Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 45/II/12-18 Desember 99
------------------------------

MEWARISI UTANG DAN KEHANCURAN

(POLITIK): Kredit macet swasta telah mencapai Rp 600 trilyun. Sementara
beban utang yang harus ditanggung Indonesia jumlahnya lebih dari 150 milyar
dolar AS.

Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) Kwik Kian Gie
dalam rapat konsultasi antara pemerintah dengan DPR, pekan lalu, mengatakan
bahwa fortopolio atau kredit macet bank-bank di BUMN bisa mencapai Rp600
trilyun. Jumlah tersebut menurut Kwik sama artinya dengan tiga kali lipat
jumlah APBN berjalan atau 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut Kwik, ada sekitar 180 perusahaan yang kreditnya bermasalah. Sehingga
data  yang diungkap oleh Menteri Negara BUMN/Investasi Laksamana Sukardi
mengenai  kredit macetnya grup Texmaco sebesar Rp15,9 trilyun, belumlah
apa-apa. Dan yang lebih menarik lagi, ternyata ditengah badai hutang akan
segera melanda ini pemerintah masih punya tagihan piutang di sejumlah
obligator dalam negeri. Empat dari 20 obligator yang  terdaftar di BPPN,
adalah Barito Grup (Prayogo Pangestu), Humpuss (Tommy Soeharto), Kalimanis
Grup (Bob Hasan) dan Bakrie Grup (Aburizal Bakrie). Dari keempatnya saja,
kredit macetnya lebih dari Rp9,8 trilyun.

Ketika direka-reka antara jumlah kredit macet dengan kekayaan perbankan yang
ditangani BPPN, maka sebenarnya Indonesia sudah bisa membayar utang luar
negerinya yang menurut sejumlah kalangan sudah masuk perangkap utang (debt
trap). Total utang luar negeri pemerintah dan swasta sekitar US$150 milyar.
Utang itu berupa pinjaman lunak dengan jangka waktu pengembalian yang
relatif panjang dan suku bunga rendah. Ada pula yang pinjaman komersial
dengan suku bunga tinggi dan jangka waktu yang pendek.

Perlu diketahui, sejak 1986 pemerintah melakukan utang hanya untuk dapat
membayar bunga dan cicilannya. Bahkan selisih dari perolehan utang baru
dengan pembayaran bunga dan cicilannya defisit. Menurut catatan Didik J
Rachbini, defisit utang masih terus membesar berlipat-lipat sampai dengan
1996/1997. Defisit utang 1993/1994 sebesar dua kali lipat dari Rp3,4 trilyun
1992/1993 menjadi Rp6,4 trilyun. Defisit utang 1996/1997 membengkak menjadi
lima kali lipat dari 1992/1993 jadi Rp15,6 trilyun. Ketergantungan
pemerintah pada utang masih terus-menerus tinggi, meskipun pemerintah Orba
selalu menyatakan utang sebagai pelengkap dalam APBN. Pada masa krisis
ekonomi yang diawali tahun 1997/1998, nilai utang meningkat dua kali lipat
dari 1996/1997. Setahun kemudian, 1998/1999 utang masih meningkat pesat jadi
9,6 kali lipat daripada kondisi pra krisis 1996/1997. Utang yang
menggelembung demikian besar di masa krisis banyak digunakan untuk
mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan menurunkan laju
inflasi yang membumbung tinggi.

Namun di masa awal krisis 1997/1998, defisit utang merosot drastis, bahkan
jadi surplus di 1998/1999. Persoalannya pemerintah bukannya kian mampu
mengatasi persoalan utang di masa krisis, namun karena terjadi penundaan
pembayaran bunga dan cicilannya. Untuk sementara dalam dua tahun ini ada
penundaan pembayaran bunga dan cicilan utang menjadi lega, namun bom waktu
defisit utang akan meledak di kemudian hari (Lihat Tabel).

===============================================
Tabel. Defisit Utang Luar Negeri Pemerintah
(Rp Milyar)
-----------------------------------------------
TAHUN       UTANG   BUNGA DAN      DEFISIT
                    CICILAN UTANG  ATAU SURPLUS

1992/1993   11.098    14.524          -3.426
1993/1994   10.753    17.163          -6.410
1994/1995    9.838    18.402          -8.564
1995/1996    9.009    22.109         -13.100
1996/1997   11.900    27.491         -15.591
1997/1998   23.817    29.697            -880
1998/1999  114.586    66.236          48.350
===============================================
[Sumber: Dep. Keuangan, 1999]

Sementara ini, utang luar negeri yang diupayakan pemerintah berupa pinjaman
lunak (soft loan), sedangkan utang luar negeri yang diberikan kepada swasta
bersifat komersial. Celakanya, oleh dunia swasta utang luar negeri itu
digunakan bukan untuk kegiatan yang produktif. Mau tak mau terjadi saving
investment gap, investasi yang tidak diimbangi kemampuan dana di dalam
negeri yang cukup.

Sampai saat ini, kita masih berpikir bagaimana caranya memperbaiki
kehancuran dan kebobrokan ini? Antara malu-malu untuk meminta penjadwalan
utang -karena kalau hal itu dilakukan akan mengurangi kredibilitas di mata
internasional. Selama ini Indonesia memang dianggap sebagai good boy (negara
yang tepat waktu dalam membayar utang), padahal dengan apa untuk bayar
utang? Kugadaikan negeriku? Inilah yang harus dipecahkan oleh Gus Dur dan
Mega. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke