Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 23/II/11-17 Juli 99
------------------------------

KERTAS SUARA DIJUAL

(PEMILU): Sembilan puluh ribu kertas suara asli, nyaris didaur ulang. PPK
Tanah Merah Madura mengaku menjualnya.

Akhir Juni lalu (26/6), secara tak sengaja, Hasan, relawan Komite Independen
Pemantau Pemilu Daerah (KIPPDA) Gresik melihat seorang anak kecil
bermain-main dengan kertas bergambar 48 parpol peserta pemilu. Penasaran
dengan apa yang disaksikannya, ia memperhatikannya lagi lebih dekat.
Ternyata, seperti dugaannya, kertas tersebut adalah surat suara resmi yang
digunakan dalam pemilu 7 Juni lalu, lengkap dengan hologram yang dikeluarkan
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kertas suara yang semestinya dikonsolidasikan hingga ke tingkat propinsi,
atau PPD I (Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I) Jawa Timur itu, nyatanya tak
cuma selembar-dua lembar. Setelah dilakukan investigasi di sekitar tempat
tersebut, tepatnya di gudang milik Haji Ihsan yang terletak di Desa Krikilan
Dwiyorejo, KIPPDA Gresik menemukan tumpukan kertas suara sebanyak 2 truk
atau sekitar 90.000 lembar. Andai saja terlambat ditemukan, tumpukan kertas
tersebut bakal segera didaur ulang oleh pemilik gudang yang memang
sehari-harinnya adalah seorang pendaur ulang.

KIPPDA Gresik yang bersama-sama Polres Gresik melakukan pemeriksaan dan
penyortiran, menemukan fakta: sebagian besar kertas suara itu berasal dari
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Tanah Merah Madura, yakni mencapai 40.000
lembar. Sisanya, sebagian adalah kertas-kertas pendaftaran pemilih (model
A1) yang berasal dari Surakarta, Sragen -sebagian lagi masih dalam proses
penyortiran. Haji Ihsan mengaku, kertas-kertas suara tersebut diperolehnya
dari Haji Satar, sesama pendaur ulang yang tinggal di Surabaya.

Berdasarkan penelusuran fakta yang dilakukan KIPPDA Gresik, didapatkan
pengakuan dari pihak PPK Tanah Merah Madura yang membenarkan bahwa mereka
telah menjual kertas-kertas suara tersebut karena menganggap Pemilu 1999
telah selesai. Transaksi penjualan, diketahui dilakukan pada 22 Juni 1999.

Penemuan ini, keruan saja membikin heboh berbagai pihak. Pasalnya, ketika
tumpukan kertas suara tersebut ditemukan, penghitungan suara di tingkat
nasional belum lagi selesai dilakukan dan masih ada yang mempertanyakan
ketepatan hasil-hasil penghitungan di berbagai tempat. Seandainya saja salah
satu institusi yang berwenang meminta penghitungan suara ulang di wilayah
Jawa Timur, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika sebagian besar
kertas suara ternyata sudah tidak ada. Partai-partai yang "suaranya telah
laku terjual" ini, tentulah akan mengalami kerugian besar -dalam hal ini,
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang banyak memperoleh suara di Jawa Timur.

Di samping itu, bila mengacu pada Undang-Undang Pemilu Nomor 3 tahun 1999,
apa yang terjadi sebetulnya dapat dikategorikan sebagai "pelanggaran berat".
Dalam pasal 73 ayat 1 dikatakan, "barangsiapa dengan sengaja mengacaukan,
menghalangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan
menurut UU ini, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun."
Sedangkan pada ayat 10 disebutkan, "seorang penyelenggara pemilu yang
melalaikan kewajibannya dipidana dengan hukuman kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling tinggi 3 juta."

Hanya saja, tak mudah untuk menerapkan ketentuan hukum ini. Pertama, karena
berdasarkan pengakuan tertulis pihak PPK Tanah Merah Madura, alasan mereka
melakukan penjualan kertas suara tersebut semata-mata karena menganggap
Pemilu 1999 telah selesai. Dengan begitu, mereka menempatkan diri sebagai
pihak yang tidak mengerti ketentuan-ketentuan yang benar mengenai
penyelenggaraan pemilu. Sehingga, orang-orang akan berpikir bahwa mereka tak
perlu diberi ganjaran yang sepatutnya, sebab tak sengaja melakukan
pelanggaran. Kedua, dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia, tak
pernah ada budaya untuk mengganjar para pelanggar pemilu dengan
hukuman-hukuman yang berat. Sulit untuk membudayakannya dalam kasus yang
dikesankan terjadi secara "tak sengaja".

Ketiga, pihak-pihak yang berwenang mengambil tindakan tegas terhadap kasus
semacam ini terkesan bereaksi sangat lamban. Panitia Pengawas Daerah tingkat
(Panwasda) I Jawa Timur misalnya, ketika dilaporkan perihal ini mengaku
belum tahu apa-apa dan bahkan belum berkoordinasi dengan Panwasda II Gresik
maupun Bangkalan (kinerja Panwas di daerah-daerah memang sangat
memprihatinkan, umumnya disebabkan karena keterbatasan sumber daya,
khususnya dana). Begitu pula Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Polda Jawa
Timur, Letkol Soetrisno yang tidak bersedia ditemui tim investigasi KIPP
dengan alasan sibuk membuat surat. 

Mencari siapa yang salah dalam kasus ini memang mudah. Namun, mencari tahu
apakah kesalahan tersebut dilakukan dengan sengaja untuk "mengacaukan hasil
pemilu" atau tidak, ini yang sulit. Jika melihat laporan-laporan pelanggaran
pemilu yang dihimpun oleh KIPP secara nasional, sebagian besar pelanggaran
(mencapai lebih dari 60.000 kasus) memang disebabkan masalah-masalah teknis
dan administratif. Yang artinya,  adanya ketidaksiapan atau
ketidak-mengertian aparat penyelenggara pemilu terhadap tugas-tugasnya.
Sementara di sisi lain, terdapat juga fakta bahwa penyelenggara pemilu,
khususnya wakil-wakil parpol yang hampir pasti tak mendapat kursi di
kabupaten tertentu, melakukan transaksi penjualan suara pada wakil parpol
lain kendati sesudah penghitungan suara (di Gorontalo, Sulawesi Utara).
Mungkinkah ini motif yang terjadi di Gresik? Penjualan kertas suara ataukah
penjualan suara? (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke