Dari segi penafsiran yang saya pilih tentang jin dan manusia tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa ini adalah dua jenis makhluk yang sepadan. Artinya sama-sama ciptaan dan sama-sama memiliki keterbatasannya masing-masing. Secara praktiknya banyak hal-hal yang bisa kita sebutkan berlebihan. Dan tentunya di mana saja yang namanya berlebihan adalah suatu yang tidak baik. Dalam masyarakat kita, sosok jin digambarkan sebagai sesuatu yang lebih hebat dari manusia dan bisa diminta bantuan untuk hal-hal yang macam-macam sesuai dengan tingkat pola pikir masyarakat kita. Saya pikir sudut inilah bentuk negatif yang seringkali kita lihat. Memang bisa saja jenis jin ini lebih hebat dan punya kemampuan yang berbeda dengan kemampuan manusia dalam komunitas antar mereka. Tetapi itu jelas sangat terbatas di antara mereka sendiri seperti layaknya perbedaan-perbedaan yang ada pada jenis-jenis makhluk ciptaan. Persepsi masyarakat kita yang tidak menyadari saling keterbatasan itulah yang menjadi pokok masalah pada tahayul itu saya kira. "Qul kullun ya'malu 'ala syaakilatih," "Kullun Muyassarun limaa khuliqa lahu."
Dalam syair-syair Arab pra Islam, sosok-sosok jin ini juga sering kita temukan seperti dalam syair-syair A'sya. Dan tidak sedikit yang menyebutkan Ifrit di sana. Mereka menggambarkannya dalam bentuk yang bermacam-macam sesuai dengan imajinasinya masing-masing. Tapi point yang ingin saya petik di sini, sebelum diturunkan al-Qur`an yang di antaranya menceritakan tentang Ifrit dan Sulaiman as, orang-orang Arab sendiri sudah mengenal Jin dan Ifrit sebagai makhluk halus yang digambarkan dalam macam-macam bentuk. Kalau kita telusuri secara terbalik, muncul pertanyaan apakah keterangan al-Qur`an tentang jin dan khususnya Ifrit dan Sulaiman as itu untuk merubah persepsi orang-orang Arab ketika itu? Jawabannya bisa jadi iya. Namun sayangnya, al-Qur`an tidak langsung menggagas penyampaian yang memotong persepsi itu. Justru pada dialog Sulaiman dengan Ifrit malah menguatkan tentang persepsi tersebut. Tapi al-Qur`an menegaskan berkali-kali bahwa jenis itu pada dasarnya tetaplah makhluk juga dan sebagai makhluk tentu mempunyai keterbatasan-keterbatasan sebagaimana juga manusia. Karena itulah komunikasi antara dua jenis ini juga sangat terbatas. Sama saja seperti terbatasnya komunikasi antara manusia sendiri dengan binatang misalnya. Nah pertanyaannya selanjutnya cukup menarik juga. Megerucut pada soal kesucian al-Qur`an. Tapi ini sangat relatif. Artinya, perlu kita tegaskan dulu apakah tahayul itu sendiri suatu praktek yang keliru. Tentu saja maksud pertanyaan saya ini lebih terfokus pada prinsip-prinsip teoritisnya bukan pada praktek-praktek masyarakat yang keliru memahami hubungan kedua makhluk dan juga berlebihan dalam menyikapinya. Kemudian dari segi epistimologinya, apakah tahayul itu sendiri merupakan bentukan lokal atau malah global sehingga dalam perkembangannya terjadi interaksi karena sudut kesamaan bentuk dan lalu paling tidak bisa kita katakan bahwa tahayul di sini pada awalnya adalah istilah Arab yang kemudian diserap, yaitu varian kata Khayal, Takhayyala, Takhayyul. Kalau memang itu yang terjadi, kita juga perlu mencermati istilah-istilah itu dalam perkembangan Arab sehingga kita bisa tahu kenapa takhayyul lebih berkonotasi negatif. Dalam istilah Arab ada dua istilah yang mengacu pada kandungan maksud yang serupa yaitu khayal dan waham. Kata yang menunjukkan aktivitas dari dua kata itu kemudian disebut takhayyul dan tawahhum, takhyiil dan iiham. Orang-orang Arab jaman dahulu dan begitu juga kebanyakan ulama yang mencoba mengulas tentang maksud kata ini tidak membedakan antara khayal dan waham. Meskipun dalam praktik mereka dalam pembahasan-pembahasan tertentu secara makna mengisyaratkan adanya perbedaan. Tapi secara umum mereka tidak membedakannya. Dalam bahasa indonesia disebut dengan ilusi. Bahkan Abdul Qahir, sang maestro kritik sastra dan Balaghah sendiri tidak membedakan dua kata ini dan dia menyatakan sebagai sesuatu yang rendah dan lebih memihak pada kebohongan[Asrar Balaghah]. Dalam studi Arab, perkembangan pada masa-masa terakhir lebih mengerucut pada paham yang membedakan antara khayal dan waham. Kalau waham adalah negatif maka khayal adalah positif di mana waham adalah penelusuran akliyah terhadap sesuatu dan keterkaitannya pada hal-hal yang sama sekali tidak ada wujudnya atau keterkaitannya, sedangkan khayal adalah pada hal-hal atau sesuatu yang ada wujudnya dan keterkaitannya. Memang perbedaan ini susah ditarik dalam bentuk yang lebih tegas karena tipisnya perbedaan itu dan karena berada dalam sudut persepsi manusia. Dalam istilah sekarang, waham dikhususkan dalam istilah ilusi sedangkan khayal disebut dengan imajinasi. Karena itulah pembahasan tentang khayal kemudian lebih terfokus pada benda-benda dan keterkaitannya dan bagaimana dari wujud yang telah ada itu membentuk sesuatu yang baru; baik ide, pemikiran, pandangan, persepsi dan tindakan. Kalau memang demikian, jelas tahayul yang berkonotasi negatif ini berasal dari maksud yang yang tidak membedakan antara waham dan khayal. Proses iiham adalah sama dengan proses takhayyul. Namun melihat perbedaan-perbedaan antara kedua istilah itu dalam kajian terkini mau tidak mau kita juga mengambil sikap dan pendapat yang sesuai pada tempatnya baik dalam lingkup persepsi pemikiran atau praktek tindakan. Yaitu mana bagian tahayul yang memang berbentuk waham dan ilusi belaka dan mana tahayul yang sebenarnya masuk dalam bagian khayal yang positif. Dalam kontek dunia makhluk halus misalnya, syair-syair Arab lebih banyak menekankan pada bentuk waham. Mereka mempersepsikan jin sebagai makhluk luar biasa yang mempunyai kemampuan di atas manusia di alam manusia. Bahkan tidak sedikit yang menggambarkannya dalam bentuk-bentuk indrawi mempunyai cakar-cakar, bertubuh besar seperti raksasa, dan sebagainya. Dari sana bisa kita pahami ada perbedaan yang cukup menonjol dengan pengungkapan jin dan makhluk halus dalam al-Qur`an. Kalau memang segala bentuk pembicaraan tentang makhluk halus atau suatu tindakan yang berkenaan dengan makhluk halus itu disebut dengan tahayul juga, maka apa yang diutarakan oleh al-Qur`an merupakan bentuk positif dari dua bagian yang nyaris serupa dan tipis perbedaan tersebut. Dan itu bisa ditelusuri kembali pada ayat-ayat al-Qur`an yang menyebutkan atau berbicara tentang jin. Sedikit Tentang Khayal Ada pandangan yang cukup menarik tentang penjabaran khayal ini. Kita simpulkan dari pembicaraan-pembicaraan oleh Jamaludin al-Afghani, buku-buku Muhammad Khidr Husain, Ahmad Faris Syidyaq dan Jabir 'Usfur. Konsep khayal berdasarkan dua prinsip utama yang saling bertautan; asas ma'rafi dan asas akhlaqi. Asas ma'rafi mengembalikan kita pada konsep ma'rifah memisahkan antara subjek dan objek secara tegas. Objek dipandang sebagai data dan bahan yang tersedia secara tersendiri di luar subjek. Sedangkan subjek itu sendiri dalam konsep ini semata-mata sebagai unsur yang merespon apa yang terjadi di luarnya. Bisa jadi respon itu berupa penemuan terhadap objek atau penjelasan terhadap keberadaannya atau semata-mata ekspresi yang ditinggalkan objek pada subjek. Akan tetapi subjek pada akhirnya tidak menciptakan objek dan juga tidak merevisi pada saat responnya. Dia hanya merespon dan menerimanya. Dan bekerja sesuai dengan penerimaan kerja respon yang berbentuk proses dualisme antara potensi akal dan potensi indrawi sekiranya penangkapan subjek ini terdiri dari beberapa tingkat yang tersusun secara hirarki di antara dua sudut itu. Bagian paling bawah adalah level indrawi dan yang berkaitan dengannya. Dan bagian paling atas adalah level akal dan yang berkaitan dengannya. Dan diantara dua level ini terdapat beberapa tingkatan kekuatan batiniyah antara indra dan akal. Level pertama mengambil objek lalu mengajukannya kepada level kedua yang membentuk, memilih, dan mensterilkannya dari ke-idrawi-an berupa konsep-konsep, ide-ide universal, persepsi, visi dan pandangan. Inilah kesimpulan respon subjek terhadap objek yang tersedia. Media paling utama dalam ma'rifah itu adalah akal, "anugrah paling besar yang diberikan oleh Allah kepada manusia," kata al-Afghani. Potensi-potensi yang ada di antara level indrawi dan level akal yang berada di tengah-tengah antara akal dan indra itulah yang dinamakan kekuatan khayal. Dalam kerjanya, kekuatan ini menghadirkan kembali bentuk-bentuk pantulan objek indrawiyah atau yang sudah lebih dulu tersimpan, kemudian menyusun kembali dari serangkaian pantulan objek dalam proses kerjanya yang lain menjadi bentuk-bentuk baru. Artinya, kekuatan khayal selain menghadirkan kembali dari pantulan bentuk-bentuk objek yang sudah ada, juga membentuk sesuatu yang baru. Proses pertama di sebut Istihdhari dan proses kedua disebut Ibtikari. Tetapi kedua proses ini sangat tergantung pada memori. Perbedaannya, kalau pada proses pertama kekuatan khayal menghadirkan kembali objek dengan mengandalkan memori sekiranya hampir tidak ada perbedaan antara objek indrawi dan pantulannya. Dunia khayal ketika ini berbentuk dunia pantulan seperti cermin di dalam memori terhadap dunia objek dan peristiwa-peristiwa yang nyata. Sedangkan pada proses kedua, kekuatan khayal membentuk sesuatu yang baru yang berbeda dari input-input indrawi yang masuk. Maka tetap mengandalkan kekuatan memori, tapi kekuatan khayal pada kondisi ini tidak terhenti pada bentuk-bentuk objek itu semata, tetapi berusaha menyusun dan membangun kembali menjadi bangunan baru. Suatu bangunan yang bukan tiruan dari unsur-unsur yang memang ada secara nyata. Dalam kesimpulan yang lebih spesifik, kekuatan khayal mampu menyampaikan materi kepada akal untuk membantu proses-proses berpikir dan memahami. Ia berada di tengah-tengah antara indra dan akal dan karena itu selamanya levelnya lebih rendah dari level akal. Tapi sangat berperan dalam menyediakan input-input sebagai bahan yang diproses oleh akal. Sisi rendahnya kekuatan khayal ini karena akan selalu terikat dengan objek-objek indrawi dan indra sangat terikat dengan garizah, instink, tabiat, naluri dan emosi. Dan pada sisi lain belum tentu responnya terhadap objek itu disampaikan kepada akal untuk diproses. "Kelakuan khayal yang tidak bekerja di bawah kekuasaan akal menggambarkan sesuatu atau menyampaikan makna-makna tanpa keteraturan dan langsung mendiktekan kepada mulut sebagaimana yang ia gambarkan. Lalu rupanya jadilah perkataan-perkataan itu yang menimpakan kehinaan kepada pemiliknya atau mendudukkan dalam kedudukan orang yang dicemooh atau membangkitkan kemarahan." [M. Khidir Husain, Rasail al-Ishlah]. Kalau demikian, kedudukan khayal yang berada di tengah-tengah itu seperti getaran gelombang antara dua sisi potensi makrifah yang saling tarik menarik yaitu akal dan indra. Dan juga antara dua sisi potensi etik (Akhlaqi) yaitu keutamaan-keutamaan akal dan tabiat-tabiat jasadiyah naluri. Terkait dengan judul besar dalam persoalan tahayul, saya kira bisa dipahami dari kedudukan dan prosesnya pada kesimpulan yang saya tuliskan dari beberapa buku yang mengulas tentang khayal dan takhayul ini. Sampai di mana input-input yang diproduksi oleh kekuatan khayal, maka sampai disitulah nilainya. Apakah dia terhenti pada titik yang lebih mendekati indra atau mampu mengantarkannya kepada akal untuk diproses, dan bagaimana kekuatannya dalam mengolah input-input tersebut. Saya kira cukup di sini dulu, Wassalam Aman ----- Original Message ----- From: "muizof" <[EMAIL PROTECTED]> To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com> Sent: Saturday, June 18, 2005 1:42 PM Subject: [wanita-muslimah] pro pak Aman Fatha cs : makna jin menurut qur'an Re: Interaksi sesama Umat Islam > Apabila menyimak penafsiran jin menurut pak Chodjim, terlihat betapa > besar semangat pak Chodjim untuk mengajak umat (pembaca tafsir) untuk > bergeser dari pemahaman tahayul ke pemahaman rasional (saya sih > berpikir positif, sebagai pemerkaya khazanah tafsir islam). Tafsir > klasik yang selama ini lebih mengartikan "jin" sebagai makhluk halus > dihujat oleh Pak Chodjim sebagai (kalau saya tidak salah baca, tolong > koreksi pak Chodjim) dikesankan sebagai "upaya membodohi umat" > dininabobokkan ke alam metafisik tahayul alias tidak rasional. > > Sepertinya argumen pak Aman Fatha bahwa Jin adalah makhluq spesifik > adalah tidak terbantahkan. Sedangkan penafsiran "jin" menurut pak > Chodjim sebagai manusia asing, bukan makhluq halus susah juga > dibantah, kecuali ada enggak ya, riwayat hadits yang menjelaskan > siapa oknum "jin" dalam QS al Ahqaf (tentang dialog rasulullah dengan > jin) maupun QS an Naml (dialog Nabi Sulaiman dengan jin Ifrit). > > Yang menarik bagi saya adalah : > > Apakah Al qur'an yang menyinggung "jin" apabila ditafsirkan sebagai > makhluq halus akan serta merta mengurangi nilai kesucian al Qur'an ?? > lantaran uraiannya bak dongeng/tahayul/mistik belaka ?? > > atau > > Apabila al qur'an yang menyinggung "jin" ditafsirkan dalam konteks > tertentu sebagai orang asing, yakni bukan makhluq halus akan > berimplikasi menambah nilai kesucian Al Qur'an ??? lantaran uraiannya > rasional dan logis sehingga menambah iman dan taqwa pembacanya ??? > > Wassalam > Abdul Mu'iz > WM FOR ACEH Bantu korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara! Rekening BCA Kantor Cabang Pembantu (KCP) Koperasi Sejati Mulia Pasar Minggu No Rek. 554 001 4207 an. Herni Sri Nurbayanti. Harap konfirmasi sebelumnya ke [EMAIL PROTECTED] atau HP 0817 149 129. Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Islami mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/