*AGAMA KOK DEPARTEMEN*

*Oleh: Emha Ainun Nadjib***


Kalau kita memegang tongkat kekuasaan, di level manapun, biasanya ada empat
hal yang mengejar-ngejar hati kita, mengendalikan perasaan, mempengaruhi
perilaku, dan akal pikiran diperbudak oleh desakan emosi itu untuk
berkonsentrasi pada empat hal itu.


Pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana bisa
memperpan-jang kekuasaan. Dua hal ini melahirkan yang ketiga: bagaimana
menghimpun modal sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya  - agar kekuasaan
bisa dipertahankan - siapa tahu tiba-tiba muncul angin badai yang
mengguncangkan kita dari kursi. Juga muncul yang keempat: di samping
menumpuk modal, juga harus peka untuk pada setiap momentum kita bisa cari
muka kepada rakyat dan semua pihak dalam kehidupan bernegara.


Hal-hal mengenai kehidupan rakyat itu soal gampang dan bisa disepelekan.
Sudah terbukti selama sekian periode kekuasaan dan tampaknya kita yakin
belum ada perkembangan yang  mendasar pada rakyat - sehingga sampai beberapa
tahun lagi insyaallah rakyat masih bisa kita kibul-kibulin. Tidak ada
infrastruktur apapun pada sosiologi politik kerakyatan kita yang mampu
menghalangi proses mempertahankan kebodohan rakyat. Kalau ada satu dua
kelompok aktivis berpikir dan berteriak tentang revolusi, anggap itu refrein
dari sebuah lagu yang toh akhirnya nyanyian harus kembali kepada bagian lagu
yang semula.


Rakyat tidak punya modal apapun untuk melakukan revolusi, kecuali direkayasa
untuk menciptakan adegan yang seolah-olah revolusi kemudian dilegitimasi
oleh bagaimana media memotretnya. Prestasi puncak kita sebagai rakyat adalah
amuck dan kerusuhan. Cobalah Anda melingkar dalam satu kumpulan yang plural,
terdiri dari suku apapun, agama dan kelompok apapun, juga tingkat pendidikan
dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi - masing-masing orang Anda
kasih benda-benda yang bisa menghasilkan bunyi kalau dipukul, entah ember,
kentongan, kayu atau apapun saja. Selalu, sekali lagi selalu, kalau Anda
meminta mereka untuk membunyikan benda-bendas itu: hasilnya adalah kothekan,
ritme-ritme pukulan seperti kuda lumping atau jaran kepang  yang dikuasai
oleh suasana in-trance. Mabuk. Ndadi alias mengamuk.

Kalau seni tradisi Aceh, suasana ndadi-nya sangat solid, tapi rata-rata
musik dan tari mereka berakhir dengan black-out. Progresivisme masyarakat
Aceh hanya bisa berhenti dalam keadaan mendadak atau semacam dipaksa
berhenti. Kesenian Jawa yang 'bebudaya' tidak memiliki situasi ndadi yang
progresif, terlalu tertata dan tidak revolusioner. Jawa yang progresif hanya
yang 'primitif', kuda lumping: seakan-akan itu hentakan-hentakan
revolusioner, padahal sesungguhnya mengamuk.


Kebaikanpun seringkali diaplikasikan secara ndadi. Menteri Agama kita yang
harus menyesuaikan diri dengan 'habitat Jawa', ndadi begitu melihat peluang
yang baik dan penuh kemuliaan untuk menolong rakyat. Hanya orang ndadi yang
tertutup ingatannya tentang tata hukum, pilah-pilah birokrasi dan prosedur.
Tradisi ndadi dalam berbuat baik sudah jamak dalam masyarakat kita. Naik
haji dianggap pasti baik meskipun memakai uang tidak halal. Semakin banyak
naik haji disimpulkan semakin soleh pelakunya meskipun tetangga-tetangganya
mlongo dan belum tentu bisa makan. Sehingga diperlukan eksplorasi dan
ijtihad fiqih Islam yang mempertimbangkan inter-relasi antara ibadah dengan
kondisi-kondisi sosial - sehingga akal sehat akan menemukan posisi hokum
naik haji bisa wajib, sunnah, halal, makruh dan haram. Kecuali Islam
mengizinkan individualisme dan tidak menniscayakan substansi kejamaahan
global.

Alhasil seandainya hukum negara mengharuskan Menag diadili, yang diperlukan
adalah saksi ahli bidang psikologi sosial yang mampu menjelaskan tentang
fenomena ndadi, yang berarti suatu jenis ketidaksadaran tertentu. Ada
kemungkinan beliau lolos dari hukuman. Bahkan siapa tahu hampir semua
pemimpin-pemimpin kita ini sebenarnya ndadi semua, sehingga pada hakekatnya
mereka tidak salah. Ini alasan yang jitu untuk saling memaklumi. Apalagi Pak
Hakimnya dll ternyata juga ndadi.


Kaum sufi mengingatkan: niat baikpun harus dikontrol. Saya berniat baik
menggembirakan teman yang lama tak ketemu dengan mentraktirnya makan sate.
Langsung saya pesankan 40 tusuk. Plus gulai kambing dan sup. Sesudah itu
saya ajak ke restoran pizza dan untuk hidangan penutup saya ajak minum es
teler, sehingga dia teler betul. Beberapa bulan terakhir ini saya rajin
merampok agar pembangunan Masjid kami segera selesai. Demi siapapun kebaikan
hanya terwujud kalau dikawinkan dengan kebenaran. Syukur-syukur dihiasi
dengan keindahan.


Pak Taufiq Abdullah bilang "Pak Menag berpikir lokal, dia hanya paham Agama,
tidak paham hukum".  Beliau ini agak ndadi juga. Agama cap apa yang
mengizinkan ummatnya menggali tanah yang bukan haknya dan mengambil harta
yang entah punya siapa. Pak Taufiq keliru menuduh Menag hanya paham Agama
padahal sedang lupa, dan tuduhan itu juga berasal dari ketidakpahaman
terhadap Agama.


Tetapi negara kita sendiri memang sudah ndadi sejak dari sono-nya, makanya
yang perlu diamandemen bukan hanya UUD-45 tapi struktur otak dan metodologi
pemahaman kita sendiri. Lha bagaimana wong Agama kok departemen. Kalau
memang Agama mau dilegalisasikan dan diformalkan, letaknya merangkum, bukan
menjadi bagian. Jadi mending Agama disemayamkan di akal dan hati sajalah.
Atau Anda semua monggo-monggo saja kalau mau meninggalkan Agama. Tuhannya
kan Allah, bukan Anda atau saya, jadi biar Beliau yang mengurusi akibat dari
pilihan kita.


Atau diresmikan saja Indonesia adalah Negara Sekuler: Agama diakui, tapi
posisinya harus sekunder. Atau jantan sajalah: Negara Ateis,
sekurang-kurangnya Negara Tak Ada Urusan Sama Tuhan. Dari pada berlagak
beragama tapi maling-maling juga. Kalau memang beragama, pegang. Kalau tak
pegang, buang Agama. Kalau bilang I love you, nikahi. Kalau tidak nikah,
jangan bilang cinta dan memeluknya. Rusaknya negara kita ini karena hobi
kita pacaran dan ganti-ganti pacar, tidak pernah nikah benar-benar dengan
nilai, dengan komitmen, dengan parpol, ormas. Kita hanya setia kepada
kemauan kita sendiri, terserah kita juga mau berubah-ubah atau tidak.


Adapun Depag tak usah dibubarkan, cukup direndah-hatikan menjadi Departemen
Sarana Peribadatan, misalnya. Yang mencemaskan kalau kasus harta karun ini
bukan ndadi, melainkan politik yang sadar. Kita tak akan pernah tahu
sebenarnya Bu Mega yang menyuruh atau tidak. Pernyataan sih tidak. Tapi
politik itu kan bau kentut: kita hanya mendengar bunyinya dan menghirup
baunya, tidak tahu kenapa kok kentut, kenapa yang kentut si A kok bukan B,
makan apa kok baunya begitu, kenapa kentutnya kemarin kok tidak besok.


Sejak lama rakyat bingung mendengar Dana Revolusi, Dana Nusantara,
sertifikat di Bank Swiss, uang Brazil, lempengan emas dan platinum, di
Nusabarong, Bengkulu, Ungaran, Jember, Labuhan, Cipanas, Bekasi, Mbah
Kartosuwiryo masih hidup di pantai Cilacap...*****


On 12/3/07, rsa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Wah kalo memang nonton ya jangan merem gitu jadi ga jelas ... itu
> bukan motto saya ko ... swear deh ... lihat lagi aja ... ok?
> tuh kan ... dah merem lagiiii ... hehehe
>
> duh yang ginian dibahas euy! btw, yang saya maksud 'cing-cay' Oom ...!
>
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>,
> "h_aryadita" <[EMAIL PROTECTED]>
> wrote:
> >
> > Lha situ kan bisa nilai,nyambung apa kagak judulnya..
> >
> > Yang aneh,menurutku,artikel ngebahas Abu Zayd, lha kok judulnya Gus
> > Dur, apa bener itu hahaha....
> >
> > Cing-dai itu apaan ya?
> >
> > Bukan masalah OOT atau kagak nih, tapi masalah nyambung apa kagak
> tuh
> > judul ama artikel, kan situ yang punya motto bagus tentang
> > keadilan,lha kok malah perilakunya kaya gitu hahaha
> >
> > Jadi penonton lagi ah...
> >
> > bye
> >
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com>,
> "rsa" <efikoe@> wrote:
> > >
> > > Sekarang ini nyambung ga judul posting sama judul artikel? Kalo
> ga
> > > sama cing-dai saja lah ... sama-sama member ini ... :-))
> > >
> > > --- In [EMAIL PROTECTED], sFe <salma.fei@> wrote:
> > >
> > > Departemen Agama RI, Islam Liberal, dan Pelecehan Qur'an Jumat,
> 23
> > > Nov 07 19:33 WIB
> > >
> > > Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Mesir yang divonis murtad di
> > > negerinya, telah ditolak kehadirannya oleh umat Islam Riau.
> Penolakan
> > > itu dilakukan MUI Riau bersama sejumlah Ormas Islam lainnya.
> Semula,
> > > pihak Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Agama memang
> > > menjadwalkan akan menghadirkan murtadin Abu Zayd dalam acara
> Annual
> > > Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII, yang
> secara
> > > resmi telah dibuka Menteri Agama, H. Maftuh Basuni, pada Rabu
> malam
> > > (21/11) di hotel Syahid Pekan Baru.
> > >
> >
>
>  
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke