Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 45/II/12-18 Desember 99 ------------------------------ BUAH-BUAH KABINET KOMPROMI (POLITIK): Para menteri sulit berkoordinasi. Berbagai masalah diselesaikan secara ad hoc. Bila tak dibenahi, pengalaman Ali Moertopo bisa terulang lagi. Laksamana Sukardi bingung. Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN ini, merasa para menteri dalam kabinet Gus Dur-Mega berjalan sendiri-sendiri. Sulit berkoordinasi. Mungkin karena itulah, setelah mengungkap kasus Texmaco, ia segera menemui Jaksa Agung, Marzuki Darusman. Tampaknya ia hendak memberi contoh tentang pentingnya koordinasi. Tak cuma Laksamana, beberapa menteri juga mengungkap hal sama. Kabarnya, Menko Ekuin yang juga berasal dari PDI Perjuangan, Kwik Kian Gie kini tak tahu harus bagaimana. Ia sulit berkoordinasi dengan Jusuf Kalla, Menperindag yang sibuk menghadapi tuduhan keterlibatan KKN. Demikian pula dengan Menteri Keuangan, Bambang Sudibyo. Bahkan sejak awal pembentukan kabinet antara Kwik dan Bambang dari Poros Tengah sudah ada perbedaan tentang pada siapa harusnya BPPN bertanggungjawab. Kwik cenderung agar Kepala BPPN bertanggungjawab langsung ke presiden atau DPR. Sedang menurut Bambang, BPPN mesti bertanggungjawab padanya selaku menkeu. Hal serupa pun dialami Ryaas Rasyid, Menteri Negara Otonomi Daerah. Ryaas bukan lagi sekedar mengkritik, ia bahkan mengancam akan mundur dari jabatannya, jika rencana kerja yang telah disusunnya tak dapat dijalankan karena persoalan sulitnya berkoordinasi. Ia mengaku telah mempersiapkan orang-orang beserta perangkat pendukung yang akan bekerja mulai Januari mendatang untuk merealisasikan otonomi luas. "Kalau dalam jangka dua hingga tiga bulan sejak tim bekerja, tidak didukung Gus Dur atau (mengalami) kendala sulit bekerja sama dengan menteri lain, sehingga saya tak bisa membuat manuver kunci, saya akan berhenti," ujar Ryaas dikutip Satunet.com. "Saya pasti akan berhenti," tegasnya. Inilah buah dari kabinet kompromi yang dibentuk Gus Dur. Sejak awal, kekhawatiran ini sebetulnya sudah diperkirakan. Saat itu, Gus Dur punya alasan yang juga kuat untuk berkompromi. Yaitu, untuk mengakhiri konflik politik berkepanjangan yang berbuntut hingga sidang umum MPR-RI lalu. Gus Dur memang telah berusaha menunjukkan bahwa ia tak bisa didikte oleh kekuatan politik di sekitarnya -misalnya, saat Hamzah Haz dibuatnya "mengundurkan diri." Namun, konsekuensi pilihannya untuk membentuk kabinet kompromi, tetap tak bisa dihindarkan. Kesulitan berkoordinasi, sebetulnya dapat pula dilihat dari banyaknya lembaga baru di luar pos-pos kementerian yang ada -sampai-sampai, Wakil Ketua Panitia Ad Hoc I BP MPR, Slamet Effendi Yusuf mengkritik Gus Dur, "Kebanyakan membentuk dewan." Contoh, pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Lantas, di tingkat menteri ada pula lembaga-lembaga semacam itu. Seperti Badan Koordinasi Penanganan Masalah-masalah Kemasyarakatan di bawah Menteri Negara Masalah Kemasyarakatan Dr Anak Agung Gde Agung. Lalu, ada juga Dewan Nasional Kesejahteraan Sosial dan Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. Sementara itu, masih ada pula lembaga serupa yang di masa lalu berada di bawah koordinasi departemen yang berbeda. Misalnya, BKKBN berada di bawah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Bukan itu saja. Ada lagi sejumlah komisi yang bakal dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang. Seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara yang diamanatkan dalam UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di samping lembaga bentukan lain yang menyangkut proses hukum terhadap korupsi seperti diamanatkan dalam UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Di luar itu, menurut Mulyana W. Kusumah, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), berbagai lembaga swadaya masyarakat juga sempat mengusulkan ide tentang pembentukan Dewan Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan yang kabarnya juga direspon positif oleh Gus Dur. Belum lagi usulan lain untuk membentuk Komisi Kebenaran yang bermaksud mengadakan pengusutan terhadap berbagai pelanggaran HAM di masa lalu. Pertanyaannya kini, apa yang membuat Gus Dur begitu mudah mendirikan banyak lembaga semacam ini? Jika keputusan itu berangkat dari kesadaran bahwa situasi sekarang masih berada dalam krisis, barangkali masuk akal -dalam keadaan begini, memang perlu banyak crash program yang sifatnya ad hoc, program penanganan cepat. Hanya saja, ia perlu memikirkan mekanisme koordinasi paling efektif di antara semua lembaga ini dengan kementerian yang ada, kalau tak mau tumpang-tindih. Soalnya jadi lebih serius, kalau keputusan itu didasari "ketakpercayaan" Gus Dur pada kabinetnya -karena ia sadar terlalu kompromistis. Sebab, memang dapat dipastikan, takkan pernah terjadi koordinasi efektif. Yang ada hanyalah pemborosan biaya di tengah krisis. Dapat diramalkan pula, lembaga macam DEN yang ia percayai pasti lebih punya gigi ketimbang kementerian yang ada. Jika asumsi ini yang terjadi, agaknya Gus Dur perlu memastikan bahwa pembentukan aneka lembaga ini dilakukan hanya untuk sementara, suatu saat takkan berlaku lagi. Sebab, bila tidak, bukan tak mungkin sejumlah lembaga baru ini akan berlaku seperti Ali Moertopo di masa Soeharto, memiliki wewenang yang besar, tapi tak dapat dituntut secara hukum. Untuk membuktikan keberhasilannya, kiranya Gus Dur kelak mesti memberdayakan kementerian dalam kabinetnya. Pos-pos menteri nantinya diisi oleh orang-orang profesional. "Kalaupun nanti butuh penasihat, bisa mengefektifkan Dewan Pertimbangan Agung," usul Slamet Effendi Yusuf. Cukup sudah main-main dengan kabinet kompromi. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html