assalaamu alaikum,

berikut ini adalah tulisan alm. Buya Hamka, sosok ulama sederhana tapi
tangguh dalam memegang aqidah, berkaitan dengan TOLERANSI, dari buku
kumpulan tulisan beliau.
sayang sekali di saat peringatan 100 th-nya, manipulasi atas ketokohan
beliau merebak bak cendawan di musim hujan dengan memaksakan khayalan bahwa
alm Buya HAMKA harus merupakan ulama nasional yang PLURALIS. semoga keluarga
beliau tidak tinggal diam, dan kita yang tahu fakta yang ada juga bisa
menjelaskan duduk perkaranya ...
semoga bermanfaat. maaf jika tidak berkenan.

salam,
satriyo


-- 
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang
-- al-Ra'd [13]: 28

---------- Forwarded message ----------
From: sudiyono
Date: 2008/4/14
Subject: RE: [...] Betulkah HAMKA pluralis??????
To: [EMAIL PROTECTED]


  Bismillah ar-Rahman ar-Rahim.
Berikut saya kutipkan tulisan Buya Hamka soal TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU
SINKRETISME.
Dalam kutipan ini, yang dimaksud catatan di akhir kutipan ialah catatan
editor Buku Hati ke Hati (yg mrp kumpulan tulisan Hamka di Majalah
Panjimas).
Semoga bisa bermanfaat, dan juga semoga gak ada salah ketik aah... :-S

Waallhualam.

________________________________

TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU SINKRETISME
Dari Hati ke Hati - HAMKA

Tahun 1968 yang baru kita lalui adalah tahun yang luar biasa. Di tahun 1968
kita berhari raya Idul Fitri samapai dua kali, yaitu 1 Januari 1968 dan 21
Desember 1968.

Maka timbullah inspirasi pada beberapa orang Kepala Jawatan dan juga pada
beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya
peringatan halal bi halal Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu.
Diadakan pertemuan serentak disatu tempat, biasanya biasanya
dijawatan-jawatan, dan departemen-departemen; "Lebaran-Natal". Maka
tersebutlah perkataan bahwasannya bapak Kepala Jawatan atau bapak Menteri
atau bapak Jenderal memulai sambutan beliau, bahwa demi kesaktian Pancasila
yang wajib kita amalkan dan amankan, dalam "Lebaran-Natal" ini kita
menananmkan dalam hati kita, sedalam-dalamnya, apa arti toleransi. Dan
diaturlah acara mula-mula membaca Al Quran, oleh seorang pegawai yang pandai
'mengaji', kemudian itu diiringi oleh seorang pendeta atau pastor yang
sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan
dengan kelahiran 'Tuhan' Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah
Yang Tunggal, tetapi Dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma menjadi ke
dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan "Lebaran-Natal" itu
adalah orang-orang Islam dari pada orang-orang yang beragama Kristen. Si
orang Islam diharuskan mendengarkan dengan khusyu' bahwa Tuhan Alah beranak,
dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar
tentang Nabi MUhammad Saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh
pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan
Alqur'an bukanlah kitab suci, melainkan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan
Alqur'an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu
ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan
hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian
datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama
toleransi, demi kesaktian Pancasila!.

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do'a. Seluruh
hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita
tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula
yang pendeta menyebut do'a-do'a hari Natal, dan semua orang Islam berdiam
diri saja, dan kitapun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah
pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan
oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati sanubari, dan otak tidak bisa
menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi
akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan
bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita
tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi adam, ditebus
oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam
dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang
Islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang yang beragama itu meyakini agamanya,
bertambah muntah telinganya mendengar kepercayaan-kepercayaan yang
bertentangan dengan akidah agamanya. Barulah mereka menerima semuanya itu
dengan toleransi kalau agama itu tidak ada yang dipegangya lagi.

Lantaran itu maka kalau dengan menggabungkan Lebaran dengan Natal, Muhammad
Saw menjemput syari'at sembahyang, lalu turun lagi ke bumi menyampaikan
perintah itu, jika misalnya pula berdekatan tanggalnya dengan Mi'raj Nabi
Isa, yang menurut kepercayaan Kristen, bangkit dari kuburnya setelah tiga
hari, lalu naik ke langit dan kini duduk di sisi kanan Alah, Bapaknya yang
disurga; kalau hal-hal seperti ini diadakan untuk toleransi, demi kesaktian
Pancasila, atau demi mengamalkan dan mengamankan Pancasila, dengan
sungguh-sungguh kita katakan bahwa, ini bukan toleransi, melainkan memaksa
kedua belah pihak jadi orang munafik, mengangguk-angguk menerima hal yang
tak masuk diakal; dengan sengaja dan diatur, supaya membuktikan toleransi.

Baru-baru ini Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, sudah menjelaskan
bahwasanya do'a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan
dalam ajaran Islam. Do'a demikian pun tidak akan dapat diterima, karena do'a
adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan
Allah Yang Satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya, sedangkan Pastor dan
Pendeta akan berdo'a meminta kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh
Kudus.

Semangat toleransi yang sejati, yang logis, yang masuk akal ialah, ketika
orang Islam berdo'a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika
Pastor berdo'a kepada Tiga Tuhan orang Islam keluar.

Zaman akhir-akhir ini sudah ada gejala toleransi paksaan itu, dalam hal-hal
resmi atau tidak resmi. Untuk tenggang menggang, seorang Kyai disuruh baca
do'a dan untuk menunjukkan Pemerintah berlapang dada, ditambah lagi dengan
do'a Katholik. Sesudah itu dengan doa' Protestan, sesudah itu dengan do'a
Hindu-Bali. dan dengan do'a secara Budha.

Orang tidak memperhitungkan bagaimana perasaan dari pemeluk agama itu
sendiri, atau orang yang tekun utuh dalam agama yang dipeluknya. Terutama
orang Islam yang 85% bangsa Indonesia ini terdiri dari mereka.

Yang menganjurkan do'a bersama, atau perayaan 'Lebaran-Natal', atau
barangkali nanti Natal-Maulid, bukanlah orang yang mempunyai kesadaran
agama, melainkan orang-orang sekuler, yang baginya masa bodoh, apakah Tuhan
satu atau beranak, sebab bagi mereka agama hanya iseng! Atau orang-orang
sinkritisme, yang mencari segala persesuaian diantara yang berbeda, lalu
dari segala yang sesuai itu mereka membuat sesuatu yang baru.

Gejala seperti ini yang kita lihat sekarang. Dengan setengah paksaan
dianjurkan do'a bersama, beribadat bersama, kebaktian bersama diantara
orang-orang yang berlainan kepercayaan, dan dikatakan itu semangat
Pancasila! Sehingga disadari atau tidak, Pancasila boven alles diatas dari
semua agama, dan orang-orang yang sama sekali tidak mengamalkan satu agama,
merasa dirinya pemimpin tertinggi, melebihi ulama dan pendeta, kyai dan
pastor. Dan barangsiapa yang tidak menyetujui, dituduh anti Pancasila dan
tidak toleransi, dan tidak menunjukkan 'kepribadian' Indonesia.

Selama pena ini masih bisa menulis dan mulut ini masih bisa berkata, kita
katakan terus terang : "Bukan begitu yang toleransi"!

Bahkan itu adalah merusak agama, memaksa orang menelan sesuatu yang
berlawanan dengan inti kepercayaannya. Dan pemuka-pemuka agama yang sadar
akan tetap menolaknya. Kita bukanlah menolak Pancasila. Sejak Pancasila
diasaskan pada 25 tahun yang lalu, kita sudah menyatakan tidak keberatan.

Tetapi kita tegaskan bahwasannya keselamatan dan keamanan Pancasila itu
hanya akan terjamin, apabila umat yang beragama, khususnya umat Islam taat
setia melaksanakan agamanya, bukan disuruh pindah dari agamanya menuju suatu
kekaburan yang namanya Pancasila. Dan bukan disuruh membuat suatu macam
upacara, kebaktian, do'a dan sebagainya bersama-sama dengan pemeluk agama
lain yang berlainan akidah dan kepercayaan.

Orang agma lain pun tidak akan dapat menerima suatu upacara baru yang tidak
ada dalam agama itu. Dan ini hanya akan akan bisa dilakukan oleh
pemeluk-pemeluk agama yang tidak punya pendirian, yang lupa tanggung
jawabnya di hadapan Tuhan, karena hendak mengambil muka kepada atasan.

Sehingga pernah terjadi, seorang pembicara di dalam pertemuan besar
mengatakan bahwa "Nabi Isa disalib" padahal dia pemuka Islam. Dan pernah
terjadi seorang Kyai membaca do'a dihadapan umum, dan do'a itu diambilnya
dari "khutbah gunung", pidato Yesus Kristus dalam Injil yang beredar
sekarang. Demi toleransi, Kyai tidak membaca lagi do'a yang warid dari
ajaran Rasulullah Saw.

Tentu orang-orang seperti itu dapat pujian atasan, dan disambut dengan tepuk
tangan oleh orang-orang Kristen, tetapi dia tidak sadar bahwa dengan apa
yang dinamainya "toleransi" itu dia telah mengorbankan akidah agamanya. ***

Catatan :
Sikap almarhum Buya Hamka mengenai Natal dan Idul Fitri bersama ini
berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama, yang Buya Hamka sendiri sebagai
ketuanya; "Natal dan Idul Fitri bersama hukumnya haram". Pemerintah melalui
Menteri Agama, Alamsyah Ratuprawiranegara meminta supaya fatwa itu dicabut.
Buya Hamka kemudian memilih sikap meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI
(Majelis Ulama Indonesia).

sumber :
Dari Hati ke Hati, tentang : Agama, Sosial-Budaya, Politik Oleh
Prof.DR.Hamka. Cetakan I, Penerbit Pustakan Panjimas, Jakarta 2002.

[Non-text portions of this message have been removed]
.




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke