Membangun trust itu pekerjaan bersama mba, karena yang kita bangun adalah rumah atau bangunan bersama. Masing2 yakinkan saja bahwa yang kita perbuat mempunyai dampak/efek yang baik untuk membangun kepercayaan.
Karena mba Herni menanyakan ttg sisterhood di antara perempuan, saya kasih contoh langsung saja. Dengan asumsi bahwa Sri Mulyani dan Ratna Sarumpaet itu kandidat yang kapabel, ini misalnya loh - secara nggak sadar kita, bukan mba Herni saja - membandingkan satu kandidat perempuan dengan kandidat perempuan lain, karena mereka perempuan. Ini bisa berdampak kita menyempitkan pilihan2 untuk jumlah pimpinan perempuan, padahal kita punya pilihan lain yaitu memperbesar jumlah kandidat perempuan. Saya nggak bilang bahwa perempuan harus memilih perempuan, lah jangan ada keharusan seperti itu, namun kita mesti mengusahakan sedemikian rupa sehingga kondisi terbangun untuk saling mempercayai. Menanam trust menyiratkan resiko, yaitu bahwa trust itu disalahgunakan, nggak tepat, dsb. Yang bisa kita lakukan adalah mengelola resiko sedemikian rupa sehingga lebih kondusif bagi setiap orang untuk mengambil resiko tsb, artinya ada safety net. Misal: Resiko dari mempraktekkan affirmative action, dikelola sedemikian rupa, sehingga bobot sekian % diaplikasikan secara umum kepada SEMUA kandidat perempuan. Sehingga waktu pemilihan, masing2 kita bukan memilih perempuan lagi, tapi kandidat yang kita anggap kapabel. Kalau mba banyak berdiam diri di tengah kebisingan perempuan, mungkin itu salah satu cara melapangkan jalan bagi semua, yang berdampak menumbuhkan trust/sisterhood. Toh kalau berdiam diri bukan berarti nggak kedengeran kan...hehehe... salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "h.s nurbayanti" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mbak mia, > > Mungkin "teori" mbak mia ini bisa menjelaskan kondisi sekarang yg disebut > mbak lina sbg "puzzle". > Kalau kata dosen saya, teori itu pada prinsipnya menjelaskan kondisi yg > terjadi di masyarakat. > Indikasinya memang ke arah sana. > > Bahwa salah satu teori yg bisa menjelaskan fenomena2 perempuan melajang dan > kawin-cerai (karena tidak mau dipoligami) menunjukkan pilihan perempuan > zaman sekarang yg mengidealkan monogami. Tentu, bukan berarti semua > perempuan demikian, makanya saya katakan "salah satu". Sementara kisah yg > diceritakan oleh mbak fero, ya itu make sense aja.. kalau melihat tipe > perempuan istri ke-2 yg menempatkan segala sesuatunya dalam "kepraktisan". > Buat dia, konsep "berbagi suami" itu bisa diterima spt layaknya berbagi > sesuatu. Buat orang yg tipe praktis dan gak mau rumit utk urusan > relationship, dicampur rasa empati (sama istri pertama) ya bisa aja > menerima. > Tapi hal ini dianggap pengecualian karena mainstreamnya masih monogami. > > Cuma, saya masih concern soal sisterhood aja, bagaimana menanamkan rasa > trust sesama perempuan? > Perempuan, sama halnya dng laki2, bisa aja jadi...bitch. > Kalau menghadapi jerks, mungkin lebih gampang.. heheh.. > tapi kalau berhadapan dng cewe yg bitchy... duh, bingung aku...:-) > Bitchy-ing, is not my thing. hehehe.. > Gimana ya, supaya jangan ada saling merendahkan, menghina atau apalah antar > sesama perempuan? > Gimana membangun rasa trust itu, mbak? > Lebih bingungnya lagi, bila hal ini masih menjangkiti perempuan2 yg > seharusnya sudah "tercerahkan". > Biasanya sih aku lebih milih diam dan menarik diri. Gak mau pusing, hehehe.. > > >