Demokrasi sudah ada sejak jaman Yunani kuno (sekitar 699 tahun sebelum 
Mashi), jadi jauh sebelum ada Islam. Bagaimana orang Yunani kuno 
mencuri dari Islam yang hadir belakangan?
KM

----Original Message----
From: am...@tele2.se
Date: 11/04/2009 23:55 
To: <<Undisclosed-Recipient:>, <>>
Subj: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?

Reflesi :   Apa komentar  Anda terhadap tulis di bawah ini? 

http://www.hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=8797:demokrasi-barang-curian-milik-
islam-&catid=68:opini&Itemid=68


      Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?        
      Friday, 06 March 2009 07:00  
      Realitas sejarah menunjukkan, sistem demokrasi lebih dekat 
kepada Islam dibanding sistem lainnya? 



      Tohir Bawazir *

      Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang 
sangat dianjurkan dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak 
menyangkut hal-hal yang  substansial dalam aqidah. Jika  menyangkut hal 
yang sudah qath'i (pasti),  ummat Islam harus sudah bersepakat untuk 
hal itu. Misalnya soal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji dan berbagai 
hukum yang sudah jelas dan terperinci yang sudah diatur dalam Al-Qur'an 
dan Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah menjalankan segala perintahnya 
dan menjauhi segala larangannya semampu kita. Di sini ummat Islam tidak 
diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah diperintahkan oleh Allah 
dan Rasul-Nya.

      Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak 
yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur 
kehidupannya berdasarkan asas manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang 
tidak  bertentangan dengan ketentuan Syariat. Kita juga yakin, 
kemaslahatan kehidupan sudah pasti akan selaras dan sejalan dengan 
tuntunan syariat Islam. Termasuk dalam kancah wilayah politik untuk 
memilih pemimpin dan mekanisme kenegaraan.

      Dalam sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang, 
terdiri dari berbagai model pemerintahan, ada demokrasi, 
teokrasi/negara keagamaan, diktator, kerajaan atau bisa pula ada sistem 
kombinasi dari berbagai sistem. Di Negara Inggris misalnya dikenal 
sistem kerajaan, namun pada saat yang sama ada sistem demokrasi dimana 
selain ada raja/ratu sebagai kepala negara secara simbolis, namun pada 
saat yang sama kekuasaan yang riil justru dipegang oleh perdana menteri 
yang dihasilkan dalam sistem pemilu secara demokratis. Namun di Saudi 
Arabia berbeda pula, mereka menggunakan sistem kerajaan mutlak. Raja 
lah yang sepenuhnya berkuasa membuat merah dan putihnya negara dan 
rakyat. Walaupun di sana ada dewan ulama yang memberi nasehat kepada 
raja, namun aspirasi masyarakat bisa dibilang tidak terwakili. Apabila 
rajanya baik, maka nasib rakyat dan bangsanya ikut kena imbas baiknya, 
namun jika buruk, maka rakyat akan menanggung keburukannya.  Ada pula 
yang tampaknya seperti sistem demok
rasi, namun hakekatnya diktator. Statusnya seorang presiden, namun 
hakekat kekuasaannya dan masa berkuasanya  lebih  mirip model kerajaan. 
Ini banyak contohnya, terutama banyak dialami oleh negara-negara Dunia 
Ketiga (Negara-negara Asia, Afrika maupun negara-negara di Amerika 
Latin), termasuk di Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru.

      Dalam tiap sistem pemerintahan, sudah barang tentu ada 
kebaikannya dan keburukannya. Termasuk di dalam sistem kerajaan pun ada 
segi positifnya, minimal dari segi biaya politiknya sangat murah karena 
tidak perlu ada pertarungan para kandidat calon pemimpin, karena 
kekuasaannya sudah diwariskan/diturunk an secara kekeluargaan, bisa 
dari ayah ke anak, atau ke saudara dsb. Murah dan efisien, lebih-lebih 
jika rakyatnya bisa menerima sistem ini. Namun madharatnya juga besar. 
Karena hak berkuasa seolah-olah hanya milik seseorang/keluarga raja 
saja, rakyat tidak punya hak memimpin, mengoreksi, atau sekedar berbeda 
pendapat, walau memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam sistem demokrasi 
pun ada manfaat dan madharatnya, positif dan negatifnya. Begitu dalam 
sistem otoriter pun walaupun banyak sisi negatifnya tetap saja ada sisi-
sisi positifnya.

      Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental 
yaitu "one man one vote", satu orang satu suara.  Tidak peduli apakah 
orangnya sama moralnya, ilmunya, kedudukan  maupun tingkat 
pendidikannya dsb.  Suara seorang ustadz disamakan dengan suara pelaku 
maksiat, orang kafir, munafik dsb. Suara seorang profesor sama bobotnya 
dengan suara orang yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga pernah ada yang 
mengusulkan agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak pilih) tidak 
cukup sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya 
minimal lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai 
sehingga dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.

      Sistem demokrasi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, 
bahkan cenderung sistem ini paling menghabiskan banyak dana masyarakat 
dan negara, sedang tujuan yang ingin dicapai belum tentu diperoleh 
dengan baik. Demokrasi yang kita alami di Indonesia contohnya, menyedot 
biaya yang terlalu besar,energi yang terlalu banyak karena kendornya 
pengawasan dan mudahnya pendirian partai politik, sehingga menimbulkan 
euforia partai politik yang berlebihan.

      Era khilafah

      Kalau kita kembalikan ke tarikh Islam, sistem politik untuk 
memilih pemimpin / khalifah, dimulai setelah junjungan kita Nabi 
Muhammad SAW wafat. Ummat sempat bingung untuk menentukan siapa 
pengganti Rasul untuk memimpin ummat Islam. Orang-orang Anshor 
(penduduk asli Madinah) sudah akan memilih Sa'ad bin Ubadah sebagai 
pemimpin dari kelompok Anshor di Saqifah (aula pertemuan) dan 
mempersilahkan orang-orang Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah 
ke Madinah) agar memilih pemimpinnya sendiri. Dari sini sudah cukup 
jelas bahwa Rasulullah tidak mengatur secara jelas mekanisme pemilihan 
khalifah/pengganti Rasul secara baku/tetap. Kalau sudah baku sudah 
pasti tidak ada saling sengketa dan perbedaan pendapat di antara 
mereka. Yang bisa menyelesaikan perbedaan pendapat yang berpotensi 
menimbulkan perpecahan di Saqifah justru argumen yang sangat mantap 
yang disampaikan oleh Shahabat Umar bin Khaththab ra. Umar mengusulkan 
agar masyarakat secara aklamasi mengangkat Abubakar Shiddiq r
a sebagai khalifah pengganti Rasul karena berbagai pertimbangan 
diantaranya; Beliau  orang dewasa  pria pertama yang masuk Islam; 
Beliau pula yang oleh Rasul digelari Ash-Shiddiq; Beliau adalah satu-
satunya shahabat yang diajak berhijrah bersama-sama Rasul dan Beliau 
satu-satunya yang  diijinkan/disuruh oleh Rasul untuk mengimami sholat 
berjamaah ketika Rasul sakit dan tidak bisa menghadiri /mengimami 
sholat berjamaah di Masjid Nabawi. Mengingat kuatnya hujjah Umar 
tersebut, maka masyarakat baik dari Anshor maupun Muhajirin mengerti  
dan menerima sepenuhnya bahwa memang tidak ada yang lebih layak 
menggantikan Rasulullah selain Shahabat Abubakar Shiddiq.

      Setelah Khalifah Abubakar wafat, kepemimpinan diganti oleh Umar 
bin Khaththab berdasarkan surat wasiat Khalifah Abubakar karena tidak 
ada shahabat yang lebih mulia dan mengungguli Umar bin Khaththab ra 
dalam berbagai aspek dan seginya, sehingga tidak ada keberatan apa pun 
terhadap pengangkatan Umar walau berdasar penunjukan.  Sebelum Amirul 
Mukminin  Umar meninggal ,  beliau masih sempat menunjuk dewan  
formatur yang terdiri dari enam Shahabat senior untuk memutuskan siapa 
bakal pengganti beliau yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, 
Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Zubair dan Saad bin 
Abi Waqas. Empat orang menyatakan tidak bersedia untuk menjadi 
Khalifah/Amirul Mukminin, hanya Usman dan Ali yang bersedia dipilih 
untuk menjadi pengganti Umar.

      Mengingat ada dua kandidat calon yang setara ilmu dan jasanya, 
setara pula dukungannya, maka  anggota formatur yang dipimpin oleh 
Abdurrahman bin Auf pun masih minta masukan secara langsung ke 
masyarakat untuk turut memilih satu di antara dua calon yang ada, 
Abdurrahman bin Auf masih berkeliling ke masyarakat untuk dimintai 
tanggapannya, baik ke para shahabat senior atau yunior, laki-laki atau 
perempuan dsb. maka Usman sepakat dipilih sebagai khalifah ketiga. Dari 
sini jelas, mekanisme mengatur pemimpin menjadi hak masyarakat, bukan 
penunjukan dari wahyu. Ada proses seleksi, pemilihan,   adu argumen, 
dukung-mendukung dan partisipasi masyarakat yang lebih luas, walau 
dalam bentuk yang belum baku seperti dalam sistem demokrasi modern.

      Setelah era Khulafaurrasyidin berlalu, kekuasaan Islam jatuh ke 
tangan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah pertama dari Dinasti 
Bani Umayyah. Suka ataupun tidak suka, manis maupun pahit, kekuasaan 
Dinasti Umayah diawali dengan hal-hal yang tidak wajar,  tipu daya dan 
pertumpahan darah yang mengorbankan ribuan rakyat sesama Muslim.  Dalam 
Perang Shiffin antara Khalifah   Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur 
Muawiyah sangat kental aroma perebutan kekuasaan dari seorang gubernur 
yang tidak loyal kepada khalifah/pimpinanny a. Selanjutnya 
konflik/kemelut politik diselesaikan dengan upaya  perdamaian/tahkim di 
antara mereka yang ternyata justru memperdaya/merugika n Khalifah Ali. 
Akhirnya wajah ummat  dan politik Islam carut marut. Khalifah Ali 
dibunuh oleh mantan pengikutnya sendiri yang tidak puas dengan upaya 
tahkim yang tidak adil. Muncul  pula kelompok sempalan yang bernama 
Syiah dan Khawarij yang saling bertolak belakang. Luka yang diakibatkan

      oleh tindakan Muawiyah yang memerangi Khalifah Ali, kemudian 
menurunkan kekuasaan kepada anak dan keturunan sendiri, menimbulkan 
luka di tubuh ummat Islam. Bahkan hingga sampai hari ini, luka tersebut 
tidak pernah kering/sembuh.

      Dalam buku "Distorsi Sejarah Islam" Dr. Yusuf Al-Qaradhawi 
menukil dari  tafsir Al-Manar, Syaikh Rasyid Ridho menyebutkan 
pernyataan seorang ilmuwan Jerman yang berkata kepada beberapa ulama 
Muslim, "Semestinya kami (kaum Kristen Eropa) harus membuat patung emas 
Muawiyah di Berlin!" Ilmuwan tersebut ditanya, "Mengapa?" Dia menjawab, 
"Karena dialah yang mengubah hukum Islam dari demokrasi menjadi 
fanatisme golongan! Kalaulah hal itu tidak terjadi, Islam pasti akan 
tersebar ke seluruh dunia. Sehingga bangsa Jerman dan Eropa lainnya 
akan berubah menjadi Arab-Muslim" . Jika kita melihat sekarang Dunia 
Kristen Eropa menggunakan demokrasi, sejatinya itu merupakan 'barang 
curian' milik ummat Islam yang telah diadopsi dan dimodifikasi menjadi 
sekular ala Barat. Demokrasi seolah berasal dari Barat padahal 
sejatinya milik kita.

      Mengingat kekuasaan Dinasti Umayyah diawali dengan konflik, 
pertumpahan darah, tipu muslihat, sehingga dalam perjalanan 
kekuasaannya Dinasti Bani Umayyah selalu dirongrong oleh berbagai 
pemberontakan demi pemberontakan (kecuali hanya masa keemasannya di era 
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat singkat yaitu 2,5th saja) . 
Kekuasaan Bani Umayyah tidak sepenuhnya  stabil dan diterima oleh ummat 
Islam. Hingga akhirnya kekuasaan Dinasti Umayyah jatuh dan berakhir 
dengan pertumpahan darah dan pembantaian oleh pemberontak yang dipimpin 
oleh Abul Abbas As-Saffah (si penumpah darah). Kemenangan pemberontakan 
Abul Abbas menimbulkan kekuasaan dinasti baru yaitu Abbasiyah.  
Sayangnya kekuasaan ini diawali dengan pembantaian seluruh sisa-sisa 
keluarga Bani Ummayyah sehingga banyak yang lari ke daratan Eropa 
(Andalusia) maupun Afrika.

      Dinasti Abbasiyah memulai kekuasaannya dengan pembantaian, maka 
diakhiri pula dengan pembantaian pula, yaitu melalui tangan-tangan 
orang kafir Mongol yaitu Hulaqo Khan. Di mana waktu itu ibukota Baghdad 
menjadi lautan darah. Sehingga masa itu menjadi masa paling kelam dari 
sejarah Islam karena tidak ada kekejaman yang melebihi Khulaqo Khan 
ketika membantai ummat Islam di Baghdad waktu itu.

      Sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan yang diawali dengan 
tragedi akan diakhiri dengan tragedi pula, sebagaimana telah 
diperlihatkan dalam dua masa Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Justru 
munculnya Daulah Utsmaniyah di Turki, merupakan pertolongan Allah untuk 
mengangkat harkat dan martabat ummat Islam (khususnya dunia Arab) yang 
hancur berkeping-keping di Baghdad. Allah munculkan pengganti penguasa 
Islam dari Turki setelah ummat Islam dan Arab menanggung kekalahan dan 
kehinaan dari kekuasaan Dinasti Mongol (Tartar).

      Mengingat sejarah telah memberikan contoh kepada kita, kekuasaan 
itu membutakan walaupun di masyarakat Islam sekalipun. Untuk itu 
kekuasaan perlu diatur, dimanage agar kekuasaan itu dibatasi, kekuasaan 
harus dikendalikan agar tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tamak 
dan dzalim. Sistem demokrasi juga salah satu bentuk mekanisme 
pengaturan kekuasaan. Tidak ada jamannya lagi kekuasaan dipegang oleh 
segelintir orang apalagi jika menggunakan cara-cara represif dan 
pemaksaan kehendak.. Sejarah Islam pun telah menunjukkan, pada masa 
Khulafaurrasyidin di masa Khalifah Utsman dan Ali yang kurang apa baik 
dan lurusnya masih saja ada pemberontakan. Apalagi di masa Bani Umayyah 
dan Abbasiyah, pemberontakan dan perebutan kekuasaan silih berganti.

      Jadi hakekatnya sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam 
dibanding sistem lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan, masa 
Khulafaurrasyidin sebagai panutan kita sangat mengedepankan musyawarah. 
Demokrasi paling tidak sangat dekat dengan semangat musyawarah, saling 
menghargai pendapat, proses seleksi dsb. Kekurangan yang ada di sistem 
demokrasi karena masyarakat sangat heterogen, ada yang cerdas, ada yang 
bodoh, ada yang taat kepada Allah namun banyak pula yang bermaksiat 
kepada Allah, ada yang Islamnya kaffah namun banyak pula yang sekular, 
ada yang jujur namun banyak pula yang berjiwa koruptor, ada yang amanah 
namun banyak pula yang khianat, ada yang bercita-cita ingin menegakkan  
syariat Allah namun banyak pula yang ingin menghalanginya. Namun 
bukankah itu juga merupakan tanggung jawab kita bersama (bukan hanya 
para politisi Muslim) untuk bersama-sama membina masyarakat agar 
menjadi masyarakat yang akidahnya lurus, mencintai Islam dengan sepenuh 
jiwa raganya sehingga cita-
cita masyarakat dapat terwujud. Jadi perjuangan dakwah sangatlah luas 
dan berkesinambungan, ada yang melalui jalur politik, pendidikan, 
keluarga, budaya, ekonomi, sosial dsb.

      Jangan terlalu bermimpi kalau menolak demokrasi terus keadaan 
akan menjadi lebih baik. Bermimpi memiliki sistem lain dan melupakan 
yang ada, seringkali menimbulkan kekecewaan dan frustasi. Seringkali 
kita bermimpi mewujudkan sistem khilafah yang ideal akan segera 
terwujud, padahal membentuk organisasi yang lebih kecil dan sederhana 
saja, seringkali kita tidak mampu.  

      Terkait dengan tuduhan bahwa demokrasi itu identik dengan 
sekular, menurut hemat penulis, itu sepenuhnya tergantung siapa yang 
mengendalikan. Jika yang mengatur orang-orang sekular pasti disemangati 
dengan jiwa sekular. Jika di tangan orang Kristen sudah pasti dijiwai 
dengan semangat Kristiani, begitu pula kalau ditangani orang-orang 
Islam, sudah pasti (seharusnya) digunakan untuk kepentingan dan 
kebaikan ummat Islam.  Khalifah Umar  mengatur pembagian kekuasaan 
antara umara (penguasa) dengan qadhi (hakim), mengatur tentang hak-hak 
rakyat, mengatur tentang harta negara (Baitul Mal), zakat, kebijakan 
tentang peperangan, dsb. Para ulama juga berijtihad dan merumuskan 
kitab-kitab fikih, padahal sudah ada Al-Quran dan Sunnah. Barangkali, 
hal seperti itu pula lah pada demokrasi. Wallahu'a'lam

      Penulis adalah pengamat Gerakan Dakwah
     


[Non-text portions of this message have been removed]




Kirim email ke