On 10/25/05, adi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > yang saya maksudkan adalah (public) accountability dari perguruan tinggi > di Indonesia. Pernah diukur? Gimana hasilnya.
Saya takut hasilnya kan aneh! Anehnya adalah karena tanpa masukan, menghasilkan produk :D Banyak kegiatan di perguruan tinggi (at least di tempat saya) yang tidak ada dana pendukung (aka dari kantong sendiri) dan menghasilkan keluaran. Bagaimana cara ngukurnya? Contoh saya sendiri deh. Ini rahasia antara kita aja ya... (nyontek cara Aa Gym, he he he) Saya di ITB nggak digaji (ceritanya panjang), tapi saya tetap mengajar. Gimana ngukurnya tuh? ;-) > Perbaikan mutu pendidikan bisa di-drive dari PT. Bisa, tapi akan sukar karena intake (masukan) ke PT sudah melempem. Wong nanya saja nggak bisa (atau nggak mau?)! Berarti PT harus mengajari hal-hal yang seharusnya sudah diajarkan di TK/SD/SMP/SMA? SMA sekarang kebanyakan hanya mengajarkan cara masuk PT saja. Apa bedanya dengan bimbingan tes? > Prosedur seleksi yang sekarang barrier to entry mostly duit, > bisa jadi pemicu. Misalnya. Punya data soal ini? Atau hanya menduga? Sebagai seorang wali di kampus, setiap semester saya pasti tanda tangan permohonan beasiswa dari 2 s/d 5 mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Ada yang bapaknya berpenghasilan Rp 700 ribu/sebulan dengan 4 anak! Dalam satu kuliah saya, pernah saya mengajak mahasiswa untuk praktek ke "warnet" (karena kami gak punya fasilitas computing yang memadai). Untuk ke warnet biayanya Rp 10 ribu. Ada beberapa yang mendrop kelas karena nggak sanggup bayar. Saya menyesal setelah tahu itu! (Padahal acara ke warnetnya itu hanya optional lho.) Ada mahasiswa ITB yang hanya makan 2 atau bahkan 1 kali sehari. Bukan karena sibuk, tapi karena gak punya uang. Saya tidak percaya sepenuhnya bahwa barrier entry ke PT (dalam hal ini, ITB) adalah duit. Entah PT lain. Saya selalu berkata kepada mahasiswa saya bahwa yang namanya mahasiswa umumnya adalah kere! Di Indonesia dan di luar negeri! > Justru itu point saya. Mengencingi silicon valley toh bukan solusi buat > India (j/k). On the contrary, itu solusi buat India. Seorang PhD di India hanya bisa jadi sopir taksi. Kalau dia ke Silicon Valley, dia punya chance lebih besar daripada sekedar sopir taksi. > > kita harus buktikan itu. bahwa kita juga bisa get the job done. > > kita perjelas aturan mainnya dulu. kerja ya kerja. itu soal lain. Nah, ini dia typical orang Indonesia :) he he he. Sorry ya saya ambil contoh. Pengalaman saya di luar, kerja dan hobby bisa blur. Saya masih ingat suatu saat lagi jalan-jalan di Silicon Valley. Karena tidak ada kerjaan dan bosen, kami pergi ngantor. he he he. Why take a holiday if work is so much fun? Waktu di Canada pun saya kerja melebihi requirement. Bahkan sebelumnya saya kerja voluntir, yang tentunya tanpa digaji. Tujuannya hanya satu: get the job done! ... > intinya bagaimana meningkat sirkulasi data dalam negeri: > - menggalakkan PAU > - subsidi/insentif buat content provider > - komunitas cyber yang bisa diakses secara lokal ... Problemnya, lagi-lagi ... kebanyakan orang hanya berteori alias ngomong doang. Tidak banyak orang yang rajin menghasilkan isi (content) secara lokal. Detik.com merupakan salah satu yang konsisten. Itulah sebabnya mereka berhasil. Nah ... -- budi