anyir eleh ku si mamang euy. mata uing kudu geura dijual ka peda jigana.
sakitu kurah-koreh meh dua menit, teu katimu, haha

Pada 7 Juli 2010 10:19, mh <khs...@gmail.com> menulis:

>
>
>
> <http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/07/07/03420910/Abah.Olot.Melestarikan.Karinding#>
> KOMPAS/KHAERUDIN
>   Abah Olot Melestarikan Karinding
>
> Rabu, 7 Juli 2010 | 03:42 WIB
>
> *Rini Kustiasih*
>
> Endang Sugriwa alias Abah Olot meyakini, alat musik tradisional sebagai
> bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi
> kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003,
> ketika karinding, alat musik tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia
> terperangah. ”Saya punya tanggung jawab,” katanya.
>
> Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan karinding. Sejak dari
> kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam
> keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu dan
> bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali untuk menekuni
> warisan keluarga.
>
> ”Saya generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu setelah ayah saya
> (Abah Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena matanya rabun,” kata
> Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang,
> Jawa Barat.
>
> Di rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan
> alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan
> seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti
> seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik
> tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.
>
> Semua alat musik tradisional itu hampir punah. Namun, yang menjadi
> perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga yang
> bisa membuat karinding.
>
> Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20
> sentimeter. Namun dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena
> banyak warga yang menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi
> berbuah. Maka, pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua dan mengering.
>
> Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya, umur bambu minimal dua
> tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas.
>
> Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di
> ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar
> saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah
> karinding diletakkan di mulut, diapit bibir atas dan bawah.
>
> Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu
> berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur
> tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari.
> Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara
> memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.
>
> Abah Olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan selepas tahun
> 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi selera musik masyarakat
> sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering dimainkan pada acara
> pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
>
> Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda.
> Karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat
> menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud
> sukacita atas hasil panen.
>
> ”Karinding juga dimainkan petani saat menjaga sawah. Serangga sawah
> menyingkir apabila karinding berbunyi,” katanya.
>
> Memasuki era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi. Minimnya publikasi
> tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional
> itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga, termasuk
> keluarga Abah Olot.
>
> Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari
> ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa. Abah
> Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan warisan
> keahlian keluarga.
>
> ”Istilahnya ulah kasilih ku junti, jangan melupakan adat-istiadat,”
> katanya.
>
> *Mulai bangkit*
>
> Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap tak
> sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat karinding, Abah Olot
> memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima.
>
> Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding, ditolak.
> ”Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya memainkan karinding,”
> katanya.
>
> Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. Tahun
> 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif
> kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.
>
> ”Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di depan publik,” kata Abah
> Olot.
>
> Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack beranggota
> delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman tradisional Sunda.
> Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang sering
> dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka
> memainkan karinding.
>
> Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung
> Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula dari
> komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan kaum muda.
>
> Banyak di antara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan
> karinding. Maka, setiap Rabu dan Jumat, di tempat Abah Olot dibuka latihan
> bagi mereka yang ingin belajar karinding.
>
> Kini, satu karinding dihargai Rp 50.000. Pesanan karinding mulai mengalir,
> bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi pesanan 100 karinding.
>
> Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah.
> Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding.
> Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern.
>
> Nama kelompok mereka pun ”segar”, seperti Markipat (kependekan dari Mari
> Kita Merapat), Karmila (singkatan dari Karinding Militan), Republik
> Batujajar dari Kabupaten Bandung Barat, dan Karinding Skateboard yang
> dimainkan komunitas skateboard.
>
> Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz Festival, Desember 2009.
> Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah, karinding justru mencuat
> pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan instrumen modern,
> seperti gitar, terompet, serta drum. Maka, mengalunlah lagu-lagu Sunda dalam
> harmoni jazz dan karinding.
>
> Di balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot yang tetap setia di
> ”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas
> masyarakat Sunda.
>
> web:
> http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/07/07/03420910/Abah.Olot.Melestarikan.Karinding
>
> 2010/7/7 Dudi Herlianto <dudi.herlia...@gmail.com>
>
>>
>>
>> kuring kungsi dibere karinding ku urang kampung sindangbarang. ngan nepi
>> ka ayeuna teu kungsi bisa nyadakeuna, bilet jigana kana urusan musik mah. di
>> dieu, di milis ieu ge kungsi dibahas ngeunaan alat musik unik ieu.
>> penyebaran ieu alat musik teh meh aya di unggal tempat. aranna memang beda,
>> nu paling kakoncara di google, awas haram nu ieu mah!, jew's harp, harpa
>> yahudi. di bali nu samodel karinding aya oge, ngaranna genggong. kang
>> yoyo <http://yoyoyogasmana.multiply.com/journal/item/1>, seniman sunda,
>> dina multiplyna nyebut alat musik samodel kieu teh zeusharp.
>>
>> tah dina kompas poe ieu, hal 16 saurang seniman sunda urang cipacing nu
>> micinta karinding, endang sugriwa alias abah olot diangkat jadi figur
>> inspiratif. hanjakal, basa neangan tumbu (link) sangkan ieu artikel bisa
>> dikirim ka ieu milis teh hese, teu nimu, nu aya ukur e-paper nu kapaksa kudu
>> disimpen dina bentuk gambar. gambarna dikantetkeun di handap.
>>
>> dudi
>>
>>
>  __._,,___
>



-- 
d-: dudi herlianto :-q
kunyuk nuyun kuuk, kuuk nuyun kunyuk

Kirim email ke