Ka baraya US kumaha ngeunaan pamadegan Pak JS ieu, naha sarua? Asa kakara yeuh 3SA jadi 3C (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo). Naha  aya henteu pangaruh Cikeas ka US kiwari?
(Punten teu dialihbasakeun).
 
Wilujeng tepung ahir minggon.JP
 
 
-----------------------------------------
Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh
Oleh JAKOB SUMARDJO

UNGKAPAN yang amat populer di masyarakat Sunda ini adalah bagian dari konsep Trias Politika Sunda. Umumnya orang menafsirkan ungkapan budaya itu berdasarkan pandangan masa kini, yakni dalam pola berpikir modernnya. Tetapi ungkapan ini bukan berasal dari masa kini Sunda. Ungkapan itu berasal dari masa lampau Sunda, dan dengan demikian harus kita letakkan dalam ekologi budaya Sunda masa lampau juga. Meskipun demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka ungkapan ini tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang.

Silih asah, apa maksudnya? Artinya saling mengasah, saling mempertajam agar lebih berdaya guna dalam kehidupan, saling mendalami makna. Tentunya ada yang mengasah dan ada yang diasah. Siapa pengasahnya? Siapa yang diasah? Diakronik sejarah masyarakat Sunda pada awalnya mengenal tritangtu, yang dalam pengertian sosio-budayanya terdiri dari kesatuan tiga kampung utama Baduy, yakni Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Kampung paling tua (indung) adalah Cikeusik, yang berperan sebagai pemegang atau pewaris norma-norma adat dari karuhun. Cikeusik adalah pemilik mandat kekuasaan.

Tetapi pemilik ini tidak menjalankan mandatnya, dan menyerahkan peran memerintah berdasarkan norma-norma sakral itu kepada Cikertawana (si bungsu), dan anak sulungnya, Cibeo, berperan menjaga indung dan si bungsu. Jadi, Cikeusik yang berperan mengasah, Cikertawana yang berperan mengasihi, yakni berbuat, memberi, membina, menyatukan. Dalam ungkapan di atas disebut silih asih. Sedang Cibeo yang berperan mengasuh, melindungi, menjaga. Dalam ungkapan di atas disebut silih asuh.

Secara ringkas, Trias Politika Sunda ini terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana (silih asih), dan Cibeo (silih asuh). Dalam pengertian modern, memang seharusnya setiap orang Sunda bersilih asah, bersilih asih, dan bersilih asuh sama lain. Tetapi dalam zaman modern pun tidak setiap orang mampu mengasah, mengasih, maupun mengasuh. Kenyataan bhinneka diakui oleh budaya Sunda. Bahwa setiap manusia itu berbeda-beda. Yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi yang miskin, yang kuat mengasuh yang lemah.

Perbedaan-perbedaan itu harus disatukan dengan pembagian peran yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Itulah gunanya ika, esa, kesatuan. Ketiganya berbeda namun saling melengkapi satu sama lain, sehingga terjadi homogenisasi yang tetap mempertahankan heterogenitasnya. Inilah kearifan lokal, yang sudah sangat tua usianya. Sebuah kondisi paradoks.

Ketika masyarakat Sunda mengenal cara berpikir asing yang masuk bersama sistem kepercayaan Hindu-Budha pada awal abad pertama, pola pikir Trias Politika ini tetap dipertahankan.

Siapakah yang berperan sebagai pengasah norma-norma Sunda yang baru? Siapakah Cikeusik baru ini? Tak lain adalah Pajajaran dengan figur mitologisnya yang amat masyhur, Prabu Siliwangi. Kalau dulu, Sunda itu Cikeusik, kini Sunda itu Siliwangi, Pajajaran. Prabu Siliwangi adalah rex otiosus Sunda yang amat dihormati dan disegani.

Siapa yang berperan sebagai silih asih Sunda? Yakni pusat-pusat kekuasaan yang tersebar di berbagai daerah antara pedalaman dan pesisir utara Jawa Barat. Mungkin saja seperti Ciamis, Cianjur, Sumedang, Garut, Tasikmalaya. Inilah pelaksana kekuasaan yang memperoleh mandat dari pemilik kekuasaan, Pajajaran.

Siapakah yang berperan sebagai silih asuh? Tak lain adalah daerah-daerah pesisir yang berhadapan langsung dengan orang-orang luar. Mungkin saja seperti Karawang, Tangerang, Bekasi, Indramayu. Mereka inilah penjaga Pajajaran dan segenap pelaksana-pelaksana mandatnya. Tugasnya jelas di bidang keamanan dan pelindung kesatuan ketiganya.

Dari zaman inilah muncul ungkapan resi, ratu, rama. Resi adalah pendeta penguasa ilmu dan pengetahuan agama, serta pemimpin dalam upacara-upacara keagamaan. Resi adalah pemegang silih asahnya. Ratu adalah penguasa atau yang melaksanakan kekuasaan praksis. Jadi, ratu atau raja daerah adalah pemegang silih asihnya. Sedangkan daerah-daerah paling luar dari Trias Politika itu adalah pemegang silih asuhnya. Mengapa disebut rama? Rama adalah kepala desa atau pemimpin-pemimpin lokal. Mereka ini benar-benar bagian dari rakyat Sunda. Kesatuan resi, ratu, rama adalah kesatuan golongan pendeta, raja, dan rakyat. Pendeta yang mengasah atau menggarami raja dan rakyat dengan norma-norma kesundaan zaman itu, raja-raja yang menjalankan dan mengawasi dilaksanakannya norma-norma itu, dan rakyat di desa-desa mengamankan berjalannya kedua peran di atas.

Di zaman masuknya pola pikir baru di tanah Sunda bersama tersebarnya agama Islam, pola pikir tritunggal ini masih dipertahankan pula. Pajajaran sebagai pemegang mandat kekuasaan berdasarkan kepercayaan Hindu-Budha-Sunda, tidak dilanjutkan oleh munculnya kerajaan Sunda-Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) bukan kelanjutan dari kekuasaan lokal. Sampai sekarang sisa-sisa budaya non-Sunda itu masih hidup dalam masyarakatnya.

Dalam alam pikiran Sunda, kelanjutan atau pewaris silih asah ini adalah Kean Santang, yakni putra Prabu Siliwangi sendiri, namun masuk Islam (di Mekah oleh Nabi Muhammad saw. sendiri) tetapi tidak membentuk kerajaan Islam Sunda. Beliau ini hanya mendirikan perguruan Islam (semacam pesantren) di desa-desa. Peran silih asah yang dulu dipegang Cikeusik, Pajajaran/Siliwangi, kini berada di pesantren-pesantren. Para ulama adalah penerus ulama pertama Sunda, Kean Santang. Hal ini tidak harus dibaca secara historis-modern. Yang dipentingkan di sini adalah alam pikiran nyata masyarakat Sunda, entah itu berdasarkan fakta historis maupun fakta mitologis.

Silih asih dipegang oleh kaum menak yang sudah amat dikenal dalam sejarah Sunda. Dan silih asuh ditangani oleh rakyat perdesaan. Pada dasarnya trilogi resi-ratu-rama masih hidup dalam bentuk baru, yakni ulama-menak-rakyat. Dalam banyak wawacan Sunda jelas terlihat garis ini. Wawacan yang berisi ajaran Islam banyak ditulis dalam huruf Pegon. Wawacan yang berisi cerita-cerita para raja ditulis dalam huruf Jawa dan bahkan ada yang berbahasa Jawa. Sedangkan rakyat menerima dua jenis literatur itu sebagai kekayaan rohani mereka.

Saya menduga bahwa ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh ini berasal dari zaman ini. Pada waktu itu pengaruh budaya Islam dari kerajaan Mataram cukup besar di Sunda. Kosa kata itu cukup dikenal dalam bahasa Jawa juga. Sampai sekarang padanan dari ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh itu ada dalam semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantoro, yakni ing ngarso sun tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri handayani. Di depan memberi teladan (silih asah), di tengah membangun atau mengarahkan tindakan (silih asih), di belakang menjaga dan melindungi (silih asuh).

Meskipun bunyi ungkapannya ada kesamaan dengan budaya Jawa, tetapi ini amat khas Sunda. Jadi, bentuknya atau wujudnya bisa beda tetapi pola dan strukturnya tetap sama. Bentuk dan wujud ungkapan yang mengalami proses perubahan, tetapi polanya tetap, yakni pola tripartit Sunda. Jati diri Sunda itu bukan pada wujud ungkapannya, tetapi pada pola tetapnya. Pola tetap Sunda itu adalah tritunggal atau tritangtu.

Kini setelah zaman kerajaan atau zaman menak telah lewat di Sunda, apakah terjemahan silih asah, silih asih, dan silih asuh itu? Menurut pendapat saya, peran silih asah tetap dipegang oleh kaum ulama yang berpusat di pesantren-pesantren atau lembaga-lembaga keagamaan lain yang diakui masyarakat Sunda. Peran silih asih dipegang oleh para pejabat pemerintahan modern maupun tradisional. Dan peran silih asuh dilakukan oleh rakyat Sunda itu sendiri dengan pimpinan modern lembaga pertahanan nasional.

Dalam wawacan roman selalu dikisahkan anak lelaki keluarga menak bertemu anak perempuan keluarga tani di pesantren, yakni ketika mereka sedang belajar (dengan versi pertemuan yang bereda-beda). Intinya, pesantrenlah yang mempertemukan menak (pejabat) dengan rakyat). Ulama yang mengasah, pejabat yang melaksanakan silih asih, dan rakyat serta tentara yang melaksanakan silih asuh.

Peran boleh berbeda-beda, tetapi tidak ada yang saling mendominasi. Peran ketiganya sama besar dan saling melengkapi. Ini tidak berarti bahwa pemegang mandat silih asah dapat semena-mena menekan pemegang silih asih atau silih asuh. Begitu pula sebaliknya. Kuncinya pada asas saling melengkapi. Dalam hal ini berarti saling mengisi kekurangan yang lain.

Heterogenitas dalam homogenitas. Sebuah paradoks. Justru kelestarian budaya Sunda akibat dari penciptaan paradoks ini. Tidak ada yang menguasai atau dikuasai dalam silih asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiganya menguasai dan dikuasai sekaligus. Saling melengkapi sama sekali bukan saling menguasai. Ingatlah prinsip silih asih itu. Hukum keseimbangan selalu dijaga. Bagaimana menjaganya? Ya dengan silih asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiga-tiganya dikenai prinsip dasar itu. Jadi bukan silih asah yang menguasai silih asih dan silih asuh. Pemegang peran silih asih pun juga harus menaati silih asah, silih asih, dan silih asuh.

Kalau pola tritangtu ini sejak zaman dulu kala tidak berubah sampai hari-hari ini, mengapa masa depan Sunda harus berubah dari pola ini? Itulah jati diri Sunda.***

Penulis, Budayawan.

Pikiran Rakyat, 14 Januari 2005


Do you Yahoo!?
Take Yahoo! Mail with you! Get it on your mobile phone.

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke