Ini yang kutulis di milis sebelah, quote:

The missionary came to Indonesia in 18th century, associated with 
colonialism. Before that Islam came along with the trading mostly 
from Gujrati, India. And before that or parallel with that was 
Buddha and Hindu. Before that 'the orinal Indonesian beliefs' which 
I believe it's egalitarian and matriarchal. Islam was easily 
accepted and replaced Hinduism largely because of the egalitarian 
nature.

The egalitarian and matriarchal cultures are still evidenced in some 
Indonesian ethnic groups and in an indigenous community. In this 
community, 125 km from Jakarta, the people live in total harmony 
with nature, that is the underlying philosophy. Women lead most 
important ritual functions which simbolizes Dewi Sri, a symbol of 
fertility. If the wife of the village head dies, automatically he's 
released from that position, until he is remarried. (married women 
are free to go around not covering their breasts!). Make no mistake, 
they don't exhibit artifacts, temples or stone icons, Dewi Sri is 
simply an abstract feminine symbol. Not even writings, theirs is 
totally oral tradition. They believe in the One God (Sang Hyang) 
which they rarely utter in daily conversation. Evil for them simply 
means 'bad habits or bad deeds'. Nothing supertitious, just simply 
natural. They have many 'taboos' or forbidden things, such as the 
use of plastic, soap, metals, no animals domestications including 
four-legged animals, no cultivation only seasonal harvest - but one 
important taboo is imposing taboo to someone else. So they live 
in 'ascetic life', but if people want to go out of the community 
they could stay in the outer ring (Like the Amish-Mnenonite just for 
a comparison, only more 'severe'). If they want to go out of the 
outer ring to mix with the rest of the world then they are expected 
to hold Islam as the religion (not Hindu, Buddha or Christianity), 
because of the egalitarian characteristic. 

Salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Achmad Chodjim" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mas Dana,
> 
> Budaya Jawa itu bukan berbasis pada agama Hindu atau Buddha. 
Sebaliknya, ketika Hindu dan Buddha masuk Jawa, mereka mencoba 
melakukan penyesuaian sehingga terbentuklah akulturasi dan asimilasi 
budaya.
> 
> Itulah sebabnya Jawa menciptakan gamelan dan tidak terpengaruh 
oleh musik India yang Hindu dan Buddha. Hingga hari ini yang 
menyerap musik India adalah komunitas Melayu.
> 
> Di Hindu Bali (Dharma) ada nyepi yang tidak dijumpai di India. Di 
Jawa ada selamatan 1,2,3,7,40, 100 dan 1000 untuk kematian, tapi tak 
ada di India, Tibet atau negeri-negeri Hindu dan Buddha lainnya. 
Justru pola selamatan itu dipertahankan oleh mereka yang Hindu, 
Buddha, Islam atau Kristen.
> 
> Wassalam,
> chodjim  
> 
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: Dan 
>   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
>   Sent: Thursday, March 08, 2007 4:27 PM
>   Subject: [wanita-muslimah] Re: Maroko )saya kuliah di maroko)- 
aljazair
> 
> 
>   Bung Aly,
> 
>   Memang ada beberapa negara di Teluk yg berhasil membangun
>   kesejahteraan. UAE dan Qatar saya kira contoh yg sangat baik.
> 
>   Dan keduanya adalah spt yg Anda sebut Kerajaan Islam, bukan 
demokrasi
>   modern yg kita kenal. Kalau tidak salah saya pernah bertanya apa
>   betul demokrasi itu cocok utk semua? Yg diperlukan ialah 
ketertiban
>   dan keadilan bagi manusia utk maju. Selama rajanya berniat 
menegakkan
>   keadilan maka rakyat pasti OK. Tapi sering dalam sejarah raja itu
>   suka keenakan dan lupa lagi sama rakyat. Ini yg mau dicegah. 
Makanya
>   demokrasi dibentuk karena bukan demi kebebasan mengangkat 
pemimpin
>   negara melalui pemilu tapi kekuatan hukum utk MEMECATnya yg lebih
>   penting kalau udah enggak benar. Selagi mulai masa jabatan semua
>   pemimpin akan manis2 dan berdedikasi. Honeymoon period. Eh udah
>   kelamaan maka jadi keenakan dan terus semaunya. Ini kelemahan
>   universal manusia.
> 
>   Terasa bagi saya zina dan aurat itu mewarnai obsesi dunia Islam. 
Dan
>   ini dampaknya sangat membatasi kehidupan seni misalnya. Padahal 
seni
>   pasti nyerempet2 aurat dan zina. Tapi seni itu memperkaya 
kehidupan.
>   Kalau semua yg nyerempet2 aurat dan zina dilarang ya maka 
kehidupan
>   akan lebih tandus. Selama perut kenyang tandus ya enggak apa2, 
tapi
>   kalau sudah kenyang masih tandus juga, ya ngapain lagi dong 
hidup ini?
>   Oleh karena itu saya menyayangkan juga terjadinya penandusan 
budaya
>   di pulau Jawa akibat pengaruh budaya padang pasir ini. 
> 
>   Seperti pengalaman saya di padang pasir Maroko, ya demikianlah 
Islam
>   lahir di padang pasir, bukan Sahara tapi Arabia. Budaya padang 
pasir
>   itu khusus karena memang alamnya keras. Akibatnya budaya itu ya
>   menyesuaikan alam yg keras dan tandus itu. Bayangkan aja hiburan 
tiap
>   malam cuma nyanyi2 di api unggun dg rebana. Ya masa kehidupan 
seni
>   cuma demikian? Padahal di Jawa ada gamelan, sendratari, lawakan, 
dsb
>   dsb. Jauh lebih kaya. Dan keindahan ini semua mau ditukar dg 
budaya
>   padang pasir yg tandus? Engga habis pikir saya.
> 
>   Jadi dalam menegakkan agama kita juga harus lihat unsur 
budayanya spt
>   yg dilakukan oleh NU. Budaya itu penting utk kehidupan. Di 
Indonesia
>   terutama budaya Jawa yg basisnya Hindu itu tidak menerima budaya 
Arab
>   begitu saja sehingga perlu ratusan tahun utk masuk. Mungkin 
sekarang
>   adalah akhir2nya dari budaya Jawa ini. Sayang sekali memang.
> 
> 
>   > It's here! Your new message! 
>   > Get new email alerts with the free Yahoo! Toolbar.
>   > http://tools.search.yahoo.com/toolbar/features/mail/
>   >
> 
> 
> 
>    
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke