-Wawancaradengan K.H Fuad 
Affandi. Pengasuh Pondok Pesantren Agribisnis Al-Ittifaq, dan Pemimpin 
Koperasi Agribisnis Al-Ittifaq, Ciburial, Alam Endah, Rancabali 
Kabupaten Bandung.
Ada satu sisi yang menarik untuk dikemukakan panjang lebar di sini menyangkut 
pandangan Fuad 
tentang perbedaan budaya, terutama dalam hal etos kerja antara 
masyarakat Sunda dengan masyarakat Jawa.  Fuad Affandi memang bukan 
peneliti, juga bukan seorang ahli sosiologi-antropologi. Namun hampir 
setiap tindakan dan pemikirannya selalu menyandarkan diri pada 
kebudayaan, terutama hubungannya dengan budaya Jawa dan Sunda. Sebelum 
menjawab pertanyaan, Fuad dengan rendah hati memberi catatan bahwa apa 
yang ia alami sebagai kenyataan pribadi, bukan kenyataan umum. Ia sadar 
pandangannya terhadap kultur masyarakat pasundan, lebih tepatnya kultur 
masyarakat pedalaman Ciburial dan sekitarnya tidak bisa digeneralisasi. 
“Ini pendapat saya pribadi, suka atau tidak suka itulah yang saya 
alami,” katanya merendah.
Bagaimana sebenarnya Anda melihat 
perbedaan etos kerja antara Jawa dengan Sunda di sekitar masyarakat 
sini?
Saya orang Sunda yang punya pengalaman lama berenang di lautan kehidupan orang 
Jawa. Sekalipun tidak lagi menetap 
di sana, tetapi sampai sekarang silaturrahmi dengan sahabat-sahabat di 
Jawa terus terjalin erat.  Secara umum orang Jawa itu lebih jujur, ulet 
tidak bandel, sopan santunnya kepada orang tua luar biasa. Satu hal, 
etos kerjanya sangat ulet, tidak takut nyebur ke pekerjaan yang rendah 
jika memang mereka mampunya memang masih bekerja rendahan. Anak-anak 
mudanya lebih memilih keluar dari pekerjaan dengan orang tua. Mereka 
merasa punya perasaan kurang enak kalau bekerja dengan orang tua. 
Perempuan pun memiliki keberanian bekerja sebagaimana laki-laki. Kalau 
di Sunda, tak ada perempuan mencangkul atau mengerjakan hal-hal yang 
dilakukan suaminya. Orang Jawa juga lebih berani mengambil resiko dan 
nekad.
Tapi saya sendiri sebagai orang 
Jawa tak terlalu merasakan hal itu. Bahkan di kampung halaman saya di 
Temanggung, saya kenal para penjual kerupuk asal Tasikmalaya yang etos 
kerjanya luar biasa. 
O, kalau itu benar. Itu artinya kalau ingin membuat orang Sunda maju jangan 
tinggal di Sunda. Kalau sudah merantau 
akan lebih bagus etos kerjanya. Saya mendukung orang Sunda hijrah ke 
Jawa supaya ketularan etos kerja dan mental prihatinnya orang Jawa. 
Orang Sunda itu kalau tinggal di Sunda kayak kodok dalam tempayan. 
Legenda antara kancil nyolong timun dan kabayan adalah cermin yang pas 
mengambarkan dua mentalitas suku bangsa ini. Bagi saya, Jawa itu kancil. 
Jangankan terhadap orang bodoh, terhadap orang pinter pun kancil bisa 
menipu. Kalau kabayan itu, mau ngambil keong di sawah dari pagi sampai 
sore cuma ditonton saja. Air bening di sawah menunjukkan langit, e di 
tafsirkan airnya dalam sekali. Orang sunda mesti diceburin ke lumpur 
biar kerja. Harus banyak gebrakan jadi kyai sunda itu. Bahaya kalau 
orang sunda tinggal di sunda itu. Makanya hijrah itu penting. Kalau di 
Jawa seorang kyai kenapa mengirim anaknya ke pesantren luar tidak 
ditanyakan masyarakat. Merantau sudah menjadi kebutuhan. Di sini saya 
masih suka ditanya kenapa Anak pak Haji dikirim ke luar? Apa enggak 
cukup belajar di Al-Ittifaq? Ya saya jawab bahwa sekolah maupun nyantri 
itu hanya status. Untuk menjadi manusia seorang anak harus dilepas dari 
orang tua. Kalau terus bergayut pada orang tua bakal repot kelak.
Dari sisi pergaulan keluarga 
perbedaan yang mencolok apa?
Seorang anak Jawa, sekalipun orangtuanya 
miskin dan bodoh, dia tetap menghormati. Di Sunda anak berani dengan 
orang tua itu biasa. Orang Jawa itu sangat menjaga amanah. Dulu saya  
waktu nyantri di Lamongan punya pengalaman menarik yang sampai sekarang 
sangat berharga. Saya kan sering bantu-bantu mengepel di rumah orang. Si bapak 
itu bilang sama istrinya, bu, ini si Fuad angkat jadi saudara 
kandung kita. Nanti kalau aku sudah tidak ada, kamu bisa minta nasehat 
sama si Fuad. Beberapa puluh tahun kemudian anak dari sang bapak ini 
jadi jenderal dan sampai sekarang anaknya  atas amanah ibunya selalu 
menghubungi saya sekedar meminta nasehat. Ini luar biasa. Ini adalah 
investasi sosial yang sangat rasional buat saya. Bagaimana amanah 
seorang bapak kepada istri dijalankan, kemudian sang istri meneruskan 
kepada anaknya, dan sang anak sampai kini tetap menjalankan. Sebagai 
orang Sunda saya jarang melihat kebaikan diberlakukan secara turun 
temurun seperti itu. Hubungan dengan orang tua lain juga memiliki sisi 
positif. Di Jawa tidak ada orang berani menelikung atau menipu kyai. 
Saya ini ngasuh santri Sunda repot. Sering orangtua santri berani 
nelikung. Contohnya, santri sudah kerasan di pesantren, tapi di minta 
pulang dengan alasan ini itu. Akibatnya santri ketinggalan pelajaran, 
target agribisnis pun juga kacau. Kalau di Jawa sekali kyai menegur 
orangtua murid tidak akan berani membantah. Di sini kita menasehati 
begitu mereka bisa saja punya alasan mengelak. Kalau alasannya tepat sih tidak 
masalah. Kadang-kadang alasannya justru kurang baik bagi anak.
Dari sisi intelektualitas bagaimana perbandingannya?
Orang Sunda itu vakum, masih lebih banyak 
terpengaruh pada kultur sufi. Pengertian sufi di sini juga bukan dalam 
artian substansial, melainkan kecenderungan laku eskapis. Hal ini 
dipengaruhi oleh perjalanan sejarah tarekat asketik Islam di pedalaman 
Sunda. Ini jelas tidak menguntungkan. Masyarakat kita yang vakum 
seharusnya tidak didorong ke asketisme, melainkan harus digalang dan 
digerakkan ke arah gotong-royong. Dengan begitu terjadi perubahan secara 
bersama sebagaimana yang kami lakukan saat ini. Membiarkan dirinya 
percaya pada ide jauh dan lupa akan kenyataan untuk diubah melalui kerja keras. 
Orang Jawa masih ada dimensi duniawinya. Semua itu saya lihat 
karena masih ada pengaruh sejarah di masa lalu.
Apa hal itu bukan disebabkan faktor kultur pedalaman itu sendiri?
Ya, orang Sunda memang mayoritas tinggal di pedalaman. Kota Bandung pun berada 
di Pedalaman, bukan di pesisir. 
Sementara kota-kota di Jawa yang memiliki keterbukaan itu jelas berada 
di pesisir. Semarang, Kudus, Rembang, Pati, Juwana, Tuban, Lamongan, 
Surabaya sampai Banyuwangi. Kota-kota di jawa pesisir ini telah banyak 
memainkan peranan bagi perkembangan tradisi keterbukaan. Di sunda kultur sufi 
lebih berkembang ketimbang kultur sosial. Dari sisi sejarah 
perjuangan Jawa juga lebih lama dan kuat. Banyak pejuang dari tanah Jawa 
sehingga sampai kini energi perlawanannya masih berhembus. Makanya saya amat 
sangat setuju kalau yang memimpin negeri ini sebaiknya memang 
orang Jawa saja. Itu lebih bagus. Mentalitasnya sudah teruji. Pengalaman 
sejarah tak bisa dibantah.
Anda kok sangat Jawaisme begitu?
Ya, dalam hal politik saya memang Jawaisme. Suka atau tidak suka itulah 
kenyataan. Jamaah saya juga saya tekankan 
agar tidak sungkan menerima kenyataan dari pihak luar, sekalipun pahit 
adanya. Kalau memang itu sebuah kenyataan terimalah, kita jangan ragu 
belajar dari yang lebih maju. Dengan cara ini orang Jawa toh akan bisa 
belajar menggali potensi kelebihannya setelah melihat suku bangsa lain.
Tetapi tidak fair rasanya jika Jawa seratus persen demikian. Saya sendiri 
sebagai orang Jawa merasakan ada 
elemen-elemen yang fatalis dari orang Jawa. Termasuk feodalismenya…
O, tentu. Setiap budaya pasti ada 
plus-minusnya. Apa yang saya katakan di atas adalah serapan yang positif dari 
Jawa. Adapun yang kurang bagus dari tradisi jawa jangan ditiru.
Apa yang harus ditinggalkan dari 
budaya Jawa?
Itu kyai Slamet….haha…..(mendadak tertawa 
lebar). Ceritanya Kebo Kasultanan Surakarta kabur ke pasar. Karena si 
Slamet ini adalah kebo milik kerajaan lantas dianggap sakral. Saat berak di 
pasar tahinya mau dibersihkan oleh orang-orang di pasar. Sebelum 
dibersihkan disembah dulu. Ini adalah sesuatu yang tak patut 
dipertahankan. Sayangnya kita masih melihat kebiasaan itu. Di kalangan 
pejabat bawahan menganggap atasan sesuatu yang sakral, apapun dituruti 
tanpa koreksi. Di kalangan akademisi sendiri juga masih gemar 
mensakralkan sesuatu yang tidak sakral, termasuk di kalangan santri. 
Buat saya itu tradisi yang tak perlu dipertahankan. Kita semua dihadapan Allah 
sama, setara sebagaimana gerigi sisir. Hanya Allah yang layak 
kita sakralkan dan kita patut bersujud kepadanya. Karena itulah dalam 
berhubungan dengan santri saya tak menerapkan kebiasaan itu. Saya 
melawan tradisi orang tua saya juga.
Dalam melihat realitas sosial, Fuad 
sering menyerap tradisi kehidupan melalui sejarah. Kepemimpinan Nabi 
Muhamad di Mekkah dan Madinah misalnya, sangat banyak menginspirasikan 
tindakan kepemimpinannya. Di mata Fuad, Nabi sendiri menghadapi 
masyarakat tertutup (Mekkah) yang sangat sulit diajak maju. Sayangnya, 
ketertutupan masyarakat Mekkah memiliki banyak perbedaan dengan 
masyarakat tertutup pedalaman di kawasan Rancabali Bandung. Setelah lama 
merenung, Fuad justru bisa bercermin dari legenda rakyat untuk melihat 
realitas sosial. Kenapa masyarakat di sekitarnya sulit diajak maju?
Fuad teringat oleh pengalaman 
pribadinya manakala masih remaja, saat nyantri di Lasem Jawa Tengah. 
Suatu ketika, di sebuah masjid ia ditanya oleh seseorang. Dengan gaya 
bicara blak-blakan khas pesisir seorang itu bertanya, “saking pundi?” 
Fuad menjawab, “saking Sunda. “
“Kamu tahu apa itu Sunda?
Fuad menggeleng tersipu.
“Embahmu itu asu!,” ujar orang itu 
sambil tertawa kegirangan karena berhasil meledek dirinya. Fuad yang 
tahu ini hanyalah ledekan khas pesisir tak terbawa emosi. 
“Bagaimana itu ceritanya?” tanya Fuad 
penasaran.
Orang itu lantas menjawab “hikayat 
leluhurmu itu Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Kamu itu cucunya si Tumang 
yang kawin sama Dayang Sumbi. Haha…”
Orang itu lantas bilang, legenda Jawa 
adalah kancil nyolong timun. Jangankan kepada orang bodoh, kepada orang 
pinterpun kancil bisa menipu. Khususnya dalam hal politik orang Jawa itu kalau 
tidak bisa cerdik, dia harus bisa licik, kayak kancil,” katanya. 
Cerita tinggal cerita. Keduanya 
hanyalah cermin untuk melihat kenyataan dari apa yang terjadi dalam 
tradisi kehidupan kita. “Semua ini jangan terlalu serius lah. 
Masing-masing tradisi memiliki potensi, bagaimana saja memanfaatkan 
menggalinya. Yang jelas Kabayan itu memang sangat terlihat di sekitar 
sini,” ujarnya.
Apakah dengan seringnya Anda 
mengolok-olok kemalasan petani di sini tidak mendapat perlawanan dari 
Orang Sunda? 
Haha….ya, itu wajar. Tapi kita kan 
menjelaskan perlahan-lahan. Khusus dalam hal agama orang Sunda sudah 
merasa bahwa kyai lulusan Jawa lebih bisa dipercaya ketimbang lulusan 
pesantren dari Pasundan. Tanya saja deh sama orang-orang sini. Kyai 
wedalan Jawa Tengah atau Jawa Timur lebih mudah dipercaya ketimbang kyai Sunda. 
Wong di sini sudah lazim, kalau ada mubalig dari Jawa 
pengunjungnya membludak. Kalau mubalignya dari Sunda biasanya sedikit 
yang datang. Saya ini menjadi bukti yang real. Karena mereka tahu saya 
wedalan Jawa, air banyak yang datang, gula teh melimpah. Mereka pada 
minta doa. Jadi menurut orang Sunda di sini, ulama Jawa itu sering 
diartikan sebagai ulama do’a.
Kenapa bisa begitu?
Pengamatan saya melihat bahwa kyai sunda 
yang nyantri di  Sunda itu kurang prihatin, kurang tirakat, alias kurang 
menyiksa diri. Ada pameo santri kerja, kyai doa, kelak pulang ke 
kampung tetap saja bisa ngaji. Saya sendiri tidak ngaji banyak. Saya 
ditanya sama Mbah Puteri Nuriyah (Istri KH Maksum Lasem Rembang), “Fuad 
apakah kamu betah di sini?”  Saya jawab betah. Beliau bilang, 
terimakasih kalau betah. Tapi buatlah ngaji itu nomor tujuh belas. Yang 
nomor satu adalah khidmat. Apa artinya khidmat? Tentu saja bekerja tanpa pamrih 
dengan rasa ikhlas. Inilah yang menurut saya membangun 
mentalitas positif sehingga seseorang itu bisa dipercaya lahir batin, 
dengan kata lain menujukkan kesalehan seseorang. Disitulah muncul 
kepercayaan untuk dimintai doa.
Saya melihat ada persepsi tentang 
identitas santri di Sunda agaknya kurang berkesan baik di kalangan kelas 
menengah dan elit perkotaan. Apa yang Anda lihat?
Golongan santri di Sunda menempati kasta 
bawah karena kebanyakan para santri ini tidak bisa sekolah. Kalau di 
Jawa nyantri atau sekolah adalah pilihan, artinya tidak setiap santri 
dari kelompok miskin, tetapi juga ada keturunan priyayi. Para gus-gus 
itu selain nyantri juga sekolah. Terlebih di pesisir, antara sekolah dan 
pesantren bukan sesuatu yang dikotomis.
Saya lihat kitab-kitab yang 
dipelajari santri Al-Ittifaq persis dengan gaya santri pesisir di Jawa. 
Anda sendiri mendapatkan penafsiran kitab tersebut dari Jawa. Sementara 
santri di sini mayoritas orang Sunda. Apakah tidak repot mengubah 
penafsiran dari bahasa Arab ke bahasa Sunda?
Kalau itu begini. Salah satu problem kyai 
Sunda sendiri adalah menerjemahkan bahasa Arab ke Sunda secara langsung. Ini 
terjadi sejak dulu.Variasi bahasa Sunda 
sedemikian kompleks sehingga cukup menyulitkan para kyai Sunda. Kalau 
dalam bahasa Jawa variasinya lebih pada kekastaan, yakni bahasa rakyat 
dan bahasa priyayi, dalam Sunda kompleksitasnya meliputi banyak hal. 
Satu contoh saja. Makan. Dalam bahasa Jawa kita mengenal mangan untuk 
bahasa rakyat, dan dahar untuk priyayi. Tetapi di sunda ada banyak 
jenis, tuang, nedak, emam, dahar, nyatu, ngalebok, teuteureuy, 
nyegek. Sulit sekali kita menerjemahkannya. Makanya para kyai Sunda lebih suka 
menerjemahkan kitab kuning dari Arab ke jawa dulu, baru 
transfer secara umum ke Bahasa Sunda. Kalau santri Jawa ngaji sama kyai 
sunda yang tidak menerjemahkan ke jawa dulu juga membuat pusing. Tapi 
kalau santri sunda ke jawa tidak terlalu sulit karena kosakata bahasa 
Jawa juga sudah banyak yang masuk ke Sunda, ini terjadi sejak kekuasaan 
Sultan Agung Mataram berpengaruh di tanah Sunda. Lagian kosakata bahasa 
Jawa itu sudah sangat popular karena dari sisi mayoritas Jawa memang 
dominan di mana-mana. Orang Jawa di Sunda sendiri sangat banyak. Nah, 
saya tak terlalu mewajibkan diri menerjemahkan bahasa Arab ke Sunda 
langsung. Kalau ini dilakukan malah rugi. Biar saja penafsiran 
literalnya pakai bahasa Jawa kemudian penjabarannya pakai Bahasa Sunda. 
Dengan begitu para santri juga bisa bertambah wawasan dalam penguasaan 
bahasa suku bangsa lain.[](Naskah ini adalah penggalan dari buku 
“Entrepreneur Organik: Rahasia Sukses K.H Fuad Affandi Bersama Pesantren dan 
Tarekat Sayuriahnya: Nuansa Cendekia Bandung 2009).


      

Kirim email ke