Mejuah-juah Alexander ras kerina permilis simehamat
Menurut pengalamen sienggo-enggona payo nge kuakap kesimpulan Swinton enda. 
Contoh sienggo jelas enda pe jadi bukti kang, bas pranan wartawan TV One bagepe 
Metro TV, dua pemilik modal besar si terkenal i Indonesia. Wartawan si la 
ngikuti peraturan media inganna kerja tentu merugikan mediana janah pasti akan 
disingkirkan. Bas Media kecil pe kuakap bage kang. Isekin wartawan SIB si pang 
ngelawan peraturan/politik SIB? Kecuali adi cari kerja lain atena hehehe . . . 
Encage adi kerina pekerjana berkhianat, tentu mediana bangkrut, lanai lit sen 
nggaji pegawai/wartawan. Bage kang perusahaan kaipe, besar atau kecil, 
perusahaan jujur atau tidak jujur, negara atau tidak negara. Jadi uga kin enda, 
ninta dungna, terpaksa kin dunia enda bagenda perdalanenna? Enda ka lebe kari 
man renungenku sisada minggu enda.
Mejuah-juah kita kerina
MUG

--- In tanahkaro@yahoogroups.com, Alexander Firdaust <daustco...@...> wrote:
John Swinton, the former Chief of Staff for the New York Times, was one of New 
York's best loved newspapermen. Called by his peers "The Dean of his 
Profession", John was asked in 1953 to give a toast before the New York Press 
Club, and in so doing, made a monumentally important and revealing statement. 
He is quoted as follows: 
“.......The business of the journalists is to destroy the truth; to lie 
outright; to pervert; to vilify; to fawn at the feet of mammon, and to sell his 
country and his race for his daily bread. You know it and I know it, and what 
folly is this toasting an independent press? We are the tools and vassals of 
rich men behind the scenes. We are the jumping jacks, they pull the strings and 
we dance. Our talents, our possibilities, and our lives are all the property of 
other men. We are intellectual prostitutes." 

source: http://www.aim.org/wls/author/john-swinton/

Dan Berikut adalah opini salah satu penulis situs politikana.com tentang 
stasiun TV Metro TV dan TV One tentang pemberitaanya seputar pemilihan ketua 
umum Golkar yang sebentar lagi akan dilaksanakan


Golkar 1 yang sudah kakek peot pun masih direbutin demi ngincar bagi-bagi kursi 
kabinet SBY jilid 2. Benar kata khatib shalat Ied, jangan-jangan Indonesia 
bubar justru setelah puasa selama satu bulan! Pindahin  saja channel TV One dan 
Metro TV bila terus-terusan  dijadikan alat kepentingan pribadi pemiliknya. Dan 
wartawan yang tak berkarakter pun jatuh menjadi “pelacur intelektual”.

 

Kalau jadi pemilik toko televisi, kita asyik bisa nonton secara paralel 
tayangan “Kick Andy” di Metro TV dan “Republik Mimpi” di TV One. Metro 
TV adalah milik Surya Paloh dan TV One milik Aburizal Bakrie. Kedua pengusaha 
ini tengah bersaing memperebutkan kursi Golkar 1, partai yang semakin peot 
karena perolehan suaranya semakin melorot. Tetapi tokh masih menjadi rebutan 
mereka berdua. Karena mereka masih berasumsi kalau menjadi Golkar 1, masih 
punya “bargaining position” dengan SBY, yang nyaris akan semakin mendekati 
kekuasaan seniornya Soeharto dalam mengangkangi kekuatan parlemen.  Oleh 
karenanya, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie secara maksimal memanfaatkan media 
elektronika yang dimilikinya tersebut secara optimal untuk saling 
“membunuh”.

Hanya kita sebagai penonton televisi menjadi sangat sebel. Andy F. Noya yang 
dibangga-banggakan sebagai sangat humanis, pembela rakyat dan tak mau disetir 
oleh siapapun pengusaha kelas kakap termasuk oleh bos Surya Paloh, ternyata 
“wartawan kelas ecek-ecek” juga. Saya menyesal banget menghadiri dies Emas 
ITB awal Maret 2009 dengan satu  alasan mau terbang dari Kalimantan Tengah 
untuk datang ke ITB karena ingin melihat Andy F. Noya (orang luar ITB) menerima 
penghargaan ITB yang sangat terkenal di dunia sangat pelit itu; mengapa ITB 
sampai memberi penghargaan begitu tinggi pada seorang Andy F. Noya? Apakah 
pasca insiden ini Andy F. Noya akan mundur dari Metro TV kita tunggu saja.

Dan di channel lain, TV One, seorang Emha Aenun Najib, yang bangga disebut 
budayawan papan atas Indonesia, yang dulu juga sangat bangga “direken” oleh 
Soeharto karena diundang sangat eksklusif satu dua hari sebelum Reformasi, 
begitu gagahnya membela keluarga Bakrie dalam kasus lumpur Lapindo. Apa 
urusannya budayawan Emha lebih membela pengusaha kelas atas Indonesia dibanding 
membela korban lumpur Lapindo?

Kolega saya di media cetak terpandang begitu gundahnya dengan insiden dagelan 
di dua media elektronika ini, forward ke saya jawaban sms-smsnya dari tokoh 
Dewan Pers dan KPI. Jawabannya memang seperti orang yang sudah sangat ngantuk 
habis menonton kedua dagelan itu. Media, baik itu media cetak maupun media 
elektronika memang semakin kasat mata telah menjadi alat para pemiliknya 
memainkan kepentingannya. Bisa kepentingan bisnis, bisa kepentingan politis 
atau sekedar menjadi alat mendongkrak popularitas pribadi menjadi selebritas 
alias pesohor. Bagaimana penonton yang sangat sebel akan segera pencet 
“remote control” manakala Surya Paloh, pemilik Metro TV begitu seringnya 
berbuih-buih di depan Metro TV seolah sangat heroik dengan durasi 4 sampai 5 
menit tanpa editing sama sekali dari Pemimpin Redaksi Metro TV yang tentu 
sangat takut sama “big boss”. Masih agak mending Aburizal Bakrie tak turun 
gunung, dan menganggap lebih pantas diwakili oleh sang putra mahkota Anindya 
Bakrie untuk sering muncul di TV One.




Source: 
http://politikana.com/baca/2009/09/26/sampai-wartawan-dua-tv-pun-terpaksa-jadi-pelacur-demi-golkar-1-yang-peot.html




Salam Mejuah Juah

Karo Cyber Community


Kirim email ke