Mari kita makan-makan,
KM 
 
-------Original Message-------
 
From: Ari Condro
Date: 11/11/2008 20:22:17
To: Milis wm
Subject: Re: [wanita-muslimah] pembuat UU anti korupsi ditangkap karna
korupsi (korupsi di kalangan akademisi)
 
Kalau pks mau mengangkap pak harto sebagai pahlawan. Mantep kan.

Pak harto memang tidak bersalah dan tidak pernah terima uang korupsi, ya toh
? :))


-----Original Message-----
From: rama yanti <[EMAIL PROTECTED]>

Date: Tue, 11 Nov 2008 05:03:04 
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Subject: [wanita-muslimah] pembuat UU anti korupsi ditangkap karna korupsi
(korupsi di kalangan akademisi)


http://www.detiknews
com/read/2008/11/11/174754/1035309/159/setiap-bulan-dapat-rp-10-juta-tapi-ama
-aman-saja



Setiap Bulan Dapat Rp 10 Juta, Tapi Aman-Aman Saja

Jakarta - Prof. Dr. Romli Atmasasmita adalah guru
besar Fakultas Hukum Pidana dari Universitas Padjajaran. Ia juga bekas
Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkum HAM. Saat ini pakar hukum
yang sering menyoroti masalah korupsi tersebut mendekam di tahanan
karena diduga korupsi.

Kejaksaan
Agung menahan Romli Atmasasmita setelah ditetapkan sebagai tersangka
korupsi sistem administrasi badan hukum Departemen Hukum dan HAM yang
merugikan negara hingga RP 400 miliar.

"Dari keterangan saksi
dan alat bukti, Romli sudah cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka
dan perlu dilakukan penahanan," kata Ketua tim penyidik Faried Haryanto.

Masalah
yang membelit Romli bermula ketika Ditjen AHU memberlakukan sistem
administrasi badan hukum (sisminbakum) 2001 lalu. Dalam sistem tersebut
Ditjen AHU menetapkan biaya akses fee dan biaya pemasukan negara bukan
pajak (PNBP) sejumlah layanannya. 

Sayangnya biaya akses
tersebut tidak masuk ke kas negara melainkan masuk ke rekening PT
Sarana Rekatama Dinamika (SRD), selaku provider layanan tersebut. PT
SRD merupakan rekanan Ditjen AHU. Dari hasil kerjasama tersebut 90%
akses fee yang masuk mengalir ke PT SRD. Sedangkan Ditjen AHU melalui
Koperasi Karyawan Pengayoman hanya kebagian 10%.

Jatah 10% itu
kemudian dibagi lagi. 40 % untuk koperasi dan 60% dibagikan kepada
beberapa pejabat Ditjen AHU dengan nilai bervariasi. Untuk Dirjen AHU
yang sempat dijabat Romli Atmasasmita, kebagian Rp 10 juta per bulan.
Untuk Sekjen AHU per bulan kecipratan Rp 5 juta. Adapun para direktur
dan kepala Sub-Direktorat
masing-masing mendapat jatah Rp 1,5 juta per bulan.

Keterlibatan
Romli tentu sangat mengejutkan. Sebagai seorang akademisi dan pengamat
hukum pidana yang terpandang, ternyata Romli telah melakukan perbuatan
yang selama ini selalu dikritrisinya, yaitu korupsi.

Direktur
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal
Arifin Muchtar membenarkan Romli memang salah seorang yang membantu
pembuatan substansi Undang-Undang antikorupsi. Namun bukan berarti
Romli sebagai aktivis antikorupsi.

"DPR dan pejabat hukum juga
banyak yang terlibat dalam perumusan UU antikorupsi. Tapi apakah DPR
bisa disebut sebagai aktivis korupsi? Tentu tidak kan?" tegas Zainal
saat dihubungi detikcom.

Tapi menurut Zainal, kasus yang
melibatkan Romli lebih dominan disebabkan buruknya birokrasi di
Indonesia. Birokrasi yang buruk itu kemudian menjebak siapa saja yang
ada di dalamnya. Siapa yang tergoda dengan jebakan birokrasi tersebut
maka ia pun hanyut dalam kebobrokan birokrasi, yakni korupsi.

Dalam
kasus Romli misalnya. Setiap bulan ia menerima Rp 10 juta sebagai jatah
dari biaya akses fee. Tapi selama itu atasannya Romli, yakni Menteri
Hukum dan HAM tidak mengetahuinya. "Ini kan aneh. Berarti penerimaan
uang haram tersebut sudah dianggap wajar," ujarnya.

Birokrasi
yang korup itu pula yang membuat Mulyanan W. Kusumah, kriminolog
Universitas Indonesia akhirnya tergoda saat menjabat sebagai anggota
Komisi Pemilihan Umum. Ia tertangkap basah saat berusaha menyuap
Khairiansyah Salman, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tengah
mengaudit laporan keuangan KPU.

Selanjutnya, Mulyana divonis
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi satu tahun tiga bulan penjara. Mulyana
dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengadaan kotak suara pemilihan
umum 2004 yang merugikan negara sebesar Rp 15,7 miliar.

Masuknya
akademisi sekaliber Romli Atmasasmita dan Mulyana W. Kusumah dalam
jerat korupsi, ujar Zainal, menunjukan kalau kondisi birokrasi di
Indonesia sudah sangat parah. "Ini bukan hanya masalah individunya
saja. Tapi lebih dominan disebabkan kondisi birokrasi yang tidak
sehat," kata Zainal.

Untuk itu ia berharap Romli mau membeberkan
semua yang diketahuinya. Supaya siapa pun yang terlibat dalam kasus
tersebut, termasuk Yusril Ihza Mahendra, yang saat itu menjabat Menkum
HAM, bisa diperiksa juga. Sehingga kebobrokan birokrasi di lembaga yang
sekarang dipimpin Andi Mattalata bisa dibongkar.

Apalagi, imbuh
Zainal, masing -masing departeman selama ini bukan dipimpin seseorang
yang punya kapasitas dan kapabilitas. Melainkan lantaran kepentingan
politik semata. "Kasus Romli harus jadi pembelajaran. Sehingga bisa
dijadikan model dalam pemberantasan korupsi ke depan," pungkasnya.(ddg/iy)




[Non-text portions of this message have been removed]



[Non-text portions of this message have been removed]


 
 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke