Mbak Ida yang baik dan temen2 WM semua, semoga sehat selalu. Maaf, saya belum tahu kalau Mbak Ida tanya saya soal hermeneutika di sini (milis WM). hanya sesekali saja saya mampir di WM.
Terima kasih banyak Mbak atas apresiasinya (tulisan di Jurnal Perempuan). Mengenai Hermeneutika (a la Yunani-Barat), ada bahasa lain yang serupa, yaitu "ilmu tafsir" (a la Muslim). tapi, Pak Syamsuddin ini tidak mau mengakui kalau "ilmu tafsir" itu adalah juga pisau "hermeneutika". Keduanya memiliki esensi yang sama, meski beda kata. cara bedah-nya ada beberapa tahap: A. Impersonal Other 1. I talk about It 2. I talk about They 3. I talk with You It, They dan You itu masih "impersonal", tidak menganggap orang lain setara dengan kita. Ini biasa dilakukan pemikir yang melihat/mengkritik konsep lain, dari kandang sendiri. Step ke-3 ini, masih yang paling aman dipakai, demi keselamatan identitas masing2. Jadi tidak perlu memaksakan satu sama lain. tapi masih menganggap orang lain sebagai orang lain. Dengan Step-3 ini kedua partisipan saling mengakui kebenaran masing2, tapi, tidak memilih bahwa partisipan lain juga mengungkapkan kebenaran. B. Personal Other 4. We discuss, atau We talk each other "We" ini memposisikan si peneliti/penerjemah sama dengan obyek studi. Dengan step ke-4 ini, kita saling mengakui dan menghargai "kebenaran" yang diproduksi oleh konsep lain. Step 4 ini mempercayai "universal conscience", bahwa setiap manusia, setiap kosmologi yang berbeda, sebenarnyalah, memiliki KESAMAAN HIKMAH yang tak terbantahkan. Sakit akut yang dimiliki "ras-etnis-umat agama-bangsa-dll" manapun adalah manakala mereka berbicara ttg orang lain dengan memakai step 1-2-3. Yang paling sehat adalah step nomor 4. Mbak Sirikit (dlm tulisan Hypocrisy Poligamy & Potret Keliru Poligami) dan Pak Syamsuddin (dalam tulisan Wahdatul Wujud dan Hermeneutika) ini adalah tipikal pemikir di step 1-2-3. Belum memilih step ke-4. Dengan step 4 ini, kita disyaratkan keluar dari kosmologi konsep kita, dan meneropong yang lain, secara setara. Jika ini tulisan ilmiah-akademik, step 4 ini pilihan terbagus. Jika ini mengenai keyakinan, sebaiknya Step-3, tetapi, tentu saja, tidak mencampurnya dengan perspektif ilmiah. karena akan berbenturan secara disipliner. Begitu mbak. menurut dewi. kita sambung diskusinya kalau Mbak Ida lagi ndak repot. salam hangat dari Muenster, dewi candraningrum --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Kalau saya sih Mas Ary, cuma binun aja sama penulis yg katanya sedang > studi promosi yg ke dua (di Jerman pulak). Dari tulisan2nya kelihatan > sih dia cukup well-informed tentang pemikiran dan perdebatan di bidang > post modernism dan turunannya, cuma saya suka bingung sama > argumentasi2 dan kesimpulan2nya, sepertinya penulis mengalami semacam > split personality? > Saya bayangkan promotornya bingung juga kali yha.... > > Mungkin Mbak Dewi Candraningrum yg ahli posmo :) bisa menerangkan > "missing link"nya penulis ini dimana. > > Mbak Dewi, analisis "Spivakian"nya terhadap RUUAPP (di Jurnal > Perempuan) mencerahkan, saya suka bacanya. > > Salim, > Ida > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Ary Setijadi Prihatmanto" > <asetijadi@> wrote: > > > > fakta dan opini nyampur...jadi mirip propaganda... > > menurut mas prend sendiri gimana? > > > > ----- Original Message ----- > > From: "P|R|E|N|D|69" <prend69@> > > To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com> > > Sent: Friday, April 14, 2006 6:15 AM > > Subject: [wanita-muslimah] Hermeneutika dan Fenomena Taklid Baru > > > > > > (deleted) > > > > Tafsir nyeleneh ala Hermeneutika > > Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan gagasan "pemisahan > teks dari > > pengarangnya" sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih baik. > Bahkan, > > orang seperti Scleiermacher meng­aju­kan gagasan tentang > kemungkinan > > penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika gagasan ini > > diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu mema­hami > Al-Quran lebih > > baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya? > > > > Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan > Nasr Hamid > > Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah "produk budaya" (muntaj > > tsaqafy). > > > > Dengan menganggap Al-Quran semata-mata adalah produk budaya, karya > sastra > > biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya, maka itu > > berarti telah memisahkan al-Quran dari "Pengarangnya", yaitu Allah SWT. > > > > Padahal, sebagai kalam Allah, Al-Quran adalah tanzil. Redaksinya pun > berasal > > dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab > biasa. Dia > > adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling mema­hami > maknanya > > adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para sahabat). > > > > Jika teks Al-Qur`an dice­rabut dari penjelasan Rasu­lullah > SAW dan > > diletakkan dalam konteks paradigma "Marxis", maka maknanya tentu bisa > > berubah secara mendasar. Jika Allah meng­haramkan babi, lalu > dianalisis > > secara sosial-budaya ketika itu, maka akan bisa disimpul­kan secara > > hermeneutis, bahwa babi haram karena dagingnya enak dan tidak ada di > Arab. > > > > Sekedar interupsi, Hamka pernah bercerita, pada tahun 1963 seorang > pelajar > > SMP di Semarang mengirim surat kepadanya. Si pelajar bercerita bahwa > > gurunya, seorang pemeluk setia agama Katolik, menerangkan dalam kelas > > tentang sebab diharamkannya daging babi. Kata guru itu, Nabi > Muhammad sangat > > suka makan daging babi, sebab terlalu enak. Pada suatu hari pelayan > beliau > > mencuri perse­diaan daging babi yang akan beliau makan. > > > > Ketika datang waktu makan, beliau minta persediaan daging yang > sangat enak > > itu. Si pelayan mengaku salah, telah mencuri dan memakan daging babi > itu. > > Mendengar itu, Nabi Muham­mad sangatlah marah karena dagingnya > dicuri. > > Saking marah­nya, mulai hari itu dijatuhkanlah hukuman: "Haram atas > > umatku makan daging babi". Lihat, Hamka, Studi Islam, 1985:245- 246); > > > > Selain itu, hukum potong tangan akan dikatakan sebagai hukum yang hanya > > cocok untuk masyarakat baduy gurun di Arab; alasan muslimah haram kawin > > dengan laki-laki non-muslim karena masya­rakat­nya didominasi > > laki-laki; jilbab hanya wajib untuk daerah Arab karena iklimnya > panas dan > > berdebu; khamr haram hanya di daerah panas; homoseksual haram karena > ketika > > itu belum ada HAM; dan sebagainya. > > > > Berbagai pemahaman nyeleneh seperti di atas, akan terus bermunculan > apabila > > hermeneutika digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur'an. hermeneutika > > ilmu sesat >