Dalam 'keluarga' aliran salafisme (pasti gak mau disebut aliran deh) ada satu yg diharamkan: taqlid. Cuman buat yg blum cukup ilmu diharuskan: ittiba'. Ittiba' dg taqlid sama gak? cuman beda tipis. Istilahnya, ittiba' lebih kerenan dikit. Taqlid (untuk kasus di Indonesia) lebih dinisbatkan pada kaum tradisional dan yang dijuluki sebagai ahli bid'ah. Ittiba' buat kaum yg sedikit lebih terdidik, minimal tahu "oooo ada nash-nya" .. dan mengklaim dirinya sebagai ahli sunnah.
Di atas kaum yang -dituduh- taqlid dan yang meng-klaim ittiba' ada ustadz, gus, kyai dan tentu saja ulama. Dengan begitu, terbentuk hirarki yang disadari atau tidak menyerupai sistem kependetaan .. padahal .. apakah kependetaan itu diakui dalam Islam? Monggo dipikir ... Salam --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, sriwening herpribadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mbak Ning... > Lantas siapa mbak yang boleh berbeda pendapat dalam urusan "ushul" khususnya...apakah orang nggak berilmu atau ilmunya cekak boleh berbeda pendapat? > > "Tri Budi Lestyaningsih (Ning)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Dalam Islam memang juga dikenal dan dibolehkan perbedaan interpretasi. > Tapi ini khusus untuk masalah cabang (furu'iyah). Jadi analogi mengenai > kertas yang diinterpretasikan macam-macam oleh mas Tot_sa di bawah pas > untuk area yang ini. Misalnya mengenai membaca qunut atau tidak di dalam > sholat. > > Namun demikian, untuk area pokok (ushul), tidak boleh ada perbedaan > dalam Islam. Karena untuk hal ini penunjukkannya sudah pasti, source-nya > pasti dan dalilnya pasti. Salah satunya adalah mengenai Rasulullah > sebagai penutup para nabi dan Rasul. Jadi untuk yang semacam ini, > analogi kertas dari mas Tot_Sa tidak cocok. > > Wallahua'lam bishowab. > Wassalaam, > -Ning >