http://www.suarapembaruan.com/News/2005/08/02/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Fatwa Panas MUI Muhtadin AR FATWA Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme, sekularis, dan liberalisme agama, menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Pasalnya, fatwa tersebut lalu ditangkap banyak orang sebagai penjelmaan untuk mengatur dan mengekang akidah umat Islam. Lalu yang menjadi pertanyaan, haruskah MUI mengambil peran sentral dalam persoalan akidah umat Islam? Bukankah fatwa MUI yang terkait dengan akidah telah terbukti membawa dampak pada munculnya kekerasan yang dialami oleh anggota Jemaah Ahmadiyah di Kampus Mubarak Parung Bogor beberapa waktu lalu? Memang MUI adalah kumpulan para ulama, yang dalam hadits, ulama itu disebut sebagai pewaris para nabi (al ulama warasatul anbiya), dan penjaga moralitas umat (khadimul ummah). Juga keberadaannya diakui oleh pemerintah yang sah. Namun, bagaimana jika wejangan dan fatwa-fatwanya ternyata 'kurang' begitu membawa kemashlahatan? Tetapi justru menjadi legitimasi bagi munculnya kekerasan dan keresahan? Dalam posisi inilah fatwa tersebut layak didiskusikan. Pertama, kalau kita membuka kembali sejarah munculnya fatwa dalam Islam, bahwa fatwa (secara kelembagaan) itu diberikan oleh seorang qodli (hakim) dalam masalah-masalah syariat, bukan masalah akidah, dan sifatnya pun tidak mengikat. Pendapat ini sangat beralasan karena wacana syariat (fiqih) memang lebih mendominasi kehidupan masyarakat, ketimbang masalah akidah yang muaranya pada hati pribadi. Kedua, kalaupun MUI harus mengeluarkan fatwa dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar, dan itu pun karena permintaan maka tidak boleh dilakukan dengan agresif. Artinya, tidak harus semua masalah yang tidak diminta pun lalu diberi fatwa dan dipaksakan kepada seluruh umat. Bukankah Allah sendiri telah memperingatkan Nabi Muhammad SAW agar tidak melakukan dakwah model ini. Disebutkan, "Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan." (QS. 11:12); "Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang buta agama (ummi): 'Maukah kalian masuk Islam'. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan." (QS. 3:20). Di sini perlu ditegaskan bahwa fatwa dan seruan itu berbeda dengan hukum. Jika fatwa itu sifatnya tidak mengikat dan sesungguhnya hanya berlaku pada orang yang meminta fatwa, maka hukum sifatnya mengikat dan berlaku untuk semua, baik ia meminta ataupun tidak. Untuk itu, ketiga, menjaga akidah sesungguhnya bukanlah tugas dan tanggung jawab MUI, tetapi tugas dan tanggung jawab masing-masing individu. Tidak seorang pun berhak untuk mengarahkan dan memberi acuan terhadap akidah yang lainnya agar sama, karena Tuhan sendiri juga tidak pernah memaksa hambanya. (baca: QS. 18:29; QS. 10:99; QS. 2:256). Argumen ini semakin menemukan relevansinya jika kita mengaitkan dengan pertanggungjawaban di akherat kelak. Bukankah di hadapan Tuhan kelak, pertanggungjawaban itu sifatnya pribadi, dan seseorang tidak akan pernah menanggung dosa orang lainnya? Dan bukankah konsekuensi dari semua itu adalah bahwa setiap umat manusia harus menerima keragaman keimanan, kepercayaan dan perbuatan? Dan bukankah itu berarti suatu praktik keagamaan tidak boleh dinilai berdasarkan atas penilaian (ijtihad) manusia lainnya sebagai sesama pemeluk agama? Dari sinilah kita melihat bahwa fatwa MUI itu berlebihan. Karena fatwa ini sangat rawan terhadap munculnya monopoli atas tafsir agama. Padahal, tafsir atas agama itu tidak boleh dimonopoli oleh siapapun. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk mengklaim sebagai pemegang otoritas dalam Islam. Sebagaimana ditulis Khaled Abou el Fadl dalam Speaking in God's Name (2003), karena pemegang otoritas dalam Islam itu hanya ada pada Tuhan, Al-Qur'an, dan Nabi. Maka yang sekarang ini ada, termasuk MUI, hanyalah penafsir yang tidak memiliki 'hak' untuk menjadi 'juru bicara' Tuhan. Memang, dalam al-Qur'an disebutkan: "fas aluu ahladdzikri inkuntum la ta'lamuun," bertanyalah kalian kepada para ahlinya, jika kalian tidak mengetahuinya, tetapi ayat ini tidak bisa dijadikan justifikasi bagi para ahli agama untuk mewakili kehendak Tuhan dan memonopoli tafsir agama dengan memberikan fatwa pada seluruh persoalan agama. Pluralisme adalah suatu keniscayaan. Pun demikian dengan liberalisme, menafsir doktrin agama dengan pikiran, untuk apa manusia diberikan akal pikiran kalau bukan untuk menafsiri pesan dan kehendak Allah yang termaktub dalam kitab suci al-Qur'an? Kebenaran dan kemurnian suatu ajaran agama, bukan terletak pada seberapa besar para ulamanya memberikan garis pembatas terhadap para penganutnya untuk tetap berjalan pada rel yang telah ditentukan. Tetapi lebih pada seberapa besar penganutnya mengamalkan ajaran tersebut. Sehingga suatu ajaran tidak hanya bisa dinikmati oleh penganutnya saja, tetapi juga memberikan kemashlahatan kepada yang lain, sebagai rahmatan lil 'alamin. * Peneliti P3M dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta Last modified: 2/8/05 [Non-text portions of this message have been removed] Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/