Pak Sutiyoso,

Tidak usahlah bertanya tentang apa hukum free sex, justru sex itu sendiri 
pada dasarnya adalah haram. Dan Tuhan yang menciptakan manusia, Dia Mahatahu 
apa saja komponen yang Ia titipkan pada tiap makhluk yang salah satu di 
antaranya adalah sex. Maka ditetapkanlah aturan dasar terhadap sex bagaimana 
seharusnya. Dia berikan kepada manusia suatu kebutuhan terhadap makan, Ia 
tetapkanlah kepada mereka hukum makan. Ketika kita sebut hukum dasar, maka 
ini adalah persoalan prinsip sehingga bukan hanya pekerjaan makan atau 
barang apa yang dimakannya yang diatur, tetapi sesuatu yang lebih bersifat 
esensial. Seandainya suatu kaum makanan pokoknya adalah batu, tidak ada 
persoalan. Namun batu milik siapa? Apakah batu itu halal baginya?

Saat Sampeyan bertanya tentang free sex, harus jelas apa yang dimaksud 
dengannya. Dalam Islam, perzinahan itu hukumnya haram. Bagaimana menghukum 
perzinahan? Dicambuk atau dirajam. Namun bagaimana, jelas-jelas dalilnya 
menerangkan harus dilengkapi dengan empat orang saksi. Sangat susah untuk 
membuktikannya betul-betul. Dan karena ini pula kenapa kasus perkosaan 
menjadi ribet dalam hukum Islam, dan bahkan bisa-bisa malah berbalik ke arah 
korban perkosaan. Karena menuduh zina juga adalah menyangkut persoalan 
hukum, dalam Islam dikenal dengan Qazaf.

Memang dalam hukum ini masih merupakan pembahasan yang belum tuntas--saya 
kira--dalam menyikapi persoalan manusia modern pada masalah ini. Namun ada 
sedikit nilai yang bisa saya ambil dari kenyataan itu bahwa perzinahan bukan 
soal sepele bagi pelakunya dan penentangnya. Artinya, ada yang error dalam 
masyarakat atau suatu individu masyarakat. Namun dalam menyelesaikannya pun 
tidak segampang teriak kesana kemari hukumnya haram. Apalagi jika sampai 
pada qazaf, justru penuduh lah yang nantinya akan dihukum. Sekarang jika 
pertanyaan ini saya ajukan kepada Pak Sutiyoso, kira-kira berani ngga 
Sampean menempatkan akal di atas wahyu? Lalu kita tinjau kembali ayat-ayat 
ini untuk mengekpolarasi lebih jauh apa sih kandungan lain yang bisa kita 
ambil dengan menangkap pesan-pesan dibalik layar dari ayat-ayat tersebut. 
Sehingga dengan itu kita bisa mendapatkan sesuatu yang minimal bisa menjadi 
bentuk solusi baik secara hukum atau sosial terhadap fenomena masyarakat.

Karena itu, saya berulang-ulang kali--baik di dunia maya atau di 
darat--bahwa untuk mengatakan haram sesuatu itu persoalan gampang. Apa sih 
susahnya mengucapkan kata dari lima hurup itu?! Kalau Sampeyan bertanya 
tentang free sex, jawabannya perzinahan itu haram. Wah gampang bangat 
menjawabnya. Anak pondok tingkat satu pun bisa mengatakannya lengkap dengan 
dalil-dalilnya. Namun menggunakan kata free sex bagi saya lebih merujuk 
kepada fenomena, suatu penyakit sosial. Dan pada bagian ini kita sudah 
selesai berbicara soal hukum, semestinya sekarang kita berbicara soal solusi 
nyata. Saya tidak tahu kenapa muncul pertanyaannya di pembahasan kita dalam 
soal poligami. Atau memang untuk mengungkapkan sebuah kesan bahwa salah satu 
solusinya adalah dengan poligami. Kalau memang ini, saya rasa terlalu 
mengada-ada. Free sex itu bahkan dalam kalangan yang sudah berkeluarga pun 
sering terjadi.

Jadi sekarang kemukakanlah masalahnya dengan cermat, seperti apa bentuknya 
Free Sex itu? Orang-orang yang dengan bebas melakukan hubungan sex tanpa ada 
ikatan apapun. Bagaimana mereka melakukannya? Apa saja motif-motifnya? Apa 
saja faktor-faktornya? Bagaimana dengan kondisi dan prilaku masyarakat 
secara umum? Hanya dengan ini kita bermula mencari solusinya. Soal hukum, 
apa lagi yang harus diterangkan lewat hukum? Hukum bisa saja dikonsep 
berdasarkan tashawwur masalah apakah masalah itu terjadi secara nyata atau 
sekadar arsip-arsip konseptual hukum. Namun saat berhadapan dengan realitas, 
hukum tidak bisa dikenakan atas dasar prasangka atau asumsi-asumsi belaka. 
Dari sudut tashawwur konsep, sudah saya singgung di atas. Dan apabila ini 
dihadapkan pada realitas atau kasus per kasus, maka kasusnya harus jelas. 
Artinya, ketika kita sedang menghadapi persoalan si A, maka apa perbuatan si 
A itu harus jelas disertai dengan saksi-saksi dan bukti-bukti yang pasti. 
Namun kalau kita berbicara secara wacana, misalnya melihat kondisi anak-anak 
SMU XX lalu kita menyimpulkan suatu kondisi yang kita sebut Free Sex, maka 
ini tidak ada terapan hukumnya sama sekali. Yang lebih relevan di sini 
adalah meneliti obyek, mencermati faktor, dan berusaha mencarikan solusi. 
Hukum yang bisa kita katakan hanya hukum dasar yang sudah menjadi landasan 
secara prinsip, bahwa berzina itu haram. Dan ini berlaku di manapun, kapan 
pun, dalam kondisi apapun, dan dalam status apapun. Dan itu tidak bisa 
ditujukan kepada objek dalam wacana tersebut, karena sangat terkait dengan 
putusan hukum dan penuduhnya pun bisa terkena putusan hukum yang lain.

Karena itu, permintaannya tentang dalil-dalil tidak perlu saya sertakan dan 
karena ayat-ayat dan hadis-hadisnya pun sudah jelas dan terkenal. Apalagi 
bagi orang yang merasa menyucikan al-Qur`an dan tidak ingin berhadapan 
dengan sesuatu yang ia anggap mengurangi atau bahkan mengotori kesuciannya. 
Padahal meskipun tanpa itu, sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun 
al-Qur`an tetap suci dan tidak ada sesuatu pun yang bisa mengotori 
kesuciannya. Karena Dzat yang menurunkannya sendiri yang telah memberikan 
jaminan terhadap hal itu. In uriidu Illa al-ishlah wa ma taufiiqi illa 
billaah.

Wassalam

Aman

----- Original Message ----- 
From: "SUTIYOSO WIJANARKO WIJANARKO" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Friday, December 16, 2005 5:17 PM
Subject: Re: Balasan: Re: [wanita-muslimah] Budaya Poligami


> Assalamualaikum.Wr.Wb,
>
>  Mas Ustadz, terimakasih atas semua infonya yang sangat bermanfaat sekali, 
> untuk saat ini saya belum bisa berkomentar.
>
>  Mohon ijin untuk bertanya, kalau menurut Mas Ustadz, free sex itu 
> hukumnya bagaimana ?, mohon dasar-dasar hukumnya dari Al Qur'an dan Hadis 
> dan pendapat ulama serta para guru Ustadz di Mesir.
>
>  Terimakasih.
>
>  wassalam
>
> Aman FatHa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>  Tentu saja sangat berat dong, Pak. Sampai-sampai Rasulullah Saw sendiri
> sangat mengerti hal itu lalu berdoa kepada Tuhan, "Allahumma hadza qasami
> fii maa
> amliku falaa talumni fii ma amliku. (Ya Allah, inilah pembagianku pada
> bagian yang aku mampu, mohon jangan cela aku pada bagian yang aku tidak
> mampu." Jadi memang bukan persoalan yang gampang dan juga bukan dunia yang
> hanya mimpi-mimpi. Nabi Saw. melihat realitasnya secara obyektif dan
> sesungguh-sungguhnya. Sampai-sampai ketika melamar Ummu Salamah, dia 
> menolak
> dengan halus pada awalnya dengan mengatakan saya ini perempuan yang sudah
> tua, ibu dari anak-anak yatim, dan juga pencemburu.
>
> Kejadiannya, suami Ummu Salamah meninggal dunia di Madinah karena luka 
> yang
> menimpanya pada peperangan Uhud. Dan dia adalah wanita yang sangat
> mengagungkan suaminya, sampai-sampai ketika Umar meminangnya setelah itu,
> dia menolak. Kemudian Abu Bakar meminangnya, dia juga menolak. Ketika Nabi
> Saw menyampaikan takziyahnya dan berkata kepadanya, "Mohon pahala kepada
> Tuhan atas musibahmu, dan semoga menggantikannya dengan yang lebih baik."
> Ummu Salamah menjawab, "Adakah lagi yang lebih baik dari Abu Salamah?!"
>
> Nabi Saw. tetap tidak tega melihatnya menanggung anak-anak yatim, sehingga
> ketika mendengar jawabannya atas lamaran Nabi Saw. Nabi kemudian 
> menjawabnya
> bahwa Beliau sendiri lebih tua darinya, dan anak-anak yatim serahkan 
> kepada
> Allah dan Rasul-Nya, dan sifat pencemburuannya (semoga) Allah akan
> melenyapkannya. Akhirnya Ummu Salamah menerima dan kawin dengan Nabi Saw.
> Ummu Salamah ini setingkat di bawah Aisyah dari segi banyak riwayat, sama
> seperti Aisyah dari segi kecerdasan dan kepintaran, tetapi dia mempunyai
> kelebihan dari Aisyah dari segi kematangan dan kecermatan dalam berpikir 
> dan
> mengambil keputusan.
>
> Memang tidak mudah, Pak. Para istri Nabi Saw. itu semua juga terbagi ke
> dalam dua faksi; faksi pertama terdiri dari Aisyah, Hafshah, Shafiyah, dan
> Saudah. Sedang faksi kedua terdiri dari Ummu Salamah dan istri Nabi Saw 
> yang
> lain. Mereka juga mengajukan tuntutan kepada Nabi Saw agar bersikap adil,
> bahkan mendesak-desak sampai terjadi friksi antara Zainab dan Aisyah.
> Padahal Nabi Saw. tidak pernah melebihkan salah seorang pun di antara
> mereka, dan mereka sendiri tahu hal itu. Namun orang-orang ini apabila 
> ingin
> memberi hadiah kepada Nabi Saw. mereka selalu menunggu hari giliran Aisyah
> sehingga mereka menyerahkannya pada Nabi Saw. di rumah Aisyah. (ceritanya
> ini selengkapnya ada di dalam hadis Bukhari dan Muslim).
>
> Masih banyak kejadian lain, hingga akhirnya diturunkan ayat "takhyir" 
> yaitu
> perintah kepada Nabi Saw. untuk memberikan pilihan kepada istri-istri 
> Beliau
> apakah tetap menjadi istri atau cerai. Jadi, sekali lagi, tidak segampang
> itu, Pak. Memang sangat berat. Pada masa sekarang, bisakah kita memberikan
> penjelasan yang akurat, obyektif, dan transparant pada kasus-kasus 
> poligami
> bahwa semuanya berjalan sebagaimana mestinya dengan segala mimpi
> perjuangannya. Karena melihat kondisi dan kenyataan sekarang itulah yang
> membuat Syaikh Muhammad Abduh menyebut poligami sebagai kerusakan.
>
> Nabi Saw. memberikan pilihan kepada istri-istrinya apakah masih tetap
> bertahan atau cerai, karena dari kepribadian, sikap, dan perlakuan Nabi 
> Saw
> sendiri sudah sangat adil. Siapa yang menjamin poligamers sekarang 
> bersikap
> dan bertindak adil seperti Nabi Saw? Atau malah justru sebaliknya, karena
> ketidakadilannya yang membuat istrinya tidak nyaman, lalu dia
> menceraikannya, tidak lagi memberikan pilihan tetap bersama atau cerai. 
> Dan
> dua-duanya adalah sama, kezhaliman di atas kezhaliman. Kezhalimannya dalam
> perlakukan terhadap istrinya yang bisa saja tidak ia sadari, dan
> kezhalimannya menceraikannya justru disebabkan oleh kezhalimannya sendiri.
>
> Inilah kenyataan empiris yang kita temui--dalam skup kecil barangkali--dan
> itu juga fakta-fakta yang dijumpai oleh Syaikh Muhammad Abduh selagi 
> menjadi
> Mufti resmi negara Mesir dan sesudahnya sehingga beliau mengeluarkan fatwa
> boleh bagi suatu lembaga, atau pemerintah untuk melarang perkara yang 
> boleh
> apabila terdapat kemudaratan di dalamnya seperti pada kasus poligami ini.
> Demikian juga dikuatkan oleh Rasyid Ridha berdasarkan 
> pengalaman-pengalaman
> beliau sendiri dari pengaduan-pengaduan dan pertanyaan-pertanyaan 
> masyarakat
> luas. [al-Manar, sebagian di majalah al-Manar dan sebagian lagi dalam 
> tafsir
> al-Manar sesuai dengan perbedaan gaya ungkapannya.]
>
> Memang persoalan poligami berpindah nuansa perdebatannya menjadi 
> pembicaraan
> hitam-putih tentang hukumnya secara konseptual belaka sehingga orang-orang
> lebih banyak berbicara oh hukumnya sunnah, yang lain angkat bicara dan
> mengatakan hanya boleh saja, sedang yang lain lagi mengecamnya. Padahal 
> dari
> sudut hukum, Nabi Saw berpoligami adalah justru karena faktor-faktor yang
> mendorong pembolehan tersebut sehingga tidak diharamkan secara mutlak. 
> Atau
> meminjam bahasanya Rasyid Ridha, itulah kebutuhan-kebutuhan darurat yang
> terjadi pada masa itu dan pada beberapa masa setelahnya (dan lihat juga,
> bagaimana kondisi itu sampai Umar yang mencarikan orang yang layak untuk
> Hafshah, misalnya). Bahkan lebih dari itu, Nabi sampai lebih dari empat 
> yang
> oleh para ulama sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalilnya merupakan
> kekhasan pada Nabi Saw. sendiri bukan untuk umatnya. Karena itu, para 
> ulama
> banyak yang menyatakan bahwa poligami hukumnya hanya boleh, bukan sunnah.
>
> Poligami dibolehkan karena memandang banyak faktor yang sangat mungkin
> terjadi dalam dinamika kehidupan sosial. Karena itu, dalam konsep rumah
> tangga, para ulama menekankan bahwa kesempurnaan dan paling ideal adalah
> satu orang suami dan satu orang istri saja. "Prinsip dasar dalam 
> kebahagian
> rumah tangga adalah seorang laki-laki beristri satu orang perempuan
> (demikian, Rasyid Ridha)," dan bersama-sama mengarungi kehidupan rumah
> tangga untuk mencapai rukunnya yang tiga yaitu sakinah, mawaddah, dan
> rahmah. Jadi 3 unsur ini adalah rukun-rukun rumah tangga, dan setiap orang
> yang ada di dalamnya wajib menegakkan dan merealisasikan rukun ini (kalau
> dalam wudhu, apabila ada rukun yang ketinggalan maka wudhunya tidak sah. 
> Di
> sini, apabila masih ada rukun itu yang tidak ada, maka tujuan berumah 
> tangga
> yang diinginkan oleh Islam masih belum tercapai). Toh, yang ideal ini pun
> belum tentu terlaksana dengan sebaik-baiknya.
>
> Mereka yang mengecam keras terhadap kebolehannya dengan mengesampingkan
> faktor-faktor yang sangat mungkin terjadi dalam kehidupan--menurut
> saya--juga sesuatu yang gegabah. Bahkan justru kecaman-kecaman ini sedikit
> banyaknya berperan dalam membuat perdebatan masalah ini semakin runcing, 
> dan
> lebih disayangkan lagi membuat pembahasannya berpindah fokus pada 
> perdebatan
> konseptual belaka dan melupakan kasus-kasus obyektif dalam masyarakat.
> Korban-korban akibat kerusakan poligami hanya menjadi fakta-fakta empiris
> untuk menguatkan kecaman. Bahkan tidak jarang yang kemudian menyudutkan
> Islam dengan segala aturan-aturan hukum yang terkandung di dalamnya. 
> Seperti
> itulah yang pernah disampaikan oleh Lord Kromer--sang pembantai
> petani-petani Dansyuwai--dalam sambutannya yang menohok Islam, begitu juga
> yang dikemukakan oleh Lrua Paulio(?) di al-Jazair yang kemudian melarang
> poligami secara total.
>
> Fakta-fakta yang kita lihat lebih banyak menunjukkan bahwa poligami adalah
> kerusakan, tapi fakta juga yang memperlihatkan ada poligami yang tidak
> menimbulkan masalah, walau jumblahnya sangat sedikit dan terbatas. Inilah
> yang harus kita lihat secara obyektif, termasuk secara obyektif pula untuk
> melihat faktor-faktor dalam kondisi yang menjadi alasan dalam melakukan
> poligami. Bukan faktor-faktor yang hanya keinginan untuk ini dan itu yang
> lebih banyak berupa mimpi-mimpi belaka. Nabi Saw. selalu berkeinginan 
> untuk
> membantu orang lain dan ikut serta menanggung beban deritanya. Namun bukan
> dengan mimpi-mimpi dengan segala kata-kata yang wah-wah. Lihat 
> kenyataannya
> secara obyektif, begitulah yang dilakukan oleh Nabi Saw.
>
> Beliau mengawini Ummu Habibah setelah ditinggal suaminya yang memeluk
> Krsiten di Habsyah (Eitopia) ketika mereka hijrah ke sana. Dia adalah 
> putri
> Abu Sufyan, pemuka Quraisy, hidup sebatangkara tanpa mempunyai keluarga
> lagi. Bahkan lebih dari itu, keluarganya justru memusuhinya dan yang lebih
> menyakitkan lagi justru dari ayah dan ibunya sendiri. Sejak lama kaumnya 
> Abu
> Sufyan, bani Abdi Syams adalah rival dan musuh Bani Hasyim yang merupakan
> kaum Nabi Saw. Dua kaum ini merupakan kabilah terkemuka dan terpandang 
> dari
> kabilah Quraisy di kalangan Arab. Lihat, selain faktor individu juga 
> banyak
> faktor-faktor lain yang obyektif mendorong terjadinya perkawinan ini.
>
> Perkawinan dengan Ummu Salamah, sudah kita kemukakan di atas. Namun masih
> ada yang perlu dikemukakan relevan dengan faktor obyektif ini. Ayah Ummu
> Salamah ini adalah salah seorang yang masyhur di kalangan Arab sebagai
> manusia yang paling pemurah. Ummu Salamah menikah dengan sepupunya, 
> Abdullah
> ibn Abdul Asad al-Makhzumi, yang merupakan orang pertama masuk Islam, 
> yaitu
> orang yang kesebelas. Dia juga merupakan putra dari bibi Nabi Saw. dan
> saudara Nabi Saw. sepersusuan. Sewaktu pasangan suami istri hijrah ke
> Habsyah, mereka mendapatkan anak yang diberi nama Salamah.
> Setelah sudah kembali ke Makkah, Ummu Salamah ingin ikut suaminya hijrah 
> ke
> Madinah. Namun kaumnya menghalang-halanginya. Mereka merebutnya bersama
> anaknya dari tangan suaminya. Kemudian kaum suaminya, Bani Abdil Asad,
> setelah itu merebut anaknya dengan paksa sampai-sampai tangannya terputus.
> Karena itulah, setiap hari Ummu Salamah pergi ke lembah menangis sedih
> sampai pada suatu hari ada orang dari kaumnya yang kasihan dan berbaik 
> hati
> dengannya. Orang tersebut membantunya dan berhasil mendapatkan anaknya
> kembali, kemudian memberangkatkannya ke Madinah dengan sekedup unta. 
> Inilah
> sekedup pertama yang hijrah ke Madinah. Lihat bagaimana penderitaan dan
> perjuangannya. Nabi mengawininya setelah suaminya tewas karena luka dalam
> perang Uhud--seperti sudah diceritakan di atas. Dan karena hormatnya 
> kepada
> suaminya dan sangat mengagungkannya sampai dia menolak lamaran Abu Bakar 
> dan
> kemudian Umar. Melihat kenyataan obyektif pada dirinya yang penuh
> penderitaan, tanggungan anak-anak yatim, dan perlu ada orang yang membantu
> dan melindunginya, dan kemudian melihat bagaimana perasaan dan sikapnya 
> yang
> agung sampai menolak lamaran orang setingkat Umar dan Abu Bakar, maka 
> tidak
> ada pilihan lain bahwa harus Nabi Saw sendiri yang mengawininya.
>
> Lihat faktor obyektif yang dilihat oleh Nabi Saw ketika mengawini Barrah
> binti Harits yang kemudian diberinama Juwariyah. Ayahnya adalah pemimpin 
> dan
> pemuka Bani Mushthaliq. Kaumnya ini yang membantu dan memberikan fasilitas
> kepada kaum musyrikin dalam perang Uhud. Setelah itu, Nabi Saw. mendengar
> berita bahwa ayahnya sedang mengumpulkan pasukan untuk menyerang Madinah.
> Sehingga Nabi Saw. segera mengumpulkan orang-orang dan segera menghadang
> mereka sampai kedua pasukan bertemu di al-Muaraisi', sumber air milik
> kabilah Khuza'ah. Kaum muslimin berhasil mengepung mereka dan mengalahkan
> mereka hanya setelah berhasil menewaskan 10 orang dari mereka. Semua 
> anggota
> ditawan dan dibawa ke Madinah. Ternyata di antara mereka ini terdapat 
> Barrah
> putri pimpinan dan pemuka mereka. Dia kemudian mengajukan penebusan 
> dirinya
> (walau dengan cara angsuran) kepada orang yang mendapatkannya lalu mereka
> datang kepada Nabi Saw. Dia memperkenalkan diri kepada Beliau bahwa dia
> adalah putri pemuka kaumnya dan meminta kepada Nabi Saw untuk membantu
> penebusannya. Nabi Saw. menjawab, "Bagaimana kalau lebih baik dari itu? 
> Saya
> melunaskan tebusan untukmu dan memerdekakanmu dan kemudian mengawinimu?"
> Barrah menjawab, "Ya, lebih baik." Akhirnya Nabi Saw. melunaskan 
> tebusannya
> dan mengawininya. Kemudian orang-orang berkata, "(mereka) telah menjadi
> kerabat Rasulullah Saw." Sehingga mereka melepaskan semua tawanan dan
> memerdekakan mereka. Dan itu pula yang kemudian membuat para tawanan
> semuanya ini memeluk Islam. Dalam riwayat lain disebutkan, ayahnya datang
> dan meminta kepada Nabi Saw. untuk melepaskannya. Kemudian Nabi Saw. 
> meminta
> kepada ayahnya untuk memberikan kesempatan memilih kepadanya. Ayahnya
> setuju. Dan dia sendiri memutuskan untuk tetap bersama Rasulullah Saw. 
> Maka,
> dia disebut sebagai wanita yang penuh berkah bagi kaumnya.
>
> Begitu juga perkawinan Nabi Saw. dengan Shafiyah binti Huyayy, perempuan
> berdarah Yahudi. Dia berasal dari Bani Nadhir dan ayahnya merupakan
> keturunan Harun as. Saudara Musa as. Dia tertawan di tangan Dahyah setelah
> suaminya tewas dalam peperangan Khaibar. Melihat itu, para Sahabat yang
> cermat mengatakan kepada Nabi Saw, "Dia adalah putri terkemuka Bani
> Quraizhah, tidak pantas kecuali untukmu." Nabi Saw menyambut baik pendapat
> para sahabat ini, apalagi memandang sangat disayangkan perempuan terkemuka
> seperti dia harus menjadi budak di tangan orang yang perempuan itu sendiri
> memandang rendah kepadanya. Akhirnya Nabi Saw. mengambilnya (dengan
> penebusan) dari Dahyah, kemudian memerdekakannya dan mengawininya. Imam
> Ahmad meriwayatkan, bahwa Nabi Saw. memberikan pilihan kepadanya; Beliau
> memerdekakannya dan mengawininya atau diantar pulang kepada keluarganya.
> Lalu dia sendiri memilih untuk dikawini oleh Nabi Saw. Pernah Shafiyah
> mengadu kepada Nabi Saw. setelah mendengar omongan Aisyah dan Hafshah 
> bahwa
> mereka berdua lebih mulai dibanding dia pada Rasulullah Saw. Kemudian Nabi
> Saw. menjawab kepadanya, "Kenapa tidak kamu katakan saja, 'Bagaimana bisa
> kalian berdua lebih mulia dariku, sedangkan suamiku Muhammad, Ayahku Harun
> dan Pamanku Musa." Pernah juga Zainab menyebutnya "perempuan Yahudi" yang
> bermaksud merendahkannya. Sehingga Nabi Saw. menghukumnya dengan "pisah
> ranjang" selama sebulan.
>
> Perkawinan Nabi Saw. dengan Saudah dan Aisyah dicomblangi oleh Khaulah 
> binti
> Hakim. Dorongan dari Khaulah inilah yang membuat Beliau terbuka kembali
> setelah 3 tahun wafat Khadijah. Beliau mengawini Aisyah sebenarnya 
> sekaligus
> sebagai penghargaan kepada Abu Bakar--yang menurut saya juga memang ada
> harapan Abu Bakar agar putrinya mendapatkan suami orang yang terbaik
> sebagaimana tercium dari ungkapan Abu Bakar sendiri. Sedangkan Beliau
> menerima tawaran Khaulah dengan Saudah karena Saudah sudah tidak mempunyai
> keluarga lagi. Setelah suaminya meninggal, tidak ada lagi yang 
> menanggungnya
> dan jika ia kembali kepada keluarganya, dikuatirkan mereka akan 
> menyiksanya
> dan memaksanya kembali ke agama tradisi kaumnya. Sehingga dengan melihat
> kenyataan itulah, Nabi Saw. menerima comblangan Khaulah dan mengawininya.
>
> Perkawinan dengan Hafshah binti Umar ra. justru karena faktor yang sama 
> pada
> perkawinan dengan Aisyah dan faktor yang terjadi pada istri-istri yang 
> lain.
> Setelah suami Hafshah meninggal dunia dalam peperangan Badar, dan selesai
> masa iddahnya, Umar mengajukannya kepada Abu Bakar untuk mengawininya. Abu
> Bakar tidak memberikan jawaban apa-apa. Kemudian Umar mengajukannya kepada
> Ustman untuk mengawininya, setelah istri Ustman meninggal dunia (Ruqayyah
> binti Rasulullah Saw." Ustman menjawab, "Saya tidak ada keinginan kawin
> masa-masa sekarang." Sebenarnya--menurut sebagian riwayat--Ustman sedang
> berharap Rasulullah Saw. mengawinkannya dengan putri Beliau Ummu Kultsum.
> Umar sangat bersedih hati melihat penderitaan Hafshah dan mendengar
> tanggapan kepada dua orang sahabat terkemukan ini. Kemudian Umar curhat
> kepada Nabi Saw. sampai kemudian Nabi Saw, menjawab, "Akan mengawini 
> Hafshah
> orang yang lebih baik dari Ustman, dan Ustman akan menikah dengan orang 
> yang
> lebih baik dari Hafshah." Sampai kemudian Nabi Saw. melamar Hafshah. Tentu
> saja Umar gembira bukan kepalang. Setelah peristiwa itu, baru Abu Bakar
> membuka rahasia kenapa dia berdiam saja ketika diajukan tawaran oleh Umar.
> Kata Abu Bakar, "Kamu jangan bersedih terhadapku, (setelah kematian
> suaminya) Rasulullah Saw. pernah membicarakan tentang Hafshah, dan saya
> tidak mungkin membuka rahasia Rasulullah Saw."
>
> Berbeda sedikit adalah perkawinan dengan Zainab binti Jahsy, karena
> perkawinan ini merupakan perintah langsung dari Allah Swt. dan sebagai
> penetapan suatu hukum syariat, (saya kira tidak saya ungkap panjang lebar 
> di
> sini karena akan sangat panjang). Karena itu, ini merupakan salah satu
> kebanggaan Zainab terhadap para istri Nabi Saw. yang lain. Dia berkata
> kepada para istri Nabi Saw., "Kalian dikawinkan oleh orangtua-orangtua
> (keluarga) kalian, sedangkan saya dikawinkan oleh Allah Swt. dari atas 
> tujuh
> lapis langit."
>
> Inilah sebagian dari cerita sejarah bahwa ketika Nabi Saw. mengawini para
> istri Beliau, keinginan berbuat baik itu bukan berasal dari mimpi-mimpi,
> tetapi dengan melihat faktor-faktornya yang sangat jelas dan obyektif.
> Silahkan tanya sendiri kepada para pelaku poligami atau berniat melakukan
> poligami, apakah sudah melihat faktor-faktor itu dengan obyektif? Bukan
> hanya ungkapan-ungkapan wah dan retorika politis membantu para wanita,
> berjuang bersama-sama istri madu, biar jangan marak prostitusi, dan
> sebagainya. Setiap orang dianjurkan untuk mempunyai keinginan yang baik 
> dan
> berbuat baik , tapi juga harus melihat obyek kebaikan itu sendiri dengan
> jelas, sungguh-sungguh, dan obyektif. Bukan hanya klaim atau alasan yang
> dibuat-buat. Pentingnya melihat kenyataan secara obyektif ini merupakan
> salah satu dari metode-metode para ulama dahulu dalam menyimpulkan suatu
> hukum, sebagaimana ditegaskan kembali oleh Prof. Dr. Syaikh Muhammad Ali
> as-Sayis, mantan Dekan Fak. Syariah al-Azhar dan anggota Lembaga Riset 
> Islam
> (Majma al-Buhuts al-Islamiyah). Dalam bukunya "Sejarah Fiqih Ijtihad dan
> Perkembangannya" beliau mengutip bahwa "para ulama dahulu dalam 
> berijtihad,
> memandang persoalan dengan dua mata; satu mata ke arah teks dan mata yang
> lain memandang realitas."
>
> Seandainya Nabi Saw. memang mentradisikan (sunnah secara bahasa artinya
> tradisi) poligami, kenapa justru perempuan-perempuan janda yang dipilih?
> Kenapa tidak dengan gadis-gadis muda, perawan, dan cantik-cantik saja?
> Bukankah Beliau sendiri--dalam hadis Jabir ketika ada yang meminta 
> pendapat
> kepada beliau dalam perkawinannya dengan wanita janda--menganjurkan 
> menikah
> dengan perempuan perawan, "Halla bikran, tulaa'ibuha wa tula'ibuka" (Aw
> kamaa Qaala Rasulullah Saw.). Kenapa Nabi Saw. tidak menerima saja 
> perempuan
> yang menyerahkan dirinya kepada Beliau? Justru tidak usah repot-repot 
> dalam
> poligami.
>
> Dan ini semua masih dalam lingkup melihat faktor-faktor diluar dari
> memandang kelengkapan aturan dalam rumah tangga itu sendiri seperti
> kewajiban berlaku adil, pendidikan anak, kepemimpinan yang berdasarkan
> musyawarah bukan main perintah, nafkah, tempat tinggal, dan lain-lain. Dan
> ini saja dulu sudah cukup memberikan gambaran bahwa memang berat, dan 
> tidak
> gampang. Oleh karena itu, kita tidak lagi heran jika pada kenyataannya
> akhirnya banyak kasus-kasus poligami lebih banyak mudarat dan 
> kerusakannya.
> Dan kesempurnaan yang diakui oleh Islam dalam rumah tangga adalah satu 
> orang
> laki-laki beristri satu orang perempuan. Dan itu saja, buktikanlah 
> sakinah,
> mawaddah, dan rahmah yang menjadi pondasi rumah tangga apakah sudah 
> tercapai
> atau belum? Dan karena itu pula--Rasyid Ridha mengatakan (dalam al-Manar)
> bahwa--kebanyakan orang-orang yang taat beragama lebih memilih satu orang
> istri saja kecuali faktor darurat yang mau tidak mau mengharuskannya
> beristri lebih dari satu. Dan dia mengatakan, karena itu saya melihat 
> tidak
> ada satu pun teman-teman saya tokoh-tokoh ulama baik di Suriah dan di 
> Mesir
> yang beristri lebih dari satu orang.
>
> Demikian sekedar bagi-bagi dari saya. Oh ya, pada masa sekarang orang
> bertanya-tanya tentang referensi karena memang penting. Referensi tulisan
> saya, hadis-hadis semua rata-rata ada di Sahih Bukhari dan Muslim--dan
> minimal juga ada di Ashab Sunan--dan sebagian kelengkapan ceritanya dari
> Sirah-sirah Nabi, yang di dalam hadis kadang-kadang tidak seluruhnya
> diceritakan secara runtun dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Soal 
> nomor
> hadis, halaman, dan volume berapa, saya udah lupa dan sedang tidak ada 
> waktu
> untuk mencarikannya sekarang. Sebagian yang lain, adalah
> penjelasan-penjelasan yang pernah saya baca dalam buku yang saya sebutkan
> masing-masing dalam tiap kutipan. Ada kesalahan, mohon maaf.
>
> Wassalam
> Aman
>
> ----- Original Message ----- 
> From: "SUTIYOSO WIJANARKO WIJANARKO" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
> Sent: Friday, December 16, 2005 9:41 AM
> Subject: Re: Balasan: Re: [wanita-muslimah] Budaya Poligami
>
>
>> Assalamualaikum.Wr.Wb,
>>
>>  Saya tidak tahu apakah ada kaitannya antara takutnya female muslimah
>> berpoligami dengan perjuangan Islam yang penuh dengan tantangan berat.
>>  Makanya saya ingin tahu, apakah female muslimah bisa diajak untuk
>> berjuang dalam hidup ini dalam berdakwah yang penuh dengan tantangan itu,
>> kalau hanya membagi rasa dengan sesama muslimah dalam kehidupan polygamy
>> saja sangat berat.
>>
>>  Ini pertanyaan lho, bukan vonis....saya masih yakin banyak wanita
>> muslimah yang mau berkorban apa saja ( sesuai dengan syariat ) untuk
>> menegakkan kalimat Allah.
>>
>>  soo..show me the way and who u are....
>>
>>  salam.




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke