--- In tanahkaro@yahoogroups.com, Jusuf Ginting <jusuf.gint...@...> wrote: 
"Kami ingin mengenal lebih jauh tentang bpk Suli Ginting,
adakah yang bisa bantu?"


Untuk mengenal Suli Ginting lebih lanjut, silahkan cari di Google nama Suli 
Ginting, akan bermunculan berbagai berita mengenai dia dan perjuangannya 
membela keadilan dan lingkungan. Dua diantaranya saya sertakan di bawah ini.


1. Ditulis wartawan Kompas (Ahmad Arif)
Pernah dimuat Kompas (sumber: http://ayiek.multiply.com/journal/item/4 )

Kisah tentang Suli Ginting, lelaki yang aku temui di pedesaan Karo, Sumatera 
Utara

SULI GINTING, PETI MATI DAN BENSIN UNTUK KEADILAN

 

    SULI Ginting (73) tak pernah belajar tentang kesadaran kritis 

dari buku-buku ataupun belajar tentang gerakan perlawanan secara 

sistematis. Kepahitan hidupnya sebagai petanilah yang membuatnya 

berani "melawan". Tak terhitung berapa kali lelaki yang tak pernah 

mengenyam pendidikan formal ini keluar masuk ruang sidang. Mulai dari 

kepala desa, bupati, ketua DPRD, kepala polres, kepala polda, Kepala 

Polri, hingga presiden pernah digugat Suli.

 

    Hingga kini, lelaki dari Desa Lau Cimba, Kecamatan Kabanjahe, 

Kabupaten Karo, Sumatera Utara, itu memang belum pernah memenangi 

gugatannya di pengadilan, bahkan beberapa kali dia hampir bangkrut 

karena digugat balik. Namun, tak ada istilah menyerah dalam kamus 

Suli Ginting. Siapa pun yang dinilainya merusak lingkungan dan 

merugikan masyarakat kecil dilawannya.

    Lelaki yang memiliki 20 cucu dari delapan anaknya tersebut juga 

sangat getol berdemonstrasi tunggal. Sejak tahun 1998 hingga kini, 

Suli berkali-kali terlihat keliling wilayah Karo dan Medan dengan 

mobil Kijang bututnya sambil membawa poster dan speaker untuk 

menyuarakan aspirasinya. Semua gerakan perlawanannya itu dibiayai 

sendiri dengan uang hasil bertani.

                                  ***

 

    PERLAWANAN Suli bermula dari kekecewaannya terhadap pemerintah. 

Pada tahun 1998 Suli hampir bangkrut karena tanaman kentang dan jeruk 

miliknya layu setelah diberi pupuk yang dibelinya di kota. Suli 

mendengar keluhan yang sama dari petani-petani lain di desanya 

sehingga akhirnya dia menyimpulkan adanya peredaran pupuk dan obat 

palsu di Karo.

    Bulan Agustus 1998 sepulang dari ladang siang itu, dengan masih 

mengenakan pakaian lusuh, dia langsung ke Kantor Bupati Karo. Dia 

bermaksud melaporkan adanya pupuk dan obat palsu agar segera 

dilakukan penindakan sehingga petani tak lagi dirugikan.

    Akan tetapi, alangkah kecewanya Suli karena ternyata dia ditolak 

oleh ajudan sang Bupati karena penampilannya dinilai tak layak untuk 

bertemu Bupati. Suli marah, dan berteriak sampai kemudian Bupati 

keluar dan memintanya agar menghadap besok pagi ke kantor.

    Suli patuh. Namun, dia kembali kecewa karena saat bertemu Bupati 

dan stafnya, dia tak menemukan kejelasan. Pupuk dan obat yang 

diduganya palsu telah diserahkan kepada para pejabat, termasuk juga 

tanaman kentangnya yang mati. Namun, lama dia menunggu hasil 

penelitian pemerintah tanpa hasil. "Kasusnya seperti ditutup begitu 

saja dan laporan saya dianggap angin lalu," katanya.

    Suli kemudian menemui anggota DPRD di kabupaten. Tetapi, lagi-

lagi dia tak digubris. Merasa dipermainkan oleh birokrasi, Suli 

kemudian turun ke jalan menggelar demonstrasi. Itulah pertama kali 

Suli berdemonstrasi.

    Dari situlah Suli mulai terjun ke dunia pergerakan. Ia berhadapan 

dengan birokrasi yang tuli seperti tembok. Ia mengadukan kepala 

desanya kepada aparat kepolisian, tetapi diabaikan.

    Akhirnya, dia mengadukan kepala desa berikut Kepala Polres Karo 

ke pengadilan. Suli Ginting kalah. Bahkan, Suli kemudian menghadapi 

gugatan balik Rp 5 miliar dan satu-satunya rumah miliknya disita 

sebagai jaminan, tanpa pemberitahuan sebelumnya.

    "Tanpa pemberitahuan, rumah saya tiba-tiba disita. Istri saya 

stres dan meminta cerai. Saya pun ikut stres," ujarnya.

    Suli kemudian membeli peti mati dari sisa uang yang dimilikinya. 

Peti mati yang ditulisi Rp 5 miliar itu dibawanya ke Kantor 

Pengadilan Negeri Karo bersama sebotol bensin.

    Di halaman kantor pengadilan, dia berteriak, keadilan akan ikut 

mati bersama terbakarnya peti mati dengan Suli Ginting di dalamnya. 

Akhirnya, pengadilan mengembalikan rumah Suli dan gugatan balik itu 

pun dicabut.

    "Kalau dihitung-hitung, hidup saya jadi kacau sejak saya aktif 

melawan para perusak hutan dan lingkungan serta pihak-pihak yang 

merugikan petani. Istri minta cerai, harta ikut ludes untuk biaya ke 

mana-mana," ujarnya.

    Perjuangan Suli kemudian mendapat perhatian para aktivis 

lingkungan di Sumatera Utara. Suli pun diundang ke berbagai acara dan 

diskusi. Suli menemukan komunitas diskusi sehingga memperluas 

cakrawalanya.

    Dia pun semakin aktif mendengarkan keluhan warga dan kian 

bersemangat melakukan investigasi berbagai masalah di sekitarnya. 

Suli menjadi semacam parlemen jalanan dan akhirnya dia membentuk 

Forum Komunikasi Petani Karo, sebuah forum informal untuk menampung 

berbagai keluhan petani di Karo. "Saya belajar dari lingkungan dan 

teman-teman," katanya.

    Suli sempat memasuki sistem birokrasi, ketika pada tahun 2000 dia 

ditunjuk sebagai anggota Tim Pembinaan dan Monitoring Proyek 

Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi oleh 

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Namun, Suli hanya bertahan 

beberapa bulan karena dia menemukan banyak kejanggalan. Sejak itu 

Suli kembali ke jalanan.

                               ***

 

    SULI Ginting lahir tahun 1932 dari keluarga miskin. Bapaknya 

telah meninggal saat dia baru berusia satu tahun dan adiknya masih 

dalam kandungan. Anak ketiga dari empat bersaudara ini diasuh oleh 

ibunya. Pada tahun 1947, saat Belanda datang, keluarganya tercerai-

berai dan Suli hidup di jalanan sebagai gelandangan.

    Pada tahun 1956 Suli mendapat pekerjaan tetap sebagai sopir bus 

jurusan Kuta Buluh-Medan. Satu tahun kemudian dia menikah. Suli rajin 

menabung dan dalam pikiran sederhananya, tabungan paling berharga 

bagi orang kecil seperti dirinya adalah tanah, yang saat itu harganya 

masih sangat murah.

    Dan pada tahun 1970 dia pun membeli sebidang ladang seluas 2,5 

hektar dengan harga Rp 1,7 juta. Sambil membuka kedai kopi, Suli 

kemudian belajar menjadi petani dan berhenti menjadi sopir.

    Di usia senjanya tiap hari Suli masih ke ladang. Istrinya, 

kenyataannya, tetap setia mendampingi. "Berjuang memang butuh biaya 

dan saya ikut saja kalau itu yang diyakini suami saya. Asal, jangan 

semua harta ini dihabiskan agar kami masih bisa bertahan hidup," kata 

sang istri, Tali br Karo.

    Rumahnya di Desa Lau Cimba sangat sederhana. Hanya ada satu 

kursi, satu lemari, televisi, dua dipan, satu kamar tidur, satu kamar 

tamu, dan kamar mandi. Dinding rumahnya dipenuhi poster- poster 

tentang kerusakan lingkungan dan foto-foto dirinya saat menggelar 

demonstrasi tunggal.

    "Tidak banyak kekayaan materi yang bisa saya wariskan. Tetapi, 

yang penting saya mewariskan kesadaran kepada para generasi penerus 

saya, petani juga bisa melawan," ujarnya. (AHMAD ARIF)


2. Berita Media Terkini
Tuesday, 28 July 2009 15:37             
Suli Ginting cari keadilan
Warta - Sumut
WASPADA ONLINE

KABANJAHE - Suli Ginting, 65, warga Kabanjahe, mencari keadilan di Tanah Karo 
dengan mengenakan jubah putih di bagian depan bertuliskan PK/MA, keadilan untuk 
siapa, apa arti keadilan dan disetai gambar timbangan.

Sedangkan bagian belakang terdapat ditulisan kapan keadilan itu diterapkan 
dalam masyarakat, siapa yang menerapkan keadilan itu..? P21 apa artinya..?

Aksi yang dilakukan Suli diduga terkaitan dengan kasus pemalsuan tandatangan 
dalam penerimaan pupuk subsidi yang pernah disampaikanya kepada Polres Karo, 
Kejari Kabanjahe dan Pengadilan Negeri.

Meskipun sudah lengkap namun tidak pernah ada tindakan hukum yang dilakukan 
kepada tersangkanya

Aksi yang mengundang perhatian puluhan warga masyarakat dilakukan berawal dari 
Tugu Bambu Runcing Kabanjahe menuju Mapolres Tanah Karo dan bertatap muka 
dengan Kasat Reskrim Polres Karo, AKP Lukmin Siregar mewakili Kapolres Karo.

Sepuluh menit kemudian sang pencari keadilan melanjutkan perjalanan kantor 
Kejari Kabanjahe yang berjarak lebih kurang 300 meter dan bermaksud bertemu 
Kajari Negeri Kabanjahe, namun petugas menyarankan untuk bertemu dengan Kasi 
Pidum R Br Ritonga.

Usai pertemuan tertutup dengan Kasipidum, kepada wartawan Suli Ginting 
mengungkapkan kalau kegiatan yang dilakukan kali ini karena merasa hukum tidak 
berjalan di Tanah Karo.

Alasannya karena dalam kasus praperdilan yang dilakukan diduganya ada 
sebahagian berkas yang ada tidak dikirim oknum di Pengadilan Negeri. Sehingga 
Mahkamah Agung tidak dapat diterima dengan alasan berkas tidak lengkap katanya

Disebutkan, dalam gugatan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Kabanjahe sudah 
mengeluarkan surat P21 ke Kapolres yang menyatakan berkas perkara telah 
lengkap, namun kenyataan penuntutan Jaksa dihentikan.

Suli juga mengungkapkan, dalam penyambutan Kasi Pidum Rbr Ritonga, SH bagus, 
tapi penyampaian jawaban tidak tepat, karena katanya ada `kekeliruan', katanya 
mengutip pembicaraan dengan Kasipidum.  

Kepala Kejaksaan Negeri Kabanjahe, Muda Hutasuhut, SH, tidak berhasil ditemui, 
begitu pula ketika sejumlah wartawan menghubungi melalui telefon selularnya 
tidak ada jawaban kecuali nada sambung.





Reply via email to