Politik, Agama dan Orang Karo
Oleh Martin L. Peranginangin
 
Undang-undang Partai Politik sudah disahkan. UU Pemilu dan UU Pilpres juga 
sudah digodok. Enam belas parpol yang memiliki kursi di DPR melaju secara 
otomatis pada pemilu 2009 mendatang, dan akan ditambah lagi partai-partai 
baru yang lolos diverifikasi faktual oleh KPU. Sudah dapat diprediksi, bahwa 
dinamika perpolitikan di Indonesia sudah mulai menghangat jelang 
pemilu April 2009, terlebih jadwal kampanye rencananya akan dipercepat.

Bagi sementara kita, memang melihat politik itu layaknya seperti sesuatu yang 
menakutkan dan berbahaya, syarat dengan prilaku jahat guna kepentingan pribadi 
dan kelompok. Sehingga tidak heran ada adigium dalam politik yang berkata, ‘tak 
ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi’. Ini semacam 
sentimen bahwa politik itu kejam dan kotor. Seolah-olah kekuasaan adalah 
tuhannnya. Demi mencapai tujuan ada orang yang rela berbuat bermacam cara.. 
Namun demikian, terbetik sebuah pertanyaan lagi di otak saya, bila politik itu 
memang kotor apakah saya rela dipimpin terus oleh orang-orang ‘kotor’? Yang 
menggerogoti hak-hak orang banyak yang seharusnya bukan miliknya. Untuk 
membersihkan politik itu dari gelimang noda, tentu dibutuhkan lebih banyak lagi 
orang bersih masuk ke dalamnya, sehingga semakin lama ranah politik semakin 
beradap. Ibarat gelas berisi air kotor, untuk membersihkan isinya tuanglah air 
bersih sebanyak-banyaknya, lama-lama
 airnya menjadi jernih. Misi seperti ini telah sukses diusung beberapa partai 
seperti PKS misalnya. Pasca reformasi partai yang sepi dari perpecahan ini 
menarik minat banyak simpatisan. 
 
Saya amati, di gereja GBKP juga ada semacam dorongan untuk jemaat supaya 
menggunakan hak pilih/dipilih dalam kancah politik. Beberapa kali diskusi dalam 
PJJ dan PA kategorial sudah membahas topik tentang politik. Himbauan ini 
tentunya sebatas kepada jemaat dan dan jangan sampai ke organisasi gereja, 
karena  memang gereja harus netral serta menjaga jarak dengan 
politik praktis supaya tidak muncul benturan kepentingan.
 
Saya kira, diam atau golput bukan lagi jawaban di jaman sekarang. Kita perlu 
ambil bagian dalam setiap lini guna berpartisipasi menentukan segala arah 
kebijakan di negara kita. Bila kita acuh, segala kebijakan yang dibuat oleh 
eksekutif dan legeslatif konsekwensinya harus diterima apa adanya. Alangkah 
baiknya bila jemaat juga turut ambil bagian dalam membangun bangsa ini. 

Peran Politik Orang Karo

Orang Karo termasuk salah satu suku yang melek politik. Pernyataan ini tentu 
didukung oleh fakta, Sebelum kolonial menginjakkan kaki di dataran tinggi Karo, 
orang Karo sudah menciptakan sistem kepeminpinan sendiri berdasarkan 
adat-istiadat Karo dalam mengatur komunitasnya. Sibayak adalah peminpin 
tertingi yang membawahi beberapa urung. Urung membawahi babarapa kuta. Dahulu 
ada lima sibayak (kerajaan) yaitu : Sibayak Lingga, Sarinembah, Suka, Barus 
Jahe dan Kutabuluh. Untuk menjadi peminpin harus ada proses yang dilalui. 
Seseorang yang belum pernah menjadi bapa aron dalam acara muda-mudi, tak akan 
pernah diangkat menjai peminpin kuta. Begitu perlunya proses mematangkan 
seseorang untuk menjadi seorang peminpin, sehingga kelak menjadi tetua di desa 
bisa masin cakapna. Tahapan ini mungkin yang suka diabaikan oleh politikus 
jadi-jadian. Sejarah mencatat lagi, pada masa jaman Repoeblik Indonesia 
Serikat, seorang politisi Karo, Nerus Ginting Suka pernah
 mencalonkan diri menjadi wakil presiden tahun 1950. Kemudian pada masa Orde 
Baru, muncul Djamin Gintings dengan Gekari, menjadi ketua DPP Golkar beberapa 
periode. Dan berikutnya Beren Gintings, Raja Kami Sembiring, dll. Salah satu 
titik nadir perpolitikan orang Karo masa itu adalah ketika Ulung Sitepu menjadi 
Gubernur Sumatera Utara tahun 1963, kemudian meletus Gestapu, yang menoreh luka 
yang amat dalam di hati orang Karo. Sitepu lengser karena dituduh PKI, meski 
tidak pernah diselidiki secara hukum peradilan. Lalu orang Karo minder, karena 
suka dicap PKI bila bergaul di ranah politik pasca G30S.

Di era reformasi juga demikian. Pemilu tahun 1999 mengantarkan enam orang Karo 
duduk di Senayan. Meski turun menjadi tiga orang pada tahun 2004. Akan tetapi 
jumlah tiga orang tersebut masih diatas rata-rata reprensentasi suku Karo. 
Analoginya begini, andai jumlah orang Karo katakan satu juta jiwa, maka 
persentasenya adalah 0,5% dari 200 juta lebih populasi Indonesia. Jadi bila ada 
tiga orang wakil dari 500-an angota dewan maka angka tersebut masih diatas 
rata-rata. Lebih jauh dari itu, munculnya beberapa nama dari kalangan Karo 
dalam kepengurusan partai merupakan satu hal yang menggembirakan. MS Kaban 
menjadi ketua partai PBB, Tifatul Sembiring di PKS, Sutradara Gintings di PDIP, 
Sahrianta Tarigan di PDS, serta yang lainnya merupakan indikasi animo 
masyarakat Karo terhadap politik cukup tinggi.

Keterlibatan orang Karo di banyak partai, bisa jadi memberikan kesempatan lebih 
besar keterwakilan di parlemen tentunya, Tetapi lebih menarik lagi bagi saya, 
melihat sebuah fenomena baru, yaitu mengingat selama ini orang Karo lebih 
dikenal berwatak nasionalis, justru belakangan keterlibatan orang Karo lebih 
menonjol di partai-partai yang berbasis aliran agama. Apakah orang Karo 
sekarang sudah makin religius? Tentu jawabnya ada pada kita masing-masing. Tapi 
boleh jadi dua pertanyaan berikut ini mungkin bisa memberikan kesimpulan,

1. Apakah orang Karo memilih seorang Karo di partai agama yang berbeda dengan 
agamanya?

2. Apakah orang Karo memilih orang lain (bukan Karo), di partai yang sama 
dengan agamanya?

Bila agama pada orang Karo lebih kuat dibandingkan keterkaitan budaya, maka 
pilihan partai-partai agama bisa jadi adalah trend baru dalam perpolitikan 
orang Karo. Disamping itu, munculnya orang Karo dalam partai Islam umpamanya, 
tentu membuka kesempatan lebih lebar karena basis masa yang lebih besar. 
Meskipun secara tradisional jumlah populasi orang Karo yang Kristen masih lebih 
besar dibandingkan Karo Muslim. Walaupun kehadiran orang Karo di partai yang 
berbasis Islam tentunya harus diikuti dengan kompetensi yang lebih baik.

Mengingat secara populasi orang Karo kurang diperhitungkan dalam percaturan 
politik Indonesia dengan sistem pemilihan langsung, akan tetapi bila kualitas 
tetap unggul maka secara logika sehat kehadiran orang Karo akan terus mewarnai 
kancah perpolitikan bangsa ini. Seperti yang kita lihat, politisi Karo lebih 
cendrung tampil secara individu ketimbang kolektif, baik di tingkat nasional 
maupun daerah, meski di beberapa partai seperti PDS dan PDIP cukup banyak orang 
Karo menjadi pengurus partai. Tapi mereka muncul karena faktor kualitas 
individu. Berbeda bila dibandingkan dengan masyarakat Toba yang tampil kolektif 
seperti di PDS, Partai Buruh, PPRN. Mereka muncul lebih solid. Kuantitas etnis 
bisa jadi salah satu variable penentu dalam sistem pemilihan langsung. Kondisi 
ini berbeda dengan karakter kita Orang Karo lebih bisa menonjol secara 
individu, layaknya seekor elang yang selalu terbang sendiri, dan bukan seperti 
burung eicah selalu terbang bersama.



      

Reply via email to