Yth. Mba' Ning,

Sepengetahuan saya soal berbagai Qanun (saya bukan ahlinya sih), 
Qanun itu prosesnya ya seperti proses pembuatan UU lainnya di 
Indonesia, dimana unsur DPRD sangat berperan serta difasilitasi oleh 
Pemerintah Daerah. Sama juga dengan "pristiwa" pembuatan UU yang 
terjadi diberbagai daerah di Indonesia, termasuk di tingkat Pusat 
(Jakarta), maka unsur "kepentingan Politis" dan "Kepentingan Uang" 
juga sama kencangnya. Sementara unsur kepentingan masyarakat 
biasanya sangat sedikit terwakili.
Jadi kalau ada anggaran/dana  dari pemerintah maka bisa lah disusun 
sebuah UU/Qanun tersebut. Jadi banyaknya Qanun yang di buat di Aceh 
ini untuk 'menenangkan' suhu politik, dimana dari dulu kan sangat 
kencang Aceh ingin diperlakukan berbeda, termasuk ingin merdeka.

Seperti dulu sudah saya sampaikan beberapa kali, dalam Qanun di 
Aceh, soal pakaian hanya ditulis: Setiap orang wajib berbusana 
muslim. Implementasinya ya kalau perempuan tidak berjilbab akan 
dikategorikan melanggar, dan dihukum layaknya pelaku kriminal (satu 
kali diperingatkan, dua kali diperingatkan, tiga kali tertangkap 
akan dihukum cambuk). 

Soal sholat dengan mukena/kerudung, terus terang memang buat saya 
sebagai kesepakatan sosial saja, sama dengan kenapa mukena rata-rata 
warnanya putih (kalau di Indonesia).  Saya juga tidak akan 
menghakimi perempuan lain yang duduk di samping saya, dipesawat 
(tanpa mukena/jilbab) yang melakukan sholat dalam perjalanan 
tersebut:), tetapi kalau kebetulan si mba' tersebut mampir di 
mushola dekat tempat kerja saya, dan beliau mau sholat, ya saya akan 
menawarkan meminjamkan mukena saya (kalau beliau berkenan dan saya 
tidak akan mengintimidasi, menghukum atau mencambuk orang yang 
berbeda dengan saya dalam menjalankan ibadahnya). Hanya Allah lah 
yang pantas menilai amal ibadah manusia lainnya.


Wassalam


Lestari


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Tri Budi Lestyaningsih 
\(Ning\)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> Mbak Lestari,
> Mau tanya nih. Kalau yang memasukkan jilbab ke dalam qanun itu 
siapa,
> mbak ? Apa sebelumnya sudah ada musyawarah dengan wakil 
masyarakat ?
> Saya curious aja sih, gimana peraturan ini tadinya dibuat.
> 
> Juga, kalau pemahaman mbak tidak pakai kerudung itu juga 
terkategori
> menutup aurat, apa berarti kalau sholat juga boleh tidak pakai 
kerudung
> (tidak perlu tertutup dengan menyisakan telapak tangan dan muka).
> Soalnya, syarat sah shalat kan salah satunya menutup aurat. Kalau 
tanpa
> kerudung sudah dianggap menutup aurat, berarti sholat ngga perlu 
pake
> kerudung dong. Apa betul begitu yang mbak pahami? 
> 
> Wassalaam,
> -Ning
>  
> 
> -----Original Message-----
> From: wanita-muslimah@yahoogroups.com
> [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of lestarin
> Sent: Wednesday, April 25, 2007 9:49 AM
> To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Subject: [wanita-muslimah] Re: Kartini Tinggal Sejarah
> 
> Yth. Pak Satriyo,
> 
> Wah panjang kalau mau diskusi soal menutup aurat lagi:), sudah 
sangat
> tebal bahannya kalu dikumpulkan di milis ini:D. Menurut saya, semua
> perempuan Aceh menutup aurat (termasuk yang tidak pakai
> kerudung/jilbab):). Saya belum pernah lihat perempuan Aceh 
berbugil ria,
> atau sekedar ber bikini:)
> 
> Sekali lagi, kalau mempelajari sejarah yang ada, termasuk di foto- 
foto
> peninggalan jaman Belanda di tanah rencong ini, maka terbukti para
> perempuan Aceh tidak berjilbab, mereka memang biasa membawa kain 
lebar
> (semacam ulos) yang memiliki multi fungsi, yakni diselempangkan ke
> pundak kalo dalam suhu udara dingin (diselempangkan), namun bisa 
juga
> untuk dikerudungkan kalau menahan panas dan hujan (dikerudungkan
> seadanya, bukan dijilbab rapat seperti fenomena saat ini), atau 
juga
> dipakai untuk kain sarung (diikat ke bagian pinggang). Jadi 
pemahaman
> berpakaiannya bukan "Ber- Jilbab" rapat itu Pak Satriyo. Ada salah
> seorang peneliti budaya dari Amerika yang bahkan dulu sempat
> mendokumentasikan secara detil cara berbusana orang-orang aceh di 
tahun
> 60-70-an, dan digambarkan betapa memang pakaian kaum perempuan 
Aceh itu
> hampir sama dengan busana di bagian Sumatra Utara (tidak berjilbab
> tentunya, dan kain lebar itu lebih banyak dipakai sebagai
> asesoris/pelengkap bila diperlukan). Kondisi ini juga masih bisa 
ditemui
> di bumi Aceh di desa-desa, bagian pedalaman. Alhamdulilah saya
> berkesempatan melakukan pengamatan karena sudah satu tahun lebih 
berada
> di sini. 
> 
> Jadi fenomena penggunaan Jilbab di Aceh sendiri tetaplah karena 
Qanun
> yang dipaksakan tadi Pak. Maka tak heran banyak juga perempuan-
> perempuan Aceh yang berjilbab di bumi Aceh namun begitu pergi ke 
Medan,
> Jakarta, atau kota lainnya, mereka melepas Jilbab.
> 
> Sekali lagi terasa bahwa pemaksaan jilbab di Aceh ini memang tidak
> mencerminkan sikap rahmatan lil alamin. Semoga Qanun-qanun semacam 
ini
> tidak ditiru-tiru pemda lainnya di Indonesia.
> 
> 
> Wassalam
> 
> Lestari
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "satriyo" <efikoe@> wrote:
> >
> > Lestarin,
> > 
> > Numpang nimbrung, ni.
> > 
> > Saya menangkap mba Ning itu berharap dan juga berandai-andai, 
dan yang
> 
> > menjadi landasannya untuk itu adalah asumsi bahwa dengan 
mengkhatamkan
> 
> > Quran (dengan gaya Kartini, mencoba memahami
> kandungan 
> > Quran, karena setahu saya ketika itu memang mengkajinya di bawah 
> > bimbingan Kyai Haji Sholeh Darat, sehingga di salah satu 
suratnya 
> > konon ia mencuplik surat Al-Baqarah ayat 257,
> yaitu 'minadhdhulumaat 
> > ilannuur' ... "Dari Kegelapan kepada Cahaya" dan tidak seperti 
> > terjemahan yang terlanjur beredar yaitu HAbis Gelap Terbitlah
> Terang, 
> > dan juga mengusulkan kepada sang kyai agar membuat terjemah 
Quran 
> > dalam bahasa Jawa) maka Kartini akan bisa lebih menjalankan
> Syariat 
> > Islam, yang di antaranya selain yang merupaka ibadah mahdhah,
> yaitu 
> > rukun Islam, juga menutup auratnya.
> > 
> > Yang saya tahu, ketika ditangkap oleh kompeni jahanam kafir, asy-
 
> > syahidah Cut Nja Dhien selalu mengenakan penutup kepala walau 
> > mengingat kondisinya beliau tidak selalu bisa mengenakannya 
dengan 
> > penuh menutup kepala. Atau Lestarin mengacu ke 'lukisan' bukan
> foto?
> > 
> > Jadi 'pasti' mereka semua para muslimah Aceh itu khatam Quran 
(mungkin
> 
> > sec bacaan saja atau juga secara kajian, allaahu a'lam)
> dan 
> > sekiranya mereka terbukti seperti apa yang Lestarin nyatakan,
> tentu 
> > ada alasan untuk itu, dan bukan karena mereka 'memilih' untuk
> tidak 
> > menutup auratnya.
> > 
> > Saya setuju bahwa Islam itu tidak dilakukan dan disebarkan 
dengan 
> > paksaan, tapi bukan berarti dalam menegakkan hukum dan keadilan
> Islam 
> > tidak mengenal 'paksaan' karena itulah fungsi umara, spt khalifah
> dan 
> > juga hakim dalam tradisi islam. Misal dalam menghukum orang yang 
jelas
> 
> > terbukti bersalah, tentu harus ada 'paksaan' itu, tapi saya 
seperti 
> > anda tidak sepakat ketika semua hal yang diperintahkan
> Allah 
> > itu jatuh harus dilakukan karena 'paksaan'...jadi bukan rahmatan
> lil 
> > alamin kalo demikian.
> > 
> > salam,
> > satriyo
> > 
> 
> 
> 
> =======================
> Milis Wanita Muslimah
> Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun 
masyarakat.
> Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI :
> http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
> Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]
> 
> This mailing list has a special spell casted to reject any 
attachment
> .... 
> Yahoo! Groups Links
>


Kirim email ke