Mba Ning, Saya dibesarkan di tengah keluarga yang biasa ngobrol dengan saling memandang, termasuk antar lawan jenis, misalnya anak perempuan dengan ayahnya, anak perempuan dengan saudara laki-laki atau sepupu laki-laki atau om atau pakde, dll.
Jadi di luar rumah juga dalam aktivitas saya sejak sekolah sampai kerja, saya terbiasa memandang lawan jenis. Ternyata ada laki-laki yang menunduk atau memandang ke arah lain, rasanya tidak nyaman lho mba, karena saya tidak berpakaian yang ketat atau buka sana-sini sehingga membuat lawan jenis terangsang. Lama-lama saya mengerti bahwa mereka, laki-laki atau wanita yang menunduk atau mengarahkan matanya ke obyek lain itu ketika berhadapan dengan lawan jenis karena menerapkan An Nur 30-31 dengan tafsiran bahwa menjaga pandangan itu tidak boleh memandang. Tidak apa-apa kalau memang mereka tidak kuat menahan nafsunya kalau memandang, jadi saya sekarang memahami bahwa memang mereka masih lemah dalam kontrol dirinya atau mungkin sejak kecil tidak terbiasa untuk melihat lawan jenis itu sebagai sama-sama manusia yang bisa bekerja sama melakukan sesuatu yang baik dalam fungsi kekhalifahannya di muka bumi dan tidak hanya memandang manusia lainnya terutama lawan jenis sebagai makhluk yang kaitannya selalu dengan syahwat. Nah, kembali ke tafsiran ayat itu, sama-sama muslim/ muslimah tapi bisa beda-beda kan sikap dan perilakunya. Bagi saya sih, menjaga pandangan itu adalah seperti yang mba Chaerunissa jelaskan, kita bisa memandang lawan jenis tapi tetap bisa mengontrol diri, mengendalikan diri sehingga tidak terjadi hal-hal yang buruk. Bukankah itu esensi agama, ketika kita dihadapkan dengan segala godaan dunia yang menjerumuskan kita ke perbuatan buruk, kendalikan, kontrol diri kita. Nabi Yusuf memangnya tidak memandang Zulaika? Memandang dan malah dikejar-kejar, secara fisik dekat sekali, tapi kontrol dirinya yang OK sehingga dia tidak tergoda (walaupun terangsang kata mba Chae) untuk melakukan hubungan seks dengan Zulaika. Contoh kecil lainnya untuk kontrol diri, saat puasa kita punya makanan minum milik sendiri (halal) di rumah sendirian, pulang dari satu tempat yang puanaaas banget, haus dan lapar, tergoda atau terangsang untuk makan minum - minimal minum aja, tapi tidak kita lakukan karena kita taat Allah dalam perintah puasa supaya kita jadi orang yang punya kontrol diri yang bagus dalam hal makan minum. Kita puasa, misalnya punya pasangan yang halal, lalu terangsang - kita tidak melakukan hubungan seks walaupun dengan istri/ suami sendiri karena selama waktu puasa, kita tidak boleh melakukannya. Dan tidak cukup kontrol diri dari makanan, minuman atau pasangan yang halal saja, dengan puasa kita juga harus mengontrol diri untuk makan minum dan melakukan hubungan seks dengan yang tidak halal, termasuk disini mengontrol diri untuk tidak mencuri, tidak korupsi, tidak nipu, dll untuk memenuhi makan minum, hubungan seks atau kekayaan untuk kita nikmati. Begitu hebatnya anjuran puasa untuk bisa mengontrol diri ya mba Ning, kalau memang orang benar-benar melakukannya, tidak ada alasan untuk tidak bisa mengontrol diri ketika melihat wanita yang tidak halal untuk dirinya. Jika memang begitu lemahnya kontrol diri, silahkan menunduk atau memandang ke arah lain, jika sudah kuat pandanglah lawan bicara dengan otak bersih tidak ngeres mikir yang aneh-aneh. Jika masalahnya di tayangan tv, di kantor, dll - itu sih bisa disikapi dengan aturan-aturan kesepakatan bersama. Misalnya di satu kantor ada aturan, rok di bawah lutut dan blouse dengan blazer yang dadanya tidak terbuka. Itu sudah cukup sopan karena tidak semuanya muslimah, dan yang muslimahnya sih rata-rata pakai rok panjang/ celana panjang dengan jilbab. Jadi kesadaran menutup diri itu tidak dipaksakan, hanya ada aturan minimal saja. Saya rasa orang juga tahu diri tanpa harus dikontrol wanita harus berjilbab semua (mengontrol orang lain), wanita datang ke pengajian atau ke mesjid kan tidak mungkin pakai tank top atau pakai rok mini. Wanita mau bekerja di kantor berapa persen yang pakai baju terbuka atau mini? Biasanya yang masih muda, setengah tua atau tua atau yang muda juga tapi bertubuh gemuk, apa mau pakai mini dan terbuka sana-sini? Jadi kontrol diri sendiri atau kontrol orang lain?:) salam Aisha ------- From: Tri Budi Lestyaningsih Justru itu mbak Chae. Mengontrol diri di pandangan kedua dan selanjutnya itu kan maksudnya menghindari dari memandang lagi. Lha kalau ada di depan mata, berarti orang itu harus melengos-lengos terus don... Dan tidak lagi bebas memandang berkeliling. Gimana ? ---------- From: Chae Untuk Mba Ning, Justru itu yang saya maksud kan bahwa perintah menjaga pandangan yang saya pahami sebagai kewajiban untuk bisa mengontrol diri sebagai suatu hal yang harus di utamakan daripada membatasi pihak lain. Contoh kasus Nabi Yusuf, walau di goda sama yang somelehoi,denok geboyyy kalau basicnya ok alias kontro dirinya hebat tidak akan tergoda walau secara naluri Nabi Yusuf juga "terangsang". Jadi yang seharusnya di sosialisasikan adalah kontrol diri bukan kontrol pihak lain untuk kepentingan diri sendiri. Maka dari itu ada hadis yang menyatakan padangan pertama "berkah" pandangan kedua maksiat...artinya ndak apa-apa kalau terpandang yang "edun-edun" merangsang tapi kemudian ada daya upaya dari dalam diri (kontrol diri) untuk bisa mengendalikan.... [Non-text portions of this message have been removed]