Buta sejarah
Seorang pemuda Swedia memilih untuk belajar disekolah menengah Jerman tepatnya
di Berlin, dengan harapan bisa mengetahui dari dekat apa sebenarnya yang
terjadi dibelakang semua huru-hara' keruntuhan tembok yang membatasi dua Jerman
dalam masa lalu. "Terima kasih kepada guru-guru dan media Swedia yang tidak
pernah memberikan pelajaran bagi anak-anak muda dan anak sekolah seperti saya
soal masa lalu yang baru saja ditinggalkan", katanya sambil menambahkan bahwa
itulah salah satu sebabnya mengapa dia memilih untuk meneruskan SMU di Jerman
(tepatnya Berlin). Pemuda ini kelahiran tahun runtuhnya tembok Jerman, sama
sekali tidak mengerti seluk beluk pendirian tembok maupun keruntuhannya.
Kelihatannya di Berlin bagi dia persoalannya semakin jelas, karena
sekolah-sekolah disana masih berkepentingan menerangkan sejarah kepada
murid-murid di Berlin sebagai pusat tembok dan pusat semua pertengkaran sejarah
era lalu di Eropah.
Kegelapan sejarah ini bagi generasi muda memang terlihat dimana-mana. Sering
kita yang mengerti kejadiannya juga tidak terpikir bahwa generasi muda sama
sekali tidak mengetahui, sangat buta akan persoalan yang terjadi, bahkan banyak
yang tidak mengerti apa itu blok barat dan blok timur, perang dingin dsb.
Pertengkaran dua blok telah membagi dunia, dan sangat berpengaruh terhadap
jalannya sejarah dibanyak negeri lainnya. Atau kontradiksi dua blok inilah
satu-satunya yang membikin jalannya sejarah, atau barangkali bisa juga
dikatakan bahwa kontradiksi dua blok itu sendirilah sebagai sejarah.
Orde lama dan Orde baru di Indonesia adalah salah satu dari pencerminan tipikal
pertengkaran dua blok ini. Dan banyak sekali juga diantara anak-anak sekolah
kita yang sama sekali buta terhadap persoalan ini. Dan yang lebih jelek lagi
ialah bahkan ada usaha untuk tetap membelokkan atau menutupi. Di Indonesia
masih belum ada sejarawan yang berani atau yang bebas membikin atau membuka
halaman baru sejarah kita. Begitu mendalamnya pengaruh Orba terhadap 'kejiwaan'
manusia negeri kita, termasuk kaum intelektualnya. Semua masih punya beban,
beban sejarah. Selama beban ini masih memberati bahu dan pundak kita, selama
itu juga tidak akan bebas memilih sejarah dan memilih menulis sejarah. Dan
selama itu pula anak-anak muda atau anak-anak sekolah kita tidak akan mengerti
sejarah negerinya sendiri, apa lagi sejarah dunia, yang notabene juga adalah
sumber segala kebingungan sejarah ditiap negeri, seluruh dunia, terutama
negeri-negeri berkembang seperti Indonesia.
Negeri berkembang tadinya 'berkembang' dibawah pengaruh masing-masing blok,
atau 'berkembang' dalam pertempuran atau kontradiksi dua blok. Kontradiksi ini
sering juga termanifestasi secara fisik, karena sering terjadi masing-masing
blok mempersenjatai 'orangnya'. Profit fabrik senjata dunia mencapai puncaknya
dimasa perang dingin. Satu nation bunuh-bunuhan. Di Indonesia 3 juta
disembelih. Siapa yang bertanggung jawab? Atau siapa yang disalahkan?
Yang paling menyedihkan ialah bahwa 'semua' merasa bersalah sehingga tidak ada
yang berani menuliskan sejarahnya, atau setidaknya semua menabukan
persoalannya, karena tadinya semua juga atau tiap orang berada atau telah
memilih dipihak blok mana. 'Tabu' ini sampai detik ini juga masih 'dihormati',
misalnya dengan melarang buku-buku yang berani menyinggung persoalan sejarah
tadi. Tugas tabu ini dipelopori oleh penguasa pula, semua dalam usaha menutupi
sejarah. Apakah sebenarnya yang mereka tutupi? Matanya sendiri, supaya tidak
melihat sejarah yang mengerikan itu. Disini termasuk banyak sejarawan atau yang
mengaku dirinya sejarawan. Dan kenyataan ialah selama mata ditutupi, selama
itu pula beban tadi tidak akan hilang, untuk tidak mengatakan semakin berat.
Kalaupun ada yang merasa 'tidak bersalah apa-apa' tentu mereka yang tadinya
merasa 'netral'. Tetapi dalam kenyataan tidak ada yang netral, karena semua
terlibat atau dilibatkan.
Yang lebih tidak mengenakkan lagi ialah bahwa 3 juta manusia yang disembelih
hanya dipihak yang dianggap bersalah (tak bersenjata), dan yang menyembelih
ialah yang menganggap pihaknya benar dan pakai senjata pula. Karena itu rasa
berdosa dan rasa balas dendam sangat keras berhadap-hadapan, dan sudah hampir
setengah abad bukannya hilang. Sekiranya tadi korbannya fifti-fifti tentu rasa
'dosa' dan rasa 'dendam' nya tidak akan melekat seperti sedalam sekarang.
Perlukah dikorbankan pula 3 juta dipihak penyembelih supaya semua merasa lega
tak ada dendam dan tak ada dosa? Dan setelah itu mungkin sejarawan kita akan
berani melukiskan sejarah secara bebas tak punya beban. Tapi cara menhilagkan
beban seperti ini sepertinya sudah sangat jauh, atau masih mungkin? Pikiran
yang betul ialah bahwa kita tidak akan melakukan hal seperti itu atau
mengizinkan kejadian yang sama terjadi lagi. Pelajaran yang lalu sudahlah
cukup. Tetapi sudahkah cukup kita belajar? Jelas tidak. Usaha yang ada sampai
sekarang ialah menutupi, atau menutup mata sendiri seperti saya sebutkan
diatas, bukan membuka dan mempelajari. Terlihat jelas misalnya dengan melarang
buku-buku yang membongkar 'tabu' kejadian sejarah. Pihak penyembelih merasa
berkepentingan melarang dan menutupi kjadian sejarah. Karena dosanya atau
karena pahalanya? Kita yang bukan lagi anak-anak tentu bisa mejawab pertanyaan
ini.
Korban dari tiap usaha menutupi ini jelas generasi muda, buta sejarah bangsanya
sendiri, begitu juga pasti sejarah perekembangan dunia abad lalu, sejarah
perkembangan kontradiksi pokok dunia antara sosialisme/komunisme kontra
kapitalisme selama lebih dari setengah abad dari abad ke 20. Apakah anak-anak
generasi muda kita memang tidak suka mempelajari sejarah yang ditutupi oleh
orang tuanya? Celakanya lagi ialah bahwa mereka pun tidak tahu kalau orang
tuanya menutupi.
Apakah mungkin menghilangkan beban berat itu?
(Bersambung)
MUG