Salam
  Ada tulisan cukup bagus. Kalau tidak salah, ini adalah karya penulis produktif, di hidayatullah.com
  
  regards
  
  http://hidayatullah.com/content/view/3107/60/
  Quo Vadis Intelektualitas Kiai dan Pesantren
              Selasa, 09 Mei 2006 - 10:15:56 WIB       
 
Oleh : Nasrulloh Afandi *


Dasawarsa ini, sungguh kompleks realitas fenomena konflik wacana keagamaan Islam di Indonesia. Satu sisi, sangat menggembirakan di saat semakin meningkatnya intelektualitas institusional bahkan individual mayoritas Muslimin bangsa Indonesia.  Di sini lain, sebagaian kalangan menuduh, banyak lahir kekerasan fisik atas nama agama yang ikut melibat tokoh agama.. Kasus terbaru adalah gejolak pro-kontra RUU APP.

Untuk merespon kondisi tersebut, barangkali diperlukan untuk mengakulturasikan generasi kiai dan generasi pemikir (ke-Islaman) sangat paling memungkinkan untuk dilakukan sekarang ini.
Hal ini dilakukan sebagai upaya pencerahan prospek kualitas ilmiah, sekaligus akan bermuara pada maksimalnya amaliah agama “di lapangan ibadah“. Singkatnya, upaya meningkatkan peradaban keilmuan komunitas intelektual Muslimin.

Hal itu, sekaligus akan berfungsi estafet meminimalisir konflik internal (Islam), maupun dengan agama lainnya. Ini bercermin dengan seringnya terjadi terdapat perbedaan opini (keagamaan) kalangan Muslim yang sering berujung pada konflik bahkan kekerasan fisik komunitas Islam di akar rumput.

Jika potensi keilmuan pesantren tradisional (PT) dan vitalitas wacana kampus Perguruan Tinggi Islam (PTI), dipadukan dengan baik dan benar, maka akan mampu tercipta sebuah energi untuk menghasilkan natijah (konklusi) ilmiah faktual dan aktual.  Bahkan dengan bahasa bombastisnya, agak sensasional.

Kenyataannya, di tengah-tengah kencangnya perang pemikiran Islam dunia, termasuk Indonesia. Para santri di pesantren, utamanya pesantren tradisional, masih eksis sangat kaya khazanah ilmu, tapi tidak dinamis untuk mentransformasikannya ke dalam realitas (kehidupan) sosioglobal.

Dalam bahasa Dr. Said Aqil Siraj, mayoritas mahasiswa STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam), selama ini, pintar dan syok aktual bicara agama, namun  miskin khazanah keilmuan. 

Kiai Vis–a-Vis Pemikir

Dalam gejolak aktivitas Islam Indonesia, antara kiai dan pemikir ke-Islaman jelas berada pada posisi jauh berbeda.

Tepatnya, kiai adalah orisinilitas spesifik kultural bangsa Indonesia, sebagai  honoris causa dari masyarakat bagi figur religius yang berpegang teguh pada qaul mu'tabaroh (opini ulama mayoritas) dalam mengumandangkan ajaran agama kepada publik, orientasi utamanya adalah maksimalnya istiqomah (kontinuitas) amaliah ibadah.

Kultural “karakteristiknya“, mayoritas kalau tidak disebut sebagaian, banyak "menelan mentah-mentah" opini ulama mutaqoddimin (ulama terdahulu) dan dianggap sebagai "teks suci" yang tidak bisa dikritik apalagi tidak difungsikan.

Honoris causa kiai, eksis di tengah-tengah aneka ragam suku, kasta dan pergeseran budaya bangsa kita, walaupun telah banyak “pembajak“ honoris causa kiai untuk melengkapi biodatanya, demi sebutir kepentingan individual atau maksimal golongannya saja!

Di sisi lain, status pemikir Islam, selama ini digunakan bagi mereka yang profesi utamanya mencari celah dan titik lemah agama. Bahkan sering dengan sengaja menyalahkan agama sebagai lahan  kritik, untuk dijadikan proyek utama kajian, serta kurang memperhatikan orientasi amaliah diniyah (agama) dalam kehidupan sehar-hari.

Mereka, bisa saja pengetahuan ke-Islamannya apa-adanya, atau bahkan dari komunitas non-Muslim sekalipun, asalkan pola pikirnya berkembang, punya ide cemerlang dan perdebatan (agama) nya sensasional dan atau mampu mengundang reaksi. (Bisa lihat : Majalah Falastin al-Muslimah, tahun ke dua belas, edisi 4, April 1994 M, h.  57-58). 

Dua poros berbeda inilah, sumber utama yang rawan mengundang konflik internal (Islam Indonesia). Dan dua gerbong ilmiah, kiai-pemikir berbeda “kutub“ dan haluan itu, sudah saatnya sangat signifikan untuk segera diakulturasikan!

Beda halnya di negara-negara Islam luar Indonesia. Diantara faktor peredam timbulnya konflik internal agama (wacana ke-Islaman) di negara-negara bagian Arab dan Eropa misalnya, adalah karena sulit dibedakannya status dan posisi antara kiai dan pemikir.

Sebab jelas tidak berlakunya kultural gelar "kiai" di sana. Dan adanya perbedaan (dengan Indonesia) sistem Islam  di lapangan, di antaranya tidak berlakunya Islam sinkretik (Clifford Geertz, 1976) atau Islam akulturatif (Woodward, 1987) dan seterusnya.

Sebagai misal, figur religius bangsa Arab umumnya berlaku gelar "Syaikh". Atau "Profesor" di negara-negara Eropa/Amerika, lazimnya gelar akademik.  Dengan  sektor garapan keilmuan agama yang jauh lebih luas daripada proyek ilmiah, para kiai (di Indonesia), seharusnya perannya jauh lebih besar. Namun kenyataannya, peran kiai, utamanya kiai pesantren yang sering tidak mau tau terhadap geliat  ilmiah dan akademis, boleh jadi sebagai salah satu fakor titik rawan di mana sering dilanda konflik keagamaan itu.

Menakar Kualitas Ilmiah

Tradisi keilmuan, metode analisis, upaya penelitian yang sungguh-sungguh, serta nilai, moralitas dan etik senantiasa yang melandasi dalam sistem pendidikan pesantren, selama ini menjamin tetap terjaganya otentisitas (kesucian) dan originilitas (keaslian) ajaran agama Islam" (Jati Diri Nahdlatul Ulama, Sekjen PBNU, 2002, h. 38).

Sebagai upaya pengembangan  potensi keilmuan generasi dari institusi pesantren. Sangat tepat KH. Hasyim Muzadi menyatakan: “Penyemangat dirinya mengembangkan pesantren mahasiswa (Ma'had  ’Aly), karena saat ini sangat ironis, mereka yang memiliki ilmu agama tidak bisa 'memasarkan' ilmunya sehingga masyarakat tak bisa mengambil manfaatnya. Sebaliknya, mereka yang ’menguasai pasaran’ belum menguasai ilmunya. Yang punya barang tak bisa berdagang, sedangkan yang pintar berjualan sebenarnya tidak punya barang“ (Republika, 21/03/2003).

Cukup lama, "cuaca ilmiah" Islam Indonesia terjebak pada posisi transisi atau dilematisme ilmiah sangat memprihatinkan.

Dengan fenomena, dikala praktisi akademis (non-pesantren) dengan “modal pokok“ pengetahuan agama layak dikata  "apa-adanya", mereka  sudah aktif ber-action dengan "sekuat otak bahkan otot" mengaktualisasikan wawasan keagamaan ke dalam pranata global.

Bahkan mereka, yang boleh di kata kurang memiliki fondasi modal keilmuan (seperti nahwu, shorof, mantiq, balaghoh dan sejenisnya). Tiba-tiba, merasa bisa menggugat madzhab dan atau membantah untuk ber-taqlid.

Fenomena seperti harusnya segera disadari oleh para pengelola pesantren. Adalah sungguh ironi, dalam kondisi demikian itu, justru pemandangan yang ada di berbagai pesantren --utamanya pesantren-pesantren tradisional-- para santri masih “asyik bercanda dan nongkrong di warung-warung kopi pesantren“.

Meskipun ada fenomena baru, akhir-akhir ini hampir di setiap pesantren sering mengadakan berbagai kursus; jurnalistik, menulis artikel ilmiah dan di berbagai pesantren sudah banyak yang memiliki bulletin atau majalah. Namun sedikit santri yang memfungsikan media tersebut untuk menjembatani kreatifitas pemikiran dan atau transformasi keilmuan itu.  Dengan bahasa lain, belum maksimal.

Jelas, memfungsikan media untuk mengekspresi pemikiran, sangatlah efektif, setidaknya "obat awal" dari  "flu pemikiran Islam“ yang menjangkitnya banyak intelektual (yang berani mengaku pemikir Islam) akhir-akhir ini.

Tak hanya itu saja,  gejala eforia  pemikiran Islam di Indonesia, membuat  pamor para kiai hampir terlindas karenanya. Tidak sedikit,  dalam euforia itu mereka mengatakan, "Komunitas kiai pesantren hanyalah fasilitator konservatisme,  dan institusi pesantren hanya berfungsi sebagai ’lemari es’ untuk membekukan noqthoh (nilai) ilmiah belaka."

Renungan

Karenanya, sungguh tidak tepat, maraknya pondok pesantren yang akhir-akhir ini juga menggagas lahirnya perguruan tinggi --utamanya Ma'had ’Aly--,  namun masih banyak menutup diri dan tidak mau mengadopsi  sistem akademik dari luar.

Akibatnya, mereka hanya berkutat seputar pengajaran kitab-kitab turats (klasik), namun kurang dengan literatur modern sebagai pengkayaan atau minimalnya pembanding referensi untuk berdiskusi.

Adalah solusi, bila totalitas institusional pesantren sebagai “habitat Islam Indonesia“ itu segera merehabilitasi dirinya. Sungguh sebuah kerugian sangat besar, kalau dalam konteks ini pesantren harus statis  bahkan hanya "dimusiumkan" yang boleh jadi justru akan menjelma sebagai "monumen atau prasasti agama" belaka.

Karena itu, gagasan akulturasi kutub generasi kiai dan generasi pemikir merupakan sesuatu yang sudah waktunya dan sesuatu yang sangat realistis.


Wa Allohu A'lamu bi ash-Showab.


*) Penulis adalah alumnus pesantren Lirboyo Kediri, aktivis muda NU. Komisi SDM dan Keilmuan Perhimpunan Pelajar Indonesia(PPI)  di Maroko, 2006-2007. Dimuat di Hidayatullah.com



           
---------------------------------
Blab-away for as little as 1¢/min. Make  PC-to-Phone Calls using Yahoo! Messenger with Voice.

[Non-text portions of this message have been removed]






Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




SPONSORED LINKS
Women Islam Muslimah
Women in islam


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke