata
[wanita-muslimah] Komitmen Penegakan HAM di Papua
Refelksi : Selama ini tidak ada komitmen penegakan HAM Di Papua? Cendrawasih Pos 27 Juni 2009 Komitmen Penegakan HAM di Papua Janji Boediono pada Safari Politiknya di Jayapura JAYAPURA-Kasus-kasus pelanggaran HAM yang selama ini masih banyak terjadi di Papua, ke depan, diharapkan tidak lagi terulang. Demikian salah satu janji yang ditebarkan Cawapres nomor urut 2, Boediono saat safari politik di Kota Jayapura, kemarin. Ia mengatakan, jika dirinya yang berpasangan Capres SBY dipercaya memimpin bangsa lima tahun ke depan, maka salah satu komitmen mereka adalah penegakan HAM di Indonesia, termasuk Papua. "Di semua daerah di Indonesia, penegakan HAM jadi komitmen kami bersama pak SBY,"katanya menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos, usai sholat Jumat di Masjid Al Fitra, Perumahan Jaya Asri Entrop, kemarin. Sementara itu, kepada wartawan Boediono mengakui, tidak banyak menyinggung masalah Ekonomi di depan massa di PTC, lantaran waktu cukup terbatas."Jadi benar saya tidak masuk ke masalah ekonomi,"jelasnya. Namun Boediono mengaku, cukup kagum dengan sambutan dari tokoh masyarakat, kepala suku, tokoh agama dan masyarakat Papua. "Semuanya nampaknya merasa bahwa Papua perlu perhatian, dan kita tentunya akan memberikan perhatian itu untuk ditingkatkan lagi,"tambahnya. Ia pun mengatakan, membangun Papua harus dengan menggunakan hati,daripada hanya hitung-hitungan proyek-proyek. Sebelum Shalat Jumat, Boediono sempat mengunjungi pasar rakyat di samping PTC Entrop. Setelah itu, pertemuan terbatas sejumlah tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan para kader partai pendukung SBY-Boediono. Meski bukan datang berorasi kampanye, namun kedatangan Boediono di PTC sempat disambut yel-yel dan tarian adat. Di pasar PTC, Boediono hanya sekitar lima menit. Selain melihat dari dekat kondisi pasar, juga sempat dialog singkat beberapa penjual sayur. Ia sempat menggendong seorang bocah. Saat di PTC kemarin, pertemuan terbatas dengan tajuk Boediono mendengar, diawali ucapan selamat datang sekalis laporan ketua tim Kampanye Daerah, Yusak Yaluwo,Sh,M.Si. Setelah itu, dilanjutkan sambutan Korwil 9 Timnas SBY-Budiono untuk Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan Malut, Fredy Numberi. Pada intinya Numberi mengajak masyarakat Papua, mendukung pasangan Capres/Cawapres SBY-Boediono pada Pilpres 8 Juli mendatang. Sebab diakui, selama kepemimpinan SBY, 4 tahun berjalan, sudah banyak hal dilakukan, tapi tentunya akan lebih baik lagi dilanjutkan kedepan, termasuk Papua. Diakui, banyak masalah dihadapi, tapi diyakini semua itu tidak bisa dijawab seperti membalikkan telapak tangan. "Dengan komitmen SBY-Budiono ini, untuk membangun Indonesia, lebih aman, adil dan sejahtera dan demokratis, saya yakin Tanah Papua pun akan diangkat, lebih aman, adil dan sejahtera,"jelas Numberi. Sementara itu, mengawali sambutannya, Boediono menyatakan rasa kagumnya terhadap keindahan dan kekayaan alam Papua, khususnya Kota Jayapura. "Papua begitu besar potensinya, tapi saya katakan bukan hanya besar tetapi indah alamnya. Kita jaga, tetapi juga kita kelola untuk kesejahteraan masyarakat,"katanya. Ia juga melihat telah banyak kemajuan pembangunan di Papua, akan terus dilanjutkan. "Banyak sekali pejabat putera Papua yang menduduki jabatan strategis di daerah. Di tingkat nasional semoga dalam waktu depan Number-Numberi lain banyak lagi,"janjinya. Dikatakan, salah satu kebijakan yang akan dilakukan bila terpilih nantinya adalah upaya memajukan sumber daya manusia di berbagai provinsi, termasuk Papua ini. "Saya beri kesempatan bagi putera Papua untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi,sehingga nantinya mendapatkan jabatan lebih tinggi,"katanya disambut yel-yel lanjutkan. Dijelaskan, untuk maju memimpin bangsa ini menjadi besar, putera Papua memiliki kesempatan yang sama dengan daerah lainnya. " Dan kami sangat mendukung untuk maju memimpin bangsa ini kedepan,"ujarnya. Kedua lanjutnya, jika melihat tema utama dari pemerintahan yang diinginkan pasangan SBY-Budiono adalah pemerintahan yang bersih, tidak dinodai oleh penyelewengan, korupsi, dan lainnya. Kesemuanya itu untuk kepentingan melayani rakyat bukan pejabat. Jadi, pemerintahan untuk rakyat, bukan untuk pejabat atau kelompok tertentu tapi kembali ke masyarakat. "Ini lah tema utama yang saya kira akan menjadi langkah yang paling penting kedepan ini bagi kita untuk maju dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Tidak bisa tidak. Kita harus mempunyai pemerintahan yang bersih Dan melayani rakyatnya,"katanya bersemangat. Kekayaan alam yang melimpah, harus dikelolah baik demi kesejahteraan rakyat. "Kita akan mendukung dari pusat, apakah itu infrastruktur, tentunya bersama-sama dengan Pemda. Dalam era Otda, Pemda pegang peranan penting. Dana sudah banyak mengalir ke daerah, pusat tetap membantu berupa dana maupun dukungan lain, apakah itu keahlian di bidang tertentu yang belum tersedia di Papua. Pak SBY dan saya sangat berharap peran kita di
[wanita-muslimah] Kapal Feri Perlu "Langkah Penyelamatan"
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/kapal-feri-perlu-langkah-penyelamatan/ Jumat, 26 Juni 2009 13:54 Pascaberoperasi Suramadu Kapal Feri Perlu "Langkah Penyelamatan" OLEH: CHUSNUN HADI SURABAYA - Pemprov Jatim terus melakukan upaya untuk menentukan nasib kapal feri penyeberangan Ujung (Surabaya)-Kamal (Bangkalan) setelah beroperasinya Jembatan Suramadu. Saat ini penumpang feri turun drastis sehingga harus ada langkah-langkah penyelamatan. Kepala Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan (Dishub dan LLAJ) Provinsi Jatim, Binsar Tua Siregar, memastikan ada pengurangan kapal yang melayani penyeberangan Ujung-Kamal. Masalahnya, harus dikemanakan kapal yang tidak lagi melayani operasional Ujung-Kamal. "Kami siapkan beberapa solusinya," kata Binsar ditemui di kantornya, Kamis (25/6) petang. Ia menambahkan, sebelumnya 18 kapal yang melayani penyeberangan Suramadu, dan 17 yang aktif beroperasi melayani selama 24 jam. "Nantinya, kami prediksikan hanya tersisa 8-9 kapal saja. Solusi pertama, kapal yang tidak beroperasi di Suramadu, kami alihkan untuk melayani rute penyeberangan lain, seperti Ketapang-Gilimanuk, Batulicin, dan lain-lain," ungkapnya. Menurutnya, Dishub dan LLAJ Jatim telah melakukan rapat koordinasi bersama Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Jatim dan lima operator perusahaan pelayaran yang melayani penyeberangan Ujung-Kamal. Tetapi, dalam rapat koordinasi tersebut, belum bisa diambil keputusan kapal milik operator mana yang harus dikurangi. "Kami akan membahasnya lagi pada rapat lanjutan yang akan kami laksanakan Sabtu (27/6) besok," jelasnya. Selama ini, lima operator yang melayani penyeberangan Ujung-Kamal. Mereka adalah PT ASDP mengoperasikan dua kapal, PT Dharma Lautan Utama lima kapal, PT Jembatan Madura Ferry tujuh kapal, PT Pewete Bahtera Kencana dua kapal dan PT Sindhu Bahari satu kapal. Binsar menegaskan, sampai saat ini baru PT Pewete Bahtera Kencana yang setuju pengurangan satu kapalnya. Bahkan, operator itu siap mengalihkan kapalnya menjadi kapal wisata di sekitar Suramadu. Empat operator lainnya masih mengkaji pengalihan jalur kapal. Turun 80 Persen Sementara itu, setelah beroperasinya Jembatan Suramadu, terjadi penurunan penumpang dan kendaraan hingga 80 persen di penyeberangan Ujung-Kamal. Operator penyeberangan pun harus mengubah pola operasionalnya. Menurut Prasetyo, Kepala Pelabuhan ASDP Surabaya, penurunan jumlah penumpang orang antara 30-40 persen, sepeda motor 41 persen, dan roda empat sekitar 80 persen. Sedangkan pola operasional kapal antara pukul 08.00 sampai 22.00 WIB kapal yang beroperasi 8-12 unit. Antara pukul 22.00-07.00 kapal yang dioperasikan 4-6 unit. "Kami menyerahkan nasib kapal-kapal ini pada Dishub dan LLAJ Jawa Timur. Yang pasti akan dilihat unsur keadilannya dan tidak merugikan pihak lain," tandasnya. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Gadis Arivia : Bukan Bungkus, tetapi Isi Kepala Perempuan
Sekedar u bacaan l.meilany -- KOMPAS, Jumat, 19 Juni 2009 | 03:49 WIB OPINI Bukan Bungkus, tetapi Isi Kepala Perempuan Oleh Gadis Arivia Tak lelah-lelahnya para politisi Indonesia mempermasalahkan integritas perempuan dan mengaitkannya dengan cara berbusana tertentu. Sudahkah politik di negara ini sedemikian rendahnya sehingga bukan konsep yang diperdebatkan lagi, tetapi busana istri-istri calon presiden yang menjadi masalah? Apa yang ada di isi kepala sebuah partai politik dengan mengangkat masalah jilbab yang tak dikenakan Ibu Ani Yudhoyono dan Ibu Herawati Boediono? Bukankah seharusnya memeriksa apa isi kepalanya dan bukan apa yang bertengger di atas kepala mereka? Apa yang dipertontonkan oleh politisi Indonesia dalam kampanye pemilu kali ini adalah pembodohan. Bukan saja kebodohan yang dipertunjukkan, tetapi juga tidak ada respek atas pilihan-pilihan perempuan. Tidak ada unsur mendidik dan mendiskusikan konsep dan status perempuan di Indonesia, tetapi yang ada mengobyekkan perempuan Indonesia dengan mendikotomikan perempuan berjilbab dan tidak berjilbab. Jauh sebelum partai itu lahir dan partai-partai politik lainnya ada, pada awal abad ke-17 perempuan Indonesia telah memegang tampuk kekuasaan tertinggi dalam kerajaan. Simak sejarah Aceh, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut memerintah hingga tahun 1641 (Anthony Reid, 1993). Mereka mampu memimpin dengan tegas, menangani pertengkaran elite politik dan ekonomi dengan baik. Mereka tidak mengurus soal jilbab, tetapi mereka sibuk dengan strategi perdagangan. Tokoh seperti Kartini pada tahun 1899 sudah memikirkan soal pendidikan perempuan bahkan dalam hal agama. Kartini menyatakan, "Nilai manusia terletak pada nilai amalnya." Kartini mementingkan isi daripada bentuk syariat-syariat (Pramoedya Ananta Toer, 2000). Ketika Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia, Fatmawati, mendampingi Soekarno. Dandanan Fatmawati yang sederhana berbalut kebaya pendek dan kain batik dengan rambut tergelung menampilkan ibu negara yang anggun dan penuh karisma. Fatmawati meskipun masih berumur 23 tahun ketika itu memiliki kecintaan mendalam terhadap tanah airnya dengan menjahit bendera Merah Putih agar dikibarkan sebagai lambang kemerdekaan. Ia pun dikenal sebagai sosok yang mandiri dan memiliki prinsip. Ketika Soekarno berniat menikah lagi, ia dengan tegas menolak untuk dimadu. Sosok pendamping para presiden yang memiliki karakter yang kuat dan cerdas dimulai dari Fatmawati. Sosok karakter seperti inilah yang mengawali citra ibu negara Indonesia. Sosok ibu negara Citra Ibu Tien Soeharto, istri presiden Soeharto pada masa Orde Baru, merupakan sosok yang berupaya untuk memperkenalkan batik sebagai busana Indonesia, baik untuk perempuan maupun laki-laki di dunia Internasional. Tien Soeharto dikenal sebagai pendiri Dharma Wanita. Memang banyak kritik terhadap Dharma Wanita di era Orde Baru, tetapi bagaimanapun, Tien Soeharto telah mengaktifkan organisasi ibu-ibu, termasuk ibu-ibu PKK, untuk terlibat di berbagai kegiatan kesehatan dan pendidikan. Ketika Soeharto berhenti dan digantikan oleh BJ Habibie, sosok Ibu Ainun Habibie kerap muncul dalam sorotan publik. Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang ibu negara ke-3 ini, tetapi ia dikenal sebagai pemerhati anak. Selain itu, ia merupakan istri presiden yang pertama kali bergelar dokter. Ibu-ibu negara selanjutnya memiliki pengetahuan akademik yang memadai, seperti Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid yang meraih gelar S-2 Kajian Wanita UI dan aktif dalam pergerakan perempuan Indonesia. Ia memperjuangkan toleransi beragama dan pluralisme serta ikut dalam demonstrasi damai penolakan RUU Pornografi. Sinta Nuriyah hanya memakai selendang di kepalanya sebagaimana lazimnya budaya Indonesia. Bila berbicara tentang ibu negara dan calon ibu negara, karya dan pemikiran mereka lebih menggairahkan ketimbang wacana mengapa mereka berjilbab atau tidak. Sungguh mengherankan, baru kali ini soal jilbab dijadikan identitas ibu negara di negara Indonesia. Sepanjang sejarah Indonesia, identitas nasional menjadi lebih penting, bukan identitas agama. Sebab, Indonesia dikenal sebagai negara plural dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda. Soekarno pun memakai peci bukan hendak mengukuhkan identitas keislamannya, tetapi rasa nasionalismenya. Seperti kata Soekarno kepada Cindy Adams (1996 : 51), "Peci merupakan ciri khasku dan menjadi simbol bangsa Indonesia yang merdeka". Pemakaian peci, menurut dia, adalah tanda kedekatan dengan masyarakat bawah sebagaimana penggunaan sarung. Pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia pun menunjukkan kombinasi Timur-Barat dengan memakai peci serta jas tanpa dasi. Istri-istri presiden dalam media Indonesia tidak banyak diungkapkan karya-karya mereka. Mereka lebih banyak menjadi "pajangan" yang entah dibanggakan atau dijatuhkan. Seolah-olah istri-istri ini hany
Re: [wanita-muslimah] Fwd: [PersIndonesia] Soal Indomie, SBY "Membohongi Publik" di Forum Resmi Debat Capres
Saya bingung. Siapa yg bikin kebohongan? Saya waktu denger juga heran? Memangnya Indonesia menghasilkan gandum? Daerah mana ada ladang gandum? JK ngelindur kali nih. Sedari dulu juga gandum itu diimpor dari Amrik. Mungkin dibikin tepung terigunya di Indonesia. Tepung terigu kan gak cuma dibikin mi instan Tapi juga untuk bikin makanan murah meriah lainnya. Yg dijual di kaki lima. Gorengan singkong, ubi, bakwan yg harganya 500/potong gak akan ada kalo gak ada terigu. Sebenernya mi instan itu pada kenyataannya yg banyak konsumsi itu sapa. Rakyat kecil kan? Jadi dengarlah debat capres itu dengan bijak ; dengar juga apa yg tersirat bukan melulu yg tersurat. Salam, l.meilany - Original Message - From: Hongaria Cantik To: dpr-indonesia ; Milis-KAMMI ; wanita-muslimah@yahoogroups.com ; majelismuda ; p...@yahoogroups.com ; pks-de...@yahoogroups.com Sent: Friday, June 26, 2009 6:10 PM Subject: [wanita-muslimah] Fwd: [PersIndonesia] Soal Indomie, SBY "Membohongi Publik" di Forum Resmi Debat Capres -- Forwarded message -- From: Coklat Coklat Date: 2009/6/26 Subject: [PersIndonesia] Soal Indomie, SBY "Membohongi Publik" di Forum Resmi Debat Capres To: media-jaka...@yahoogroups.com, mediac...@yahoogroups.com Cc: persindone...@yahoogroups.com http://public.kompasiana.com/2009/06/26/soal-indomie-sby-membohongi-publik-di-forum-resmi-debat-capres/ Soal Indomie, SBY "Membohongi Publik" di Forum Resmi Debat Capres Oleh tononagoro - 26 Juni 2009 JK menyindir SBY yang beriklan menggunakan jingel iklan Indomie. Menurut JK, jika masyarakat banyak makan mie instan, gandum tidak bisa diekspor untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi petani gandum. "Jadi Pak SBY, kalau masyarakat banyak makan mie instan gandum nggak bisa diekspor," kata JK yang disambut riuh tawa dan tepuk tangan hadirin di Studio Metro TV, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (25/6/2009). Gayung pun bersambut. Sindiran JK ini ditimpali oleh SBY. Menurutnya, mie instan yang dia makan bukan melulu terdiri dari gandum. "Mungkin Pak JK hanya makan mie instan yang full gandum. Kalau mie yang saya makan campuran gandum, sagu, jagung, jadi petani sagu juga meningkat," kata SBY saat mendapat giliran bicara. Sungguh luar biasa, seorang Presiden Republik Indonesia bisa dengan santainya membohongi publik, rakyat Indonesia, di sebuah forum resmi Debat Capres. Seorang teman yang sangat pakar dibidang industri mie instant menjelaskan bahwa tidak pernah ada Indomie yang dicampur sagu, jagung. Tidak jelas apakah pihak manajemen Indofood yang selama ini membantu proses kampanye iklan SBY akan mengklarifikasi statemen yang merugikan Indomie ini. Atau sebaliknya justru akan menguatkan statemen SBY tersebut, dengan kemungkinan kehilangan konsumennya. Rekan saya tersebut terbahak-bahak, betapa mudahnya rakyat Indonesia dibodohi SBY selama ini. [Non-text portions of this message have been removed] === Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Info of the day : SMK - Sekolah Menengah Kejuruan
SMK - Sekolah Menengah Kejuruan Bahwa saat ini semakin banyak mahasiswa putus kuliah ditengah jalan. Banyak juga lulusan SMU yang tidak bisa meneruskan kuliah dan menjadi pengangguran. Masalah ekonomi, ketiadaan biaya menjadi alasan utama. Sebaiknya ketika hendak memilih sekolah setelah SMP, orang tua, pelajar itu harus mengetahui kemampuan [ ekonomi] juga minatnya. Meneruskan sekolah setelah SMP di SMK - Sekolah Menengah Kejuruan adalah solusi yang paling tepat, jika ingin cepat bekerja. Bersekolah di SMK lebih banyak memiliki keuntungan. Karena pada umumnya semua lulusan SMK akan mudah mendapatkan pekerjaan. Bahkan ketika baru duduk di kelas akhir, prestasinya cemerlang, perusahaanlah yang meminta murid cemerlang itu untuk bekerja. Bandingkan dengan lulusan SMU, jika hendak bekerja harus mengikuti kurus-kursus ketrampilan terlebih dahulu sesuai pekerjaan yang diinginkan. Lulusan SMK juga bisa meneruskan ke perguruan tinggi; tentunya yang sesuai dengan program keahliannya. Bekerja sambil kuliah atau berwiraswasta sambil kuliah. Sekarang banyak SMK yang bertaraf internasional bahkan yang sudah mendapatkan ISO. Jadi SMK masa kini bukanlah lagi sekolah yang tidak bergengsi, seperti anggapan pada umumnya. 'Modal' untuk mendirikan SMK sangat dan lebih besar daripada modal mendirikan SMU. Banyak program unggulan SMK yang layak 'jual'. Seperti program perhotelan, restoran, akuntansi, multimedia, tour & travel, nautika, otomotif, teknik informatika, pertukangan kayu, permesinan, perlistrikan, penerbangan, tata boga, perancang busana, kewirausahaan, ke sekretarisan. Di beberapa daerah ada juga SMK pertanian, perternakan. Banyak perusahaan besar melirik lulusan SMK, bahkan langsung mengadakan seleksi di sekolah. Jika para pelajar itu melakukan tugas praktek di perusahaan, bahkan setelahnya juga bisa langsung bekerja, jika prestasi 'magangnya' memuaskan. Dulu waktu zaman saya di SMK: pelajar SMK dipandang sebelah mata. Karena ada anggapan kurikulum SMK hanya 'main-main' tidak bergengsi. Hanya untuk pelajar yang mau cepat bekerja, pelajar miskin. Alasan utama saya masuk SMK adalah menghindari pelajaran ilmu pasti :-). Hingga sekolahnya yang jauhpun diniatkan. Begitu lulus, tidak sampai seminggu, saya sudah mulai bekerja. Saya mulai bekerja di sebuah perusahaan kali pertama ketika usia saya belum lagi 18 tahun. Jadi, jika ingin cepat bekerja, jika ingin kuliah dengan biaya sendiri mengapa tidak masuk ke SMK saja. l.meilany 270609 [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Kecelakaan Lalu Lintas Berpangkal dari Mental
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/kecelakaan-lalu-lintas-berpangkal-dari-mental/ Kamis, 25 Juni 2009 14:10 Kecelakaan Lalu Lintas Berpangkal dari Mental Indonesia merupakan pasar produk industri otomotif yang terus bertumbuh. Dari tahun ke tahun jumlah kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda tiga, terus meningkat. Tak peduli apakah perekonomian nasional sedang mengalami krisis atau tidak. Peningkatan produksi industri otomotif memberi dampak positif karena memperkecil kemungkinan pemutusan hubungan tenaga kerja (PHK). Di samping itu, meningkatkan penerimaan sektor perpajakan. Pertambahan jumlah kendaraan juga berdampak negatif karena mendorong peningkatan permintaan BBM. Peningkatan itu pada akhirnya turut mengurangi devisa sebab BBM masih harus diimpor. Pertambahan produksi kendaraan juga mendorong peningkatan impor bahan baku dan bahan baku penolong. Ini berarti kita harus mengeluarkan devisa yang cukup besar, apalagi kalau terjadi penggelembungan (mark up) dalam harga impornya. Dari sisi yang lain, penggunaan kendaraan bermotor yang melonjak dari tahun ke tahun menunjukkan masyarakat telah terkena pengaruh modernisasi. Tidak hanya masyarakat yang berlokasi di perkotaan, namun juga di wilayah terpencil yang tidak dilalui jalan raya. Konsumen membeli kendaraan bermotor dengan berbagai alasan, mulai dari aspek kebutuhan, efek demonstratif hingga gaya hidup. Apa pun yang mendasari pembelian itu seharusnya diimbangi dengan sikap mental yang tepat. Ketidakseimbangan itulah yang menyebabkan munculnya dampak negatif penggunaan kendaraan bermotor. Menurut kepolisian, kecelakaan pada satu semester pertama pada 2009 mencapai 19.000 kasus, sedangkan pada periode yang sama tahun lalu berjumlah 18.000 kasus. Dengan demikian, terjadi kenaikan 1.000 kasus, 30% di antaranya berasal dari kasus sepeda motor. Sekalian kasus itu terjadi karena kesalahan pengemudi, disusul kondisi kendaraan yang bersangkutan serta kondisi infrastruktur yang buruk. Semuanya jelas memberi sumbangan terhadap kecelakaan lalu lintas, baik yang menimbulkan korban jiwa maupun luka-luka. Perbaikan infrastruktur berjalan sangat lambat hingga pertambahan panjang jalan tidak seimbang dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Gara-gara ketidakseimbangan ini, Jakarta diperkirakan mengalami kemacetan total dalam tiga hingga lima tahun mendatang. Dengan demikian, sukar diharapkan perbaikan kondisi infrastruktur secara lebih cepat sebab anggaran belanja pemerintah sangat terbatas. Jumlah pembayaran bunga dan utang pokok setiap tahun menghalangi upaya memperbaiki situasi secara mendasar. Perbaikan dari sisi mental pengemudi harus dilakukan secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan. Pembenahan mental ini seyogianya dilakukan sejak usia sekolah dasar dan terus berjenjang. Dengan demikian, diharapkan yang bersangkutan secara mental sudah siap ketika arus modernisasi menjamahnya. Kita saat ini tidak melihat telah terbangun suatu perbaikan mental secara mendasar. Apa yang dilakukan saat ini kurang menyeluruh dan lebih mirip seremonial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan pendidikan lalu lintas sejak dini tak sesuai harapan. Kecelakaan juga dapat dicegah bila aparat menerapkan peraturan lalu lintas secara tegas. Dewasa ini masih saja ada kegiatan damai di tempat, kendati jelas bahwa pengemudi telah melanggar peraturan. Para produsen kendaraan bermotor, baik roda dua dan roda empat, selayaknya lebih berpartisipasi dalam mencegah kecelakaan lalu lintas. Mereka dapat memberi kontribusi yang berarti dalam bentuk perbaikan teknis kendaraan yang bersangkutan hingga mendidik para pengemudi agar taat dan patuh kepada peraturan. Jadi, mengurangi jumlah kecelakaan kendaraan di jalan raya itu merupakan aktivitas yang harus dilangsungkan sejak dini, berkelanjutan, dan aparat tegas dalam menerapkan peraturan. Sejauh ini, kampanye berlalu lintas yang baik dan benar hanya bersifat temporer. Dalam dunia yang serbakompetitif ini, selayaknya peningkatan jumlah kecelakaan di jalan raya memeroleh perhatian besar. Kecelakaan menyebabkan SDM menjadi tidak kompetitif lagi. Yang rugi bukan cuma keluarga, tetapi juga negara. [Non-text portions of this message have been removed]