Nashihah Wanatijah
Keserasian Islam & Sunda

Oleh Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi

Kebudayaan, menurut Koentjoroningrat dalam konteks orang Sunda yang
dikenal sangat religius, adalah sistem religi. Mudah diterimanya agama
Islam diakulturasi dan diinternalisasi dalam perilaku dan kehidupan
orang Sunda, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebudayaan dan
filosofi Sunda. Ini karena terdapat perpaduan, kesamaan bahkan
penguatan antara nilai-nilai Sunda buhun dan ajaran agama Islam.

Sikap religiositas orang Sunda itu seperti terungkap dalam peribahasa,
"diri sasampiran awak sasampaian". Artinya, semuanya merupakan
kepunyaan Allah SWT (Gusti nu murbeng alam). Oleh karena itu, manusia
Sunda dalam kehidupannya selalu menggunakan rasa (boga rasa rumasa,
ngaji diri). Bahkan dalam banyak hal, orang Sunda selalu bersyukur
atas apa yang diterimanya, sehingga "syukuran" bagian dari tradisi
atas nikmat yang diperolehnya.

Lebih dari itu, ketika ditimpa musibah ia selalu bersyukur dengan
istilah "untung". Bahkan, ketika musibah meninggal terjadi sekalipun
tidak jarang orang Sunda masih terucap kata "untung", "Untung maot
coba mun hirup meureun karunya jadi tanpa daksa". Dalam terminologi
Islam ini disebut qanaah, yang artinya merasa cukup dengan yang ada
khususnya masalah dunia sebagai kebajikan yang dianjurkan.

Jika dikategorikan, ada beberapa pandangan hidup orang Sunda tentang
berbagai hal tentang manusia sebagai pribadi, manusia dengan
masyarakat, dengan alam, dengan Tuhan dan hakikat manusia. Misalnya,
dalam mencapai tujuan hidup, orang Sunda harus mempunyai keseimbangan
yang disebut sineger tengah yang berarti wajar, tidak berlebihan.
Dalam bahasa Islam disebut ummatan wasathan umat yang pertengahan.

Hal itu tertuang dalam ungkapan petuah, "jaga urang hees tamba tunduh,
nginum tuak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo ulah urang kajongjonan".
Artinya, hendaklah tidur sekadar menghilangkan kantuk, minum tuak
sekadar menghilangkan haus, makan sekadar menghilangkan lapar, jadi
dalam perikehidupan tidaklah berlebihan.

Ini sejalan dengan ajaran Islam, sikap tamak merupakan sikap yang
sangat tercela. Bahkan, dalam hidup kita juga dianjurkan untuk adanya
keseimbangan di dunia dan akhirat, seperti diungkapkan dalam hadis,
"carilah duniamu seakan kamu akan hidup 1.000 tahun lagi, tapi
ingatlah akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari."

Manusia Sunda sebagai pribadi digambarkan oleh tingkah laku dan budi
bahasanya. Oleh karena itu, dituntut "kudu hade gogog hade tagog (baik
budi bahasa dan tingkah laku) dan "nyaur kudu diukur, nyabda kudu
diungang" serta manusia Sunda juga harus "sacangreud pageuh, sagolek
pangkek" (teguh pendirian tak pernah ingkar janji). Pandangan hidup
orang Sunda terhadap lingkungan sosialnya diungkapkan dalam
peribahasa, silih asah, silih asih, dan silih asuh serta "ulah
ngaliarkeun taleus ateul".

Ini juga merupakan nilai-nilai utama dalam Islam, seperti diungkapkan
dalam hadis, "seutama-utama manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya". Artinya, kehadiran kita bukan saja tidak menimbulkan
kerusakan atau kesulitan bagi orang lain tetapi juga dapat memberikan
manfaat dan maslahat.

Dalam filosofi ketuhanan, orang Sunda juga mempunyai keyakinan seperti
ajaran Islam, innalillaahi wainna ilaihi rojiun dengan ungkapan "mulih
ka jati mulang ka asal". Demikian juga dalam menjalani kehidupan,
orang Sunda mempunyai norma dan etika seperti "ulah pagirigiri calik
pagirang-girang tampian" (janganlah berebut kekuasaan dan jabatan)

Dalam Islam malah ada hadis yang berbunyi, "jangan berikan jabatan
kepada orang yang memintanya". Hal ini berbeda dengan fenomena
demokrasi sekarang, di mana orang yang ingin jabatan harus pamer dan
menyombongkan diri lewat kampanye, istilah Sundanya, "agul ku payung
butut".

Nilai-nilai kesundaan yang islami lainnya seperti, "ulah nyaliksik ka
buuk leutik" (janganlah memeras rakyat kecil), "ulah kumeok memeh
dipacok" (janganlah mundur sebelum berusaha), "kudu bisa ka bala ka
bale" (bisa fleksibel dalam mengerjakan apa saja) dan mun teu ngakal
moal mengkeul, mun teu ngarah moal ngarih (menggunakan segala cara
untuk mencari rezeki).

Demikian juga dalam membangun lingkungan sosial yang damai dalam
istilah Islam rahmatan lil `alamin, orang Sunda mempunyai filosofi,
"tiis ceuli herang panon" (hidup damai dan tenteram) serta "kudu bisa
mihapekeun maneh" (tingkah laku sesuai dengan lingkungan).

Nilai-nilai itu turunan atau tafsir terhadap nilai-nilai keislaman,
tetapi juga warisan budaya dan filosofi masyarakat Sunda bahkan
sebelum datangnya Islam. Ini tidak aneh, karena Islam sebagai agama
fitrah pada dasarnya saluran dan peringatan terhadap kecenderungan
baik (hanif) dalam diri manusia. Dengan begitu, tak berlebihan jika
K.H. Endang Saefudin Anshari (alm) secara retoris pernah mengatakan
seperti dikutip Ajip Rosidi, "Sunda teh Islam, Islam teh Sunda". ***

Penulis, Rektor Unpas, Sekjen PB Paguyuban Pasundan dan Ketua Aptisi
Jabar-Banten.

Citation: 
http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=32289

Kirim email ke