Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 23/II/11-17 Juli 99
------------------------------

BUTON TOLAK PEMILU

(PEMILU): 10.828 surat suara hilang di Buton. Kotak suara sudah dibuka
sebelum Hari H. Bukti Golkar curang di daerah pelosok dengan menggunakan
aparat lokal.

Jangan heran bila Golkar bisa menduduki urutan kedua dalam penghitungan
suara. Bahkan 'kalau mau', Golkar pun sebenarnya masih bisa untuk duduk di
nomor satu. Semua suara itu, apalagi kalau bukan didapat melalui kecurangan?
Dan sebagian kecurangan itu banyak dilakukan di daerah-daerah pelosok yang
jauh dari perhatian, di mana pemantau pemilu jarang dan aparat birokrasi
setempat masih tunduk pada perintah partai beringin ini.

Salah satu bukti adalah apa yang terjadi di Buton, Sulawesi Tenggara.
Birokrasi dan militer yang terlibat di tingkat lokal dalam kecurangan ini
adalah Ketua Panitia Pemilihan Daerah II (PPD II), Drs. Ambo Sakka, Ka.
Kansospol. Letkol. (CZI) Drs. Djainal Gultom yang mewakili Pemda Tingkat II
Buton, dibantu Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Buton, Bontor Aruan
SH yang notabene adalah Hakim Pengadilan Negeri di Bau-Bau, pusatnya Buton.

Gelombang kecurangan pertama dimulai dengan hilangnya 10.828 surat suara
yang dikirim ke Buton. Hal ini diketahui setelah Forum Silaturahmi
Partai-Partai Politik (FSPP) Kabupaten Buton menghitung surat suara yang
masuk dikurangi total suara pemilih yang mencoblos di Buton. FSPP sudah
melaporkan kehilangan ini ke polisi tapi sampai berita ini ditulis pun belum
ada pertanggungjawaban dan penanganan yang tuntas dari pihak Kepolisian
Resort Buton. "Ini jelas suatu skandal nasional. Bagaimana mungkin untuk
daerah sekecil Buton bisa dilebihkan surat suaranya sampai sepuluh ribu
lebih? Untuk apa lagi kalau bukan dicoblosi secara tidak sah oleh Golkar.
Ini baru dari Buton, belum lagi di daerah pelosok yang lain. Bisa-bisa
Golkar dapat kursi-kursi tanpa ada yang memilih!" seru Amsir Anggo dari
Partai Kebangkitan Bangsa.

Bagaimana surat suara itu bisa hilang? "Tidak hilang! Kami menduga surat
suara itu sudah dicoblosi lalu masuk ke kotak suara sebelum pemilu dimulai,"
tambah Amsir Anggo. Memang, ada instruksi dalam bentuk radiogram dari Ketua
PPD II Buton Drs. Ambo Sakka ke kecamatan-kecamatan di wilayahnya untuk
membuka kotak suara sebelum Hari H. Tindakan Ambo Sakka ini dinilai tidak
demokratis karena tanpa melalui musyawarah dengan anggota-anggota PPD II.
Ambo Sakka yang dihubungi, menyangkal bahwa ia berbuat curang, "Radiogram
itu adalah petunjuk teknis bagi panitia di lapangan supaya memudahkan mereka
bekerja. Memang tidak sepengetahuan semua anggota PPD II karena rapat mereka
tak datang sementara waktunya sudah mendesak."

Dalam kerja lapangan, praktis PPD II Buton jarang melibatkan anggota-anggota
partai non Golkar. "Hampir semua didominasi ketua dan sekretaris, yang jelas
mereka dari Pemda dan TNI," ujar Dayanudin dari Partai Rakyat Demokratik
(PRD). Kepala Sekretariat PPD II Buton, Kol CZI Drs. Djainal Gultom yang
juga menjabat Kakansospol Buton dinilai terlalu dominan melampaui batas
kewenangannya. Hal ini terlihat dari kegiatan sirkulasi dan distribusi surat
suara dari PPD II ke kecamatan tanpa pernah diketahui oleh anggota-anggota
PPD II hingga akhir usainya pelaksanaan pemungutan suara.

Partai-partai non Golkar di Buton, seperti PKB, PBB, PUDI, PKP, dan PRD,
sebetulnya sudah mempertanyakan kecurangan ini untuk ditelusuri Panwaslu,
tetapi sayang Panwaslu Buton yang diketuai Bontor Aruan SH ternyata tidak
proaktif dan akomodatif. "Saya tidak tahu apakah Pak Bontor Aruan itu lambat
atau sengaja melambatkan diri," sindir La Ode Asnun R. Azis dari Partai
Bulan Bintang. Bontor Aruan sendiri tidak bisa dihubungi dengan alasan
sedang sibuk dengan tugasnya sebagai hakim Pengadilan Negeri Bau-Bau.

Lantaran tidak selesainya pertanggungjawaban segala kejanggalan yang terjadi
di atas, partai-partai non Golkar yang tergabung dalam FSPP membentuk
Delegasi Pembela Demokrasi Buton. Anggotanya terdiri dari Drs. HLM Halaka
Manarfa, La Ode Asnun R. Azis, Harsid Ambotang (PBB), Drs. LM Anshari Idris,
Amsir Anggo (PKB), Andi Yunus Nontji (PKP), Muslimin Buhim (PUDI), dan
Dayanudin (PRD). Setelah melalui musyawarah yang panjang, FSPP memutuskan
untuk menolak hasil penghitungan suara pemilu yang baru lalu. Delegasi
kemudian menandatangani Resolusi No. 01/DPDB/FSP/Btn/99 atas nama 21 partai
yang intinya meminta pemilu diulang di Buton. Resolusi itu kemudian dikirim
ke Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diketuai Jacob Tobing dengan
tembusan ke KPU, Panwaslu, Mahkamah Agung, dan sejumlah lembaga lain di
tingkat pusat dan lokal yang semuanya mencapai 24 lembaga.

Kemungkinan untuk mengulang pemilu di Buton, dan juga di daerah-daerah lain
yang banyak diminta oleh masyarakat setempat, menurut Andi Malarangeng,
boleh dibilang kecil atau bahkan tidak mungkin sama sekali. "Bukannya tidak
demokratis. Tapi secara realistis, menghitung waktu dan biaya, pemilu ulang
di berbagai daerah itu sangat musykil," jawab anggota KPU yang pernah
'dipecat' itu. 

Memang susah bila pemilu diulang. Pemilu ini boleh dibilang seperti tiada
gading yang tak retak. Barangkali usulan lain dari delegasi dari Buton ini
bisa dipertimbangkan, yakni mendiskualifikasi partai-partai yang curangnya
keterlaluan. Golkar dalam hal ini, terbukti oleh banyak pemantau dan
Panwaslu sendiri telah melakukan kecurangan yang amat besar hingga menggusur
perolehan kursi-kursi partai lain di DPR. Bila kita menginginkan pemilu
mendatang lebih bersih, jujur dan adil, maka aktor utama kecurangan pemilu
kali ini, yaitu Golkar, selayaknya sudah out dari arena. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke