> Akhmad Gunawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Nyaeta atuh ongkoh nagara urang teh mayoritas muslim tapi 
> arembungan ngalarapkeun hukum-hukum Allah anu satuntasna padahal 
> geus jelas disebutkeun dina Al-Quran yen anu henteu daek ngahkuman 
> ku hukum-hukum anu ti Alloh eta teh jalma kafir, dlolim .... tah 
> kumaha lamun dikaitkeun kana eta ayat.

Kanggo ngajawabna, sugan rada nyambung, mangga nyanggakeun artikel 
tina PR dihandap ieu:


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/06/0901.htm

Tentang Paham Piagam Jakarta 
Oleh WIRIA SUPENA

Satu pertanyaan, mengapa umat Islam jazirah Arab tidak mendambakan
sistem kilafat atau membentuk negara "Islam-Arabia" tetapi membentuk
sistem kerajaan yang tidak demokratis?

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah "Islam" tidak bermasalah
dengan sistem kerajaan, demikian pula apakah bermasalah dengan
cita-cita kebangsaan? 

PADA "PR" tanggal 22 Juni 2007, penulis tertarik dengan artikel Bapak
Irfan Anshory, mantan pengurus ormas Muhammadiyah yang mengupas 
bagian lintasan sejarah Indonesia berjudul "Memahami Piagam Jakarta".

Di dalam sejarah dunia kita menyimak telah lahir banyak piagam.
Menurut Dr. Husein Haikal di dalam bukunya Hayat-Muhammad maupun
uraian Prof. K. Ali dalam bukunya A Study of Islamic History, piagam
tertua dan merupakan dokumen tertulis yang autentik adalah "Piagam
Madinah" yang dirumuskan secara gemilang oleh Nabi Muhammad saw.

Piagam-piagam lainnya yang berpengaruh besar terhadap peradaban
sejarah dunia dapat disebutkan a.l. "Piagam Philadelphia" (AS tanggal
4 Juli 1776), Piagam Atlantik atau Kesepakatan Roosevelt-Churchill
(tanggal 14-8-1941), dan Piagam San Fransisco (tanggal 26 Juni 1945)
yang isinya, bermuatan nuansa sejalan sekitar kemerdekaan, demokrasi,
persamaan, keseteraan, hak asasi manusia, antikolonialisme,
perdamaian, keadilan, dan bekerja sama saling membantu untuk
kesejahteraan umat manusia.

Pertanyaannya, mengapa piagam-piagam itu pantas disebutkan, karena
secara geopolitik terutama "Piagam Madinah" yang pantas disebut 
Sunnah Nabi, keseluruhannya besar sekali pengaruhnya terhadap gerakan
Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Dari bagian artikel tersebut yang menarik adalah diungkapkannya
terdapat anggota "badan perumus" yang disebut mewakili kelompok
"nasionalis sekuler berdasarkan kebangsaan" dan "nasionalis islami
yang berdasarkan Islam" yang di dalam bukunya Prof. Mr. H. Muh. Yamin
(Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945) sama sekali tidak
disinggung apalagi disebut nama-namanya secara jelas.

Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A. di dalam buku Wawasan Alquran dalam 
Bab Kebangsaan (hlm. 330), menulis bahwa sampai sekarang para pakar 
belum sepakat tentang pengertian "nasionalis" dan "kebangsaan" 
khususnya mengenai unsur-unsur, syarat-syarat, jiwa, dan nuansanya.

Pakar pers, Adinegoro dalam Ensiklopedi Umum yang diterbitkannya,
menulis "nasionalis", bersifat "kebangsaan", menghendaki kemerdekaan
dan kedaulatan bangsa dan tanah air, sehingga kekuasaan politik,
ekonomi, dan kebudayaan terletak di tangan bangsa itu. Orang-orang
yang ingin mencapai cita-cita itu disebut "nasionalis". Di Indonesia
pergerakan nasionalis bermula di Jawa dengan berdirinya "Budi Utomo"
dan "Serikat Islam"!

Di dunia Arab, dalam konteks nasionalisme seorang penulis terkemuka
Fathi Yakan di dalam bukunya yang berjudul Harakat wa Madzahib fi
Miyzam I-Islam menulis bahwa sebelum ada Kerajaan Saudi Arabia telah
berkembang gerakan nasionalis Arab nasionalis Syria dan nasionalis
Irak. Berkat bantuan pihak Amerika, Mr. Saud berjaya dan berhasil
mendirikan Kerajaan Saudi Arabia setelah "menyingkirkan"
teman-temannya dan lawan-lawannya.

Satu pertanyaan, mengapa umat Islam jazirah Arab tidak mendambakan
sistem kilafat atau membentuk negara "Islam-Arabia" tetapi membentuk
sistem kerajaan yang tidak demokratis?

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah "Islam" tidak bermasalah dengan
sistem kerajaan, demikian pula apakah bermasalah dengan cita-cita
kebangsaan?

Dalam uraian tafsir Alquran, Prof. Dr. Quraish Shihab mengungkap
pentingnya kata-kata sya'b-qaum dan ummah dalam konteks 
kemasyarakatan.

Menurut pakar bahasa Arab Mesir dalam buku Mu'jam Al Wasita kata 
ummah diterjemahkan sebagai "bangsa", selanjutnya kata sya'b dalam 
Surat Al-Hujurat (4:13) di dalam tafsir Alquran Departemen Agama 
Islam RI diterjemahkan juga berarti "bangsa".

Para Rasul sebelum Nabi Muhammad saw. menyeru masyarakatnya dengan
kata ya qaumi, yang berarti "ya kaumku" atau "ya bangsaku". Agar
menjadi informasi bahwa Alquran memuat kata qaum sebanyak 322 kali
serta menulis kata ummah sebanyak 51 kali dan Nabi Muhammad saw.
menyeru Islam bukan kepada "kaumnya" dengan derajat kemanusiaan yaitu
ucapan ya ayyuhannas (wahai seluruh manusia).

Alquran memang memerintahkan (maksudnya Allah SWT) "kesatuan" dan
"persatuan" seperti dapat disimak dalam surat Al-Anbiya (21):92 dan 
Al Muminun (23:52) yang berbunyi, "Sesungguhnya umatmu ini adalah 
umat yang satu." Akan tetapi, akan meleset bila diartikan bahwa umat 
Islam perlu disatukan dalam satu wadah kenegaraan. Ide "Pan Islam" 
dari Jamaluddin Al-Afghani aksennya pada "satu tujuan", bukan "satu 
negara Islam", tetapi tidak diikuti, justru yang berkembang 
adalah "Pan Arab".

Bahwa konsep Islam terfokus dalam satu tujuan, juga diperlihatkan 
pada Surat Ali Imran (3:105) di mana Allah SWT. 
berfirman, "Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-
kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka. 
Untuk mereka disediakan siksaan yang besar.

Dalam kehidupan yang islami, perlu digarisbawahi adanya pemisahan
antara agama dan penganut agama atau yang secara mudah telah
dirumuskan oleh Syaikh Muhammad Abduh, "Ajaran Islam tertutup oleh
perilaku Muslimin."

Setelah berorientasi atas beberapa surat Alquran, dengan menghayati
dan memahami beberapa arti kata penting seperti qaum dan ummah yang
oleh para pakar tafsir senantiasa diterjemahkan sebagai "bangsa",
marilah kita kaitkan dengan masalah bernegara.

Sebagai hadis sahih Iman Muslim merawikan sbb., Nabi Muhammad
bersabda, "Kaum lebih mengetahui tentang urusan duniamu (ketimbang
aku)." Tentang hal itu para ahli tafsir berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah tentang masalah bernegara.

Jadi, Nabi Muhammad saw. sebagai negarawan yang terkenal sangat 
piawai tidak pernah melahirkan konsep negara Islam dan mengharamkan 
negara sekuler.

Piagam Madinah adalah bukti autentik adanya Proklamasi Republik
Madinah yang berasaskan kebangsaan dan bukan negara Islam Madinah.
Mungkin demikian pendapat para ulama/Ahli fiqih bangsa Arab, bahwa
kerajaan Saudi Arabia sangat sesuai bila tidak disebut negara
"Islam-Arab".

Dengan tidak mengurangi rasa hormat yang tinggi kepada Prof. Dr.
Ernest Renan, penulis setelah membaca pidato pengukuhan Guru Besar
Sorbone dengan teori nation-nya isinya dapat diduga sangat 
dipengaruhi oleh butir-butir "Piagam Madinah" yang dirumuskan Nabi 
Muhammad saw (lihat buku Hayat-Muhammad oleh Dr. Husein Heikal).

Kembali menyinggung sidang-sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Prof.
Mr. H. Muh. Yamin) yang anggotanya dilantik oleh Jenderal Itagaki
Seisiroo selaku pimpinan pemerintahan Jepang di Indonesia,
beranggotakan 62 orang Indonesia (tokoh/pemuda/mahasiswa pejuang eks
Perhimpunan Indonesia di Belanda) dengan ditunjuk Ketua Dokter
Radjiman Wedioningrat dan didampingi Ketua Muda R.P. Soeroso,
sedangkan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dll. hanya sebagai anggota 
biasa.

Sidang-sidang "Badan Penyelidik" dibagi dalam dua kali masa sidang 
sbb.

a). Persidangan pertama dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945;

b). Persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945.

Acaranya tidak tepat kalau disebut acara tunggal menentukan dasar
negara Indonesia, karena badan tersebut bekerja menyimpang dari
tugasnya sebab menjadi "mempersiapkan kemerdekaan Indonesia".

Dalam waktu sangat singkat mereka berhasil membuat rancangan UUD plus
mukadimahnya, membahas secara mendalam tentang sistem ketatanegaraan
Indonesia dan sistem hukumnya sebagai negara yang berdaulat dan
demokratis.

Bila menengok lintasan sejarah, para anggota dewan tersebut bukanlah
yang baru kenal sesaat tetapi terutama terdiri dari tokoh-tokoh
pemuda/mahasiswa yang studi di Indonesia maupun di Nederland yang
tergabung dalam "Perhimpunan Indonesia" yang sejak tahun 20-an telah
banyak berdiskusi tentang cita-cita Indonesia merdeka lengkap dengan
pembahasan mendalam tentang pelbagai permasalahannya.

Titik kulminasi gerakan ini direfleksikan pada bulan Oktober tahun
1928 secara berani dan amat terbuka, amat kompak bersatu untuk
melangkah satu tujuan untuk Indonesia merdeka dengan niat tinggi 
tanpa benih-benih berjuang untuk "bipolarisasi". Penulis amat 
berharap, agar kegiatan analisis yang tidak berdasar seperti itu 
sekalipun merasa baik, demi keutuhan NKRI tundalah sampai akhir 
zaman.

Pasti Allah SWT. Maha Mengetahui dan akan bersama kebenaran.*** 

Penulis, pengurus P4-KI Jabar, (Persatuan Putra Putri Perintis
Kemerdekaan Indonesia).


Reply via email to