Nabi daud itu israel, dia zionis berarti.  Nabi daud pula yg merebut palestina 
dari tangan penduduk asli palestina.  :(


salam,



-----Original Message-----
From: izzuddin al qassam <wanitaacehtang...@yahoo.com>

Date: Sat, 11 Apr 2009 23:59:05 
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Subject: Re: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?


NAbi Daud justru hadir jauh sebelum itu kan???

:putri

--- On Sat, 4/11/09, kmj...@indosat.net.id <kmj...@indosat.net.id> wrote:

From: kmj...@indosat.net.id <kmj...@indosat.net.id>
Subject: Re: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Saturday, April 11, 2009, 1:46 PM











    
            
            


      
      Demokrasi sudah ada sejak jaman Yunani kuno (sekitar 699 tahun sebelum 

Mashi), jadi jauh sebelum ada Islam. Bagaimana orang Yunani kuno 

mencuri dari Islam yang hadir belakangan?

KM



----Original Message----

From: am...@tele2. se

Date: 11/04/2009 23:55 

To: <<Undisclosed- Recipient: >, <>>

Subj: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?



Reflesi :   Apa komentar  Anda terhadap tulis di bawah ini? 



http://www.hidayatu llah.com/ index.php?

option=com_content& view=article& id=8797:demokras i-barang- curian-milik-

islam-&catid= 68:opini& Itemid=68



Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?        

      Friday, 06 March 2009 07:00  

      Realitas sejarah menunjukkan, sistem demokrasi lebih dekat 

kepada Islam dibanding sistem lainnya? 



Tohir Bawazir *



Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang 

sangat dianjurkan dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak 

menyangkut hal-hal yang  substansial dalam aqidah. Jika  menyangkut hal 

yang sudah qath'i (pasti),  ummat Islam harus sudah bersepakat untuk 

hal itu. Misalnya soal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji dan berbagai 

hukum yang sudah jelas dan terperinci yang sudah diatur dalam Al-Qur'an 

dan Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah menjalankan segala perintahnya 

dan menjauhi segala larangannya semampu kita. Di sini ummat Islam tidak 

diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah diperintahkan oleh Allah 

dan Rasul-Nya.



Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak 

yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur 

kehidupannya berdasarkan asas manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang 

tidak  bertentangan dengan ketentuan Syariat. Kita juga yakin, 

kemaslahatan kehidupan sudah pasti akan selaras dan sejalan dengan 

tuntunan syariat Islam. Termasuk dalam kancah wilayah politik untuk 

memilih pemimpin dan mekanisme kenegaraan.



Dalam sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang, 

terdiri dari berbagai model pemerintahan, ada demokrasi, 

teokrasi/negara keagamaan, diktator, kerajaan atau bisa pula ada sistem 

kombinasi dari berbagai sistem. Di Negara Inggris misalnya dikenal 

sistem kerajaan, namun pada saat yang sama ada sistem demokrasi dimana 

selain ada raja/ratu sebagai kepala negara secara simbolis, namun pada 

saat yang sama kekuasaan yang riil justru dipegang oleh perdana menteri 

yang dihasilkan dalam sistem pemilu secara demokratis. Namun di Saudi 

Arabia berbeda pula, mereka menggunakan sistem kerajaan mutlak. Raja 

lah yang sepenuhnya berkuasa membuat merah dan putihnya negara dan 

rakyat. Walaupun di sana ada dewan ulama yang memberi nasehat kepada 

raja, namun aspirasi masyarakat bisa dibilang tidak terwakili. Apabila 

rajanya baik, maka nasib rakyat dan bangsanya ikut kena imbas baiknya, 

namun jika buruk, maka rakyat akan menanggung keburukannya.  Ada pula 

yang tampaknya seperti sistem demok

rasi, namun hakekatnya diktator. Statusnya seorang presiden, namun 

hakekat kekuasaannya dan masa berkuasanya  lebih  mirip model kerajaan. 

Ini banyak contohnya, terutama banyak dialami oleh negara-negara Dunia 

Ketiga (Negara-negara Asia, Afrika maupun negara-negara di Amerika 

Latin), termasuk di Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru.



Dalam tiap sistem pemerintahan, sudah barang tentu ada 

kebaikannya dan keburukannya. Termasuk di dalam sistem kerajaan pun ada 

segi positifnya, minimal dari segi biaya politiknya sangat murah karena 

tidak perlu ada pertarungan para kandidat calon pemimpin, karena 

kekuasaannya sudah diwariskan/diturunk an secara kekeluargaan, bisa 

dari ayah ke anak, atau ke saudara dsb. Murah dan efisien, lebih-lebih 

jika rakyatnya bisa menerima sistem ini. Namun madharatnya juga besar. 

Karena hak berkuasa seolah-olah hanya milik seseorang/keluarga raja 

saja, rakyat tidak punya hak memimpin, mengoreksi, atau sekedar berbeda 

pendapat, walau memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam sistem demokrasi 

pun ada manfaat dan madharatnya, positif dan negatifnya. Begitu dalam 

sistem otoriter pun walaupun banyak sisi negatifnya tetap saja ada sisi-

sisi positifnya.



Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental 

yaitu "one man one vote", satu orang satu suara.  Tidak peduli apakah 

orangnya sama moralnya, ilmunya, kedudukan  maupun tingkat 

pendidikannya dsb.  Suara seorang ustadz disamakan dengan suara pelaku 

maksiat, orang kafir, munafik dsb. Suara seorang profesor sama bobotnya 

dengan suara orang yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga pernah ada yang 

mengusulkan agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak pilih) tidak 

cukup sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya 

minimal lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai 

sehingga dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.



Sistem demokrasi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, 

bahkan cenderung sistem ini paling menghabiskan banyak dana masyarakat 

dan negara, sedang tujuan yang ingin dicapai belum tentu diperoleh 

dengan baik. Demokrasi yang kita alami di Indonesia contohnya, menyedot 

biaya yang terlalu besar,energi yang terlalu banyak karena kendornya 

pengawasan dan mudahnya pendirian partai politik, sehingga menimbulkan 

euforia partai politik yang berlebihan.



Era khilafah



Kalau kita kembalikan ke tarikh Islam, sistem politik untuk 

memilih pemimpin / khalifah, dimulai setelah junjungan kita Nabi 

Muhammad SAW wafat. Ummat sempat bingung untuk menentukan siapa 

pengganti Rasul untuk memimpin ummat Islam. Orang-orang Anshor 

(penduduk asli Madinah) sudah akan memilih Sa'ad bin Ubadah sebagai 

pemimpin dari kelompok Anshor di Saqifah (aula pertemuan) dan 

mempersilahkan orang-orang Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah 

ke Madinah) agar memilih pemimpinnya sendiri. Dari sini sudah cukup 

jelas bahwa Rasulullah tidak mengatur secara jelas mekanisme pemilihan 

khalifah/pengganti Rasul secara baku/tetap. Kalau sudah baku sudah 

pasti tidak ada saling sengketa dan perbedaan pendapat di antara 

mereka. Yang bisa menyelesaikan perbedaan pendapat yang berpotensi 

menimbulkan perpecahan di Saqifah justru argumen yang sangat mantap 

yang disampaikan oleh Shahabat Umar bin Khaththab ra. Umar mengusulkan 

agar masyarakat secara aklamasi mengangkat Abubakar Shiddiq r

a sebagai khalifah pengganti Rasul karena berbagai pertimbangan 

diantaranya; Beliau  orang dewasa  pria pertama yang masuk Islam; 

Beliau pula yang oleh Rasul digelari Ash-Shiddiq; Beliau adalah satu-

satunya shahabat yang diajak berhijrah bersama-sama Rasul dan Beliau 

satu-satunya yang  diijinkan/disuruh oleh Rasul untuk mengimami sholat 

berjamaah ketika Rasul sakit dan tidak bisa menghadiri /mengimami 

sholat berjamaah di Masjid Nabawi. Mengingat kuatnya hujjah Umar 

tersebut, maka masyarakat baik dari Anshor maupun Muhajirin mengerti  

dan menerima sepenuhnya bahwa memang tidak ada yang lebih layak 

menggantikan Rasulullah selain Shahabat Abubakar Shiddiq.



Setelah Khalifah Abubakar wafat, kepemimpinan diganti oleh Umar 

bin Khaththab berdasarkan surat wasiat Khalifah Abubakar karena tidak 

ada shahabat yang lebih mulia dan mengungguli Umar bin Khaththab ra 

dalam berbagai aspek dan seginya, sehingga tidak ada keberatan apa pun 

terhadap pengangkatan Umar walau berdasar penunjukan.  Sebelum Amirul 

Mukminin  Umar meninggal ,  beliau masih sempat menunjuk dewan  

formatur yang terdiri dari enam Shahabat senior untuk memutuskan siapa 

bakal pengganti beliau yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, 

Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Zubair dan Saad bin 

Abi Waqas. Empat orang menyatakan tidak bersedia untuk menjadi 

Khalifah/Amirul Mukminin, hanya Usman dan Ali yang bersedia dipilih 

untuk menjadi pengganti Umar.



Mengingat ada dua kandidat calon yang setara ilmu dan jasanya, 

setara pula dukungannya, maka  anggota formatur yang dipimpin oleh 

Abdurrahman bin Auf pun masih minta masukan secara langsung ke 

masyarakat untuk turut memilih satu di antara dua calon yang ada, 

Abdurrahman bin Auf masih berkeliling ke masyarakat untuk dimintai 

tanggapannya, baik ke para shahabat senior atau yunior, laki-laki atau 

perempuan dsb. maka Usman sepakat dipilih sebagai khalifah ketiga. Dari 

sini jelas, mekanisme mengatur pemimpin menjadi hak masyarakat, bukan 

penunjukan dari wahyu. Ada proses seleksi, pemilihan,   adu argumen, 

dukung-mendukung dan partisipasi masyarakat yang lebih luas, walau 

dalam bentuk yang belum baku seperti dalam sistem demokrasi modern.



Setelah era Khulafaurrasyidin berlalu, kekuasaan Islam jatuh ke 

tangan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah pertama dari Dinasti 

Bani Umayyah. Suka ataupun tidak suka, manis maupun pahit, kekuasaan 

Dinasti Umayah diawali dengan hal-hal yang tidak wajar,  tipu daya dan 

pertumpahan darah yang mengorbankan ribuan rakyat sesama Muslim.  Dalam 

Perang Shiffin antara Khalifah   Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur 

Muawiyah sangat kental aroma perebutan kekuasaan dari seorang gubernur 

yang tidak loyal kepada khalifah/pimpinanny a. Selanjutnya 

konflik/kemelut politik diselesaikan dengan upaya  perdamaian/tahkim di 

antara mereka yang ternyata justru memperdaya/merugika n Khalifah Ali. 

Akhirnya wajah ummat  dan politik Islam carut marut. Khalifah Ali 

dibunuh oleh mantan pengikutnya sendiri yang tidak puas dengan upaya 

tahkim yang tidak adil. Muncul  pula kelompok sempalan yang bernama 

Syiah dan Khawarij yang saling bertolak belakang. Luka yang diakibatkan



oleh tindakan Muawiyah yang memerangi Khalifah Ali, kemudian 

menurunkan kekuasaan kepada anak dan keturunan sendiri, menimbulkan 

luka di tubuh ummat Islam. Bahkan hingga sampai hari ini, luka tersebut 

tidak pernah kering/sembuh.



Dalam buku "Distorsi Sejarah Islam" Dr. Yusuf Al-Qaradhawi 

menukil dari  tafsir Al-Manar, Syaikh Rasyid Ridho menyebutkan 

pernyataan seorang ilmuwan Jerman yang berkata kepada beberapa ulama 

Muslim, "Semestinya kami (kaum Kristen Eropa) harus membuat patung emas 

Muawiyah di Berlin!" Ilmuwan tersebut ditanya, "Mengapa?" Dia menjawab, 

"Karena dialah yang mengubah hukum Islam dari demokrasi menjadi 

fanatisme golongan! Kalaulah hal itu tidak terjadi, Islam pasti akan 

tersebar ke seluruh dunia. Sehingga bangsa Jerman dan Eropa lainnya 

akan berubah menjadi Arab-Muslim" . Jika kita melihat sekarang Dunia 

Kristen Eropa menggunakan demokrasi, sejatinya itu merupakan 'barang 

curian' milik ummat Islam yang telah diadopsi dan dimodifikasi menjadi 

sekular ala Barat. Demokrasi seolah berasal dari Barat padahal 

sejatinya milik kita.



Mengingat kekuasaan Dinasti Umayyah diawali dengan konflik, 

pertumpahan darah, tipu muslihat, sehingga dalam perjalanan 

kekuasaannya Dinasti Bani Umayyah selalu dirongrong oleh berbagai 

pemberontakan demi pemberontakan (kecuali hanya masa keemasannya di era 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat singkat yaitu 2,5th saja) . 

Kekuasaan Bani Umayyah tidak sepenuhnya  stabil dan diterima oleh ummat 

Islam. Hingga akhirnya kekuasaan Dinasti Umayyah jatuh dan berakhir 

dengan pertumpahan darah dan pembantaian oleh pemberontak yang dipimpin 

oleh Abul Abbas As-Saffah (si penumpah darah). Kemenangan pemberontakan 

Abul Abbas menimbulkan kekuasaan dinasti baru yaitu Abbasiyah.  

Sayangnya kekuasaan ini diawali dengan pembantaian seluruh sisa-sisa 

keluarga Bani Ummayyah sehingga banyak yang lari ke daratan Eropa 

(Andalusia) maupun Afrika.



Dinasti Abbasiyah memulai kekuasaannya dengan pembantaian, maka 

diakhiri pula dengan pembantaian pula, yaitu melalui tangan-tangan 

orang kafir Mongol yaitu Hulaqo Khan. Di mana waktu itu ibukota Baghdad 

menjadi lautan darah. Sehingga masa itu menjadi masa paling kelam dari 

sejarah Islam karena tidak ada kekejaman yang melebihi Khulaqo Khan 

ketika membantai ummat Islam di Baghdad waktu itu.



Sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan yang diawali dengan 

tragedi akan diakhiri dengan tragedi pula, sebagaimana telah 

diperlihatkan dalam dua masa Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Justru 

munculnya Daulah Utsmaniyah di Turki, merupakan pertolongan Allah untuk 

mengangkat harkat dan martabat ummat Islam (khususnya dunia Arab) yang 

hancur berkeping-keping di Baghdad. Allah munculkan pengganti penguasa 

Islam dari Turki setelah ummat Islam dan Arab menanggung kekalahan dan 

kehinaan dari kekuasaan Dinasti Mongol (Tartar).



Mengingat sejarah telah memberikan contoh kepada kita, kekuasaan 

itu membutakan walaupun di masyarakat Islam sekalipun. Untuk itu 

kekuasaan perlu diatur, dimanage agar kekuasaan itu dibatasi, kekuasaan 

harus dikendalikan agar tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tamak 

dan dzalim. Sistem demokrasi juga salah satu bentuk mekanisme 

pengaturan kekuasaan. Tidak ada jamannya lagi kekuasaan dipegang oleh 

segelintir orang apalagi jika menggunakan cara-cara represif dan 

pemaksaan kehendak.. Sejarah Islam pun telah menunjukkan, pada masa 

Khulafaurrasyidin di masa Khalifah Utsman dan Ali yang kurang apa baik 

dan lurusnya masih saja ada pemberontakan. Apalagi di masa Bani Umayyah 

dan Abbasiyah, pemberontakan dan perebutan kekuasaan silih berganti.



Jadi hakekatnya sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam 

dibanding sistem lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan, masa 

Khulafaurrasyidin sebagai panutan kita sangat mengedepankan musyawarah. 

Demokrasi paling tidak sangat dekat dengan semangat musyawarah, saling 

menghargai pendapat, proses seleksi dsb. Kekurangan yang ada di sistem 

demokrasi karena masyarakat sangat heterogen, ada yang cerdas, ada yang 

bodoh, ada yang taat kepada Allah namun banyak pula yang bermaksiat 

kepada Allah, ada yang Islamnya kaffah namun banyak pula yang sekular, 

ada yang jujur namun banyak pula yang berjiwa koruptor, ada yang amanah 

namun banyak pula yang khianat, ada yang bercita-cita ingin menegakkan  

syariat Allah namun banyak pula yang ingin menghalanginya. Namun 

bukankah itu juga merupakan tanggung jawab kita bersama (bukan hanya 

para politisi Muslim) untuk bersama-sama membina masyarakat agar 

menjadi masyarakat yang akidahnya lurus, mencintai Islam dengan sepenuh 

jiwa raganya sehingga cita-

cita masyarakat dapat terwujud. Jadi perjuangan dakwah sangatlah luas 

dan berkesinambungan, ada yang melalui jalur politik, pendidikan, 

keluarga, budaya, ekonomi, sosial dsb.



Jangan terlalu bermimpi kalau menolak demokrasi terus keadaan 

akan menjadi lebih baik. Bermimpi memiliki sistem lain dan melupakan 

yang ada, seringkali menimbulkan kekecewaan dan frustasi. Seringkali 

kita bermimpi mewujudkan sistem khilafah yang ideal akan segera 

terwujud, padahal membentuk organisasi yang lebih kecil dan sederhana 

saja, seringkali kita tidak mampu.  



Terkait dengan tuduhan bahwa demokrasi itu identik dengan 

sekular, menurut hemat penulis, itu sepenuhnya tergantung siapa yang 

mengendalikan. Jika yang mengatur orang-orang sekular pasti disemangati 

dengan jiwa sekular. Jika di tangan orang Kristen sudah pasti dijiwai 

dengan semangat Kristiani, begitu pula kalau ditangani orang-orang 

Islam, sudah pasti (seharusnya) digunakan untuk kepentingan dan 

kebaikan ummat Islam.  Khalifah Umar  mengatur pembagian kekuasaan 

antara umara (penguasa) dengan qadhi (hakim), mengatur tentang hak-hak 

rakyat, mengatur tentang harta negara (Baitul Mal), zakat, kebijakan 

tentang peperangan, dsb. Para ulama juga berijtihad dan merumuskan 

kitab-kitab fikih, padahal sudah ada Al-Quran dan Sunnah. Barangkali, 

hal seperti itu pula lah pada demokrasi. Wallahu'a'lam



Penulis adalah pengamat Gerakan Dakwah

     



[Non-text portions of this message have been removed]




 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke