Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 25/II/25-31 Juli 99 ------------------------------ KISAH SAPI PERAH ORBA (POLITIK): Rugi, adalah cerita lama. Inilah sebagian model kolusi dan pemerasan yang telah puluhan tahun terjadi di Pertamina. Kutukan itu belum berakhir. Sejak awal berdirinya, hingga kini, cerita tentang kerugian besar dalam tubuh Pertamina bukan lagi hal aneh. Nama-nama Ibnu Soetowo, Faisal Abda'oe hingga Martiono Hadianto senantiasa lekat dengan isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Wajar jika ada yang percaya Pertamina telah terkena kutukan. Kalau sekarang muncul lagi temuan kebocoran sebesar 6,1 milyar dolar AS oleh kantor akuntan internasional Price Waterhouse Coopers (PwC), maka semakin lengkaplah cerita buruk tentang Pertamina. PwC yang memperoleh surat tugas dari Depkeu tertanggal 31 Desember 1998 diberi mandat untuk melacak laporan keuangan Pertamina sejak 1 April 1996 hingga 31 Maret 1998. Dari hasil penyelidikannya PwC berkesimpulan bahwa Pertamina telah menjadi target dari sejumlah individu yang memiliki koneksi kuat dengan penguasa (politically well-connected individuals). Caranya dengan mendirikan macam-macam perusahaan untuk menjadi rekanan dan melakukan bisnis dengan Pertamina. Meskipun, Pertamina sebetulnya mampu melakukan. Celakanya, dalam berhubungan dengan para 'rekanan'-nya, Pertamina berada dalam posisi sapi perahan. Walaupun secara teori 85% dari keuntungan diberikan ke Pertamina dan 15%-nya ke tangan kontraktor, tapi bukan demikian yang sebenarnya terjadi (Kompas, 19/7). Sistem perbandingan 85:15 itu diterapkan pada pendapatan setelah dikurangi macam-macam ongkos produksi. Dengan begitu, jika Pertamina merupakan satu-satunya pihak yang yang menanggung seluruh ongkos produksi, maka tak ada lagi artinya keuntungan 85% tadi. Sebab, biasanya ongkos produksinya justru lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Dari situlah kebocoran terjadi. Kebocoran yang telah mengakar selama puluhan tahun. Bagi yang tahu skala produksi serta potensi ladang minyak dan gas Pertamina, pasti memaklumi mengapa banyak pihak yang ngebet berkolusi dengan Pertamina. Berdasarkan perhitungan tahun 1997, cadangan minyak bumi Indonesia masih sebesar 9,1 miliar barel, terdiri dari 4,9 miliar barel cadangan terbukti dan 4,2 miliar barel cadangan potensial. Sementara cadangan gas bumi masih sebesar 137,8 triliun kaki kubik terdiri atas 76,2 triliun kaki kubik cadangan terbukti dan 61,6 triliun kaki kubik cadangan potensial. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan negara dari minyak dan gas bumi mencapai Rp13,5 triliun hingga Rp30,6 triliun per tahun. Semestinya, jika tak terjadi kebocoran luar biasa, keuntungan Pertamina dalam beberapa tahun mendatang masih cukup besar. Nyatanya, selama puluhan tahun inefisiensi sengaja dilakukan para orang nomor satu Pertamina yang secara pribadi mendapatkan keuntungan dari kebobrokan manajemen perusahaan. Mantan Dirut Pertamina Ibnu Soetowo yang dikenal sebagai 'bos' Hotel Hilton menjadi kaya raya setelah mengeruk kekayaan Pertamina di jaman oil boom. Memanfaatkan perlindungan dari Soeharto, tak ada yang berani menggugat Ibnu. Semenjak Ibnu menjadi Dirut, KKN di Pertamina telah menjadi kultur yang mengakar luar biasa kuat. Ini ditopang pula oleh Soeharto yang selalu mendapatkan keuntungan dari sini. Di masa Faisal Abda'oe menjadi Dirut, beberapa keluarga dekat Soeharto sengaja dilibatkan dalam bisnis Pertamina. Misalnya untuk pengadaan minyak mentah impor oleh Perta Oil Ltd dan Permindo Trading Oil Co. Ltd. Sebanyak 70% saham Perta dimiliki oleh Tommy Soeharto serta beberapa yayasan. Sedangkan 65% saham Permindo dikuasai Bambang Trihatmodjo, Sudwikatmono dan Nirwan Bakrie. Lalu, ada pula proyek pipanisasi jaringan Pertamina di Jawa yang juga melibatkan Tommy dan Bambang. Sebetulnya bukan Tommy dan Bambang yang memasok modal untuk proyek itu. Sebab karyawan dan para ahlinya adalah orang-orang Pertamina dan digaji oleh Pertamina. Hanya keuntungannya masuk ke keluarga Cendana. Di masa Habibie menjadi presiden, KKN di Pertamina bukannya berkurang. Habibie justru jadi "Soeharto baru" bagi Pertamina. Akal-akalan dalam tubuh Pertamina yang cuma menguntungkan para pejabat dibiarkannya terjadi. Misalnya ketika Pertamina melakukan restrukturisasi pada Desember tahun lalu -beberapa saat sebelum penggantian Dirut Pertamina-, dibentuk konsorsium konsultasi untuk kepentingan itu yang terdiri dari PT Patra Dinamika (PD), PT Patra Dinamika Utama (PDU), The Boston Consulting Group (BCG) dan Hay Management Consultant (HMC). PD merupakan perusahan yang sahamnya dimiliki Yayasan Kesejahteraan Pegawai Pertamina (YKPK), Faisal Abda'oe dan anggota keluarga para pejabat Pertamina. Sedangkan PDU adalah perusahaan baru yang khusus dibentuk untuk proyek ini -diduga sebagai upaya untuk mengalihkan keuntungan agar tak semuanya jatuh ke YKPK. Yang aneh dari konsorsium ini, kedua perusahaan lokal yang terlibat (PD dan PDU) sama sekali tak memiliki kemampuan di bidang jasa konsultasi. Mereka hanya menandatangani kontrak kerja, mengerjakan proses administrasi dan pelaporan serta koordinasi. Sedangkan seluruh pekerjaannya dilakukan oleh dua konsultan asing tersebut. Kontrak restrukturisasi ini mencapai US$42 juta. BCG dibayar US$16,5 juta dan HMC US3,5 juta. Sisanya US$22 juta diraup mitra lokalnya. Di masa Habibie pula, ditempatkan Dirut baru, Martiono Hadianto menggantikan Soegijanto yang pernah memutuskan kontrak dua perusahaan importir minyak milik Bambang Trihatmodjo dan Tommy Soeharto, yaitu Permindo dan Perta. Martiono adalah orang dekat Habibie yang sebelumnya bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta salah seorang fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Di tangan Martiono, Pertamina secara cerdik melakukan hubungan bisnis dengan Aburizal Bakrie yang mendukung pencalonannya sebagai Dirut. Sebagai pengganti Permindo dan Perta misalnya, Martiono menggandeng Singapore Petrolium Co., yang ternyata berkongsi dengan Petrocom milik Aburizal Bakrie. Yang lebih parah, dikabarkan Martiono sengaja ditempatkan Habibie agar bisa menggalang dana pemenangan Golkar dan mewujudkan ambisinya duduk sebagai presiden mendatang. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html