huffffffffffff provokator beraksi................

--- On Sat, 4/11/09, Ari Condro <masar...@gmail.com> wrote:

From: Ari Condro <masar...@gmail.com>
Subject: Re: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
To: "Milis wm" <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Date: Saturday, April 11, 2009, 7:21 PM











    
            
            


      
      Kalau demokrasi disebut barang curian milik islam, maka adian husaini 
akan bilang, ham dan kesetaraan gender adalah barang haram bagi islam.



Mungkin serupa daging babi gitulah ....  :))





salam,







-----Original Message-----

From: "Ary Setijadi Prihatmanto" <ary.setijadi@ gmail.com>



Date: Sun, 12 Apr 2009 06:37:53 

To: <wanita-muslimah@ yahoogroups. com>

Subject: Re: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?





nggak terlalu penting siapa mencuri siapa...

krn biasanya sangat ambigu...



setiap idea-idea besar itu dimulai oleh ide-ide sederhana yang berkembang.. .

bukan kerja satu generasi, tapi berpuluh generasi manusia...

kebersahajaan dan rendah hati adalah sikap penting dalam mensikapinya



einstein tidak akan menghasilkan karya monumentalnya, 

tanpa newton membuat karyanya



demokrasi tidak akan mencapai bentuknya yang sekarang,

tanpa trial-and-error sepanjang sejarah dengan berbagai cara...



bahwa hal itu ternyata sesuai dengan islam, itu hal yang wajar...

secara premis islam sbg. nilai-nilai universal...

tapi toh banyak yang bilang tidak seperti itu bukan?

tanya deh Adian Husaini dkk.



persoalan yang lebih penting adalah

siapa yang lebih cerdas untuk mendapatkan keuntungan dari ide itu.









  ----- Original Message ----- 

  From: Sunny 

  To: Undisclosed- Recipient: ; 

  Sent: Saturday, April 11, 2009 11:55 PM

  Subject: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?











  Reflesi : Apa komentar Anda terhadap tulis di bawah ini? 



  http://www.hidayatu llah.com/ index.php? option=com_ content&view= 
article&id= 8797:demokrasi- barang-curian- milik-islam- &catid=68: 
opini&Itemid= 68



  Demokrasi, Barang Curian Milik Islam? 

  Friday, 06 March 2009 07:00 

  Realitas sejarah menunjukkan, sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam 
dibanding sistem lainnya? 



  Tohir Bawazir *



  Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang sangat dianjurkan 
dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak menyangkut hal-hal yang 
substansial dalam aqidah. Jika menyangkut hal yang sudah qath'i (pasti), ummat 
Islam harus sudah bersepakat untuk hal itu. Misalnya soal wajibnya sholat, 
puasa, zakat, haji dan berbagai hukum yang sudah jelas dan terperinci yang 
sudah diatur dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah 
menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya semampu kita. Di 
sini ummat Islam tidak diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah 
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.



  Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak yang diberikan 
oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur kehidupannya berdasarkan asas 
manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan 
Syariat. Kita juga yakin, kemaslahatan kehidupan sudah pasti akan selaras dan 
sejalan dengan tuntunan syariat Islam. Termasuk dalam kancah wilayah politik 
untuk memilih pemimpin dan mekanisme kenegaraan.



  Dalam sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang, terdiri dari 
berbagai model pemerintahan, ada demokrasi, teokrasi/negara keagamaan, 
diktator, kerajaan atau bisa pula ada sistem kombinasi dari berbagai sistem. Di 
Negara Inggris misalnya dikenal sistem kerajaan, namun pada saat yang sama ada 
sistem demokrasi dimana selain ada raja/ratu sebagai kepala negara secara 
simbolis, namun pada saat yang sama kekuasaan yang riil justru dipegang oleh 
perdana menteri yang dihasilkan dalam sistem pemilu secara demokratis. Namun di 
Saudi Arabia berbeda pula, mereka menggunakan sistem kerajaan mutlak. Raja lah 
yang sepenuhnya berkuasa membuat merah dan putihnya negara dan rakyat. Walaupun 
di sana ada dewan ulama yang memberi nasehat kepada raja, namun aspirasi 
masyarakat bisa dibilang tidak terwakili. Apabila rajanya baik, maka nasib 
rakyat dan bangsanya ikut kena imbas baiknya, namun jika buruk, maka rakyat 
akan menanggung keburukannya. Ada pula yang
 tampaknya seperti sistem demokrasi, namun hakekatnya diktator. Statusnya 
seorang presiden, namun hakekat kekuasaannya dan masa berkuasanya lebih mirip 
model kerajaan. Ini banyak contohnya, terutama banyak dialami oleh 
negara-negara Dunia Ketiga (Negara-negara Asia, Afrika maupun negara-negara di 
Amerika Latin), termasuk di Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru.



  Dalam tiap sistem pemerintahan, sudah barang tentu ada kebaikannya dan 
keburukannya. Termasuk di dalam sistem kerajaan pun ada segi positifnya, 
minimal dari segi biaya politiknya sangat murah karena tidak perlu ada 
pertarungan para kandidat calon pemimpin, karena kekuasaannya sudah 
diwariskan/diturunk an secara kekeluargaan, bisa dari ayah ke anak, atau ke 
saudara dsb. Murah dan efisien, lebih-lebih jika rakyatnya bisa menerima sistem 
ini. Namun madharatnya juga besar. Karena hak berkuasa seolah-olah hanya milik 
seseorang/keluarga raja saja, rakyat tidak punya hak memimpin, mengoreksi, atau 
sekedar berbeda pendapat, walau memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam sistem 
demokrasi pun ada manfaat dan madharatnya, positif dan negatifnya. Begitu dalam 
sistem otoriter pun walaupun banyak sisi negatifnya tetap saja ada sisi-sisi 
positifnya.



  Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental yaitu "one man 
one vote", satu orang satu suara. Tidak peduli apakah orangnya sama moralnya, 
ilmunya, kedudukan maupun tingkat pendidikannya dsb. Suara seorang ustadz 
disamakan dengan suara pelaku maksiat, orang kafir, munafik dsb. Suara seorang 
profesor sama bobotnya dengan suara orang yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga 
pernah ada yang mengusulkan agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak 
pilih) tidak cukup sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya 
minimal lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai sehingga 
dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.



  Sistem demokrasi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan cenderung 
sistem ini paling menghabiskan banyak dana masyarakat dan negara, sedang tujuan 
yang ingin dicapai belum tentu diperoleh dengan baik. Demokrasi yang kita alami 
di Indonesia contohnya, menyedot biaya yang terlalu besar,energi yang terlalu 
banyak karena kendornya pengawasan dan mudahnya pendirian partai politik, 
sehingga menimbulkan euforia partai politik yang berlebihan.



  Era khilafah



  Kalau kita kembalikan ke tarikh Islam, sistem politik untuk memilih pemimpin 
/ khalifah, dimulai setelah junjungan kita Nabi Muhammad SAW wafat. Ummat 
sempat bingung untuk menentukan siapa pengganti Rasul untuk memimpin ummat 
Islam. Orang-orang Anshor (penduduk asli Madinah) sudah akan memilih Sa'ad bin 
Ubadah sebagai pemimpin dari kelompok Anshor di Saqifah (aula pertemuan) dan 
mempersilahkan orang-orang Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah ke 
Madinah) agar memilih pemimpinnya sendiri. Dari sini sudah cukup jelas bahwa 
Rasulullah tidak mengatur secara jelas mekanisme pemilihan khalifah/pengganti 
Rasul secara baku/tetap. Kalau sudah baku sudah pasti tidak ada saling sengketa 
dan perbedaan pendapat di antara mereka. Yang bisa menyelesaikan perbedaan 
pendapat yang berpotensi menimbulkan perpecahan di Saqifah justru argumen yang 
sangat mantap yang disampaikan oleh Shahabat Umar bin Khaththab ra. Umar 
mengusulkan agar masyarakat secara aklamasi
 mengangkat Abubakar Shiddiq ra sebagai khalifah pengganti Rasul karena 
berbagai pertimbangan diantaranya; Beliau orang dewasa pria pertama yang masuk 
Islam; Beliau pula yang oleh Rasul digelari Ash-Shiddiq; Beliau adalah 
satu-satunya shahabat yang diajak berhijrah bersama-sama Rasul dan Beliau 
satu-satunya yang diijinkan/disuruh oleh Rasul untuk mengimami sholat berjamaah 
ketika Rasul sakit dan tidak bisa menghadiri /mengimami sholat berjamaah di 
Masjid Nabawi. Mengingat kuatnya hujjah Umar tersebut, maka masyarakat baik 
dari Anshor maupun Muhajirin mengerti dan menerima sepenuhnya bahwa memang 
tidak ada yang lebih layak menggantikan Rasulullah selain Shahabat Abubakar 
Shiddiq.



  Setelah Khalifah Abubakar wafat, kepemimpinan diganti oleh Umar bin Khaththab 
berdasarkan surat wasiat Khalifah Abubakar karena tidak ada shahabat yang lebih 
mulia dan mengungguli Umar bin Khaththab ra dalam berbagai aspek dan seginya, 
sehingga tidak ada keberatan apa pun terhadap pengangkatan Umar walau berdasar 
penunjukan. Sebelum Amirul Mukminin Umar meninggal , beliau masih sempat 
menunjuk dewan formatur yang terdiri dari enam Shahabat senior untuk memutuskan 
siapa bakal pengganti beliau yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, 
Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Zubair dan Saad bin Abi 
Waqas. Empat orang menyatakan tidak bersedia untuk menjadi Khalifah/Amirul 
Mukminin, hanya Usman dan Ali yang bersedia dipilih untuk menjadi pengganti 
Umar.



  Mengingat ada dua kandidat calon yang setara ilmu dan jasanya, setara pula 
dukungannya, maka anggota formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf pun 
masih minta masukan secara langsung ke masyarakat untuk turut memilih satu di 
antara dua calon yang ada, Abdurrahman bin Auf masih berkeliling ke masyarakat 
untuk dimintai tanggapannya, baik ke para shahabat senior atau yunior, 
laki-laki atau perempuan dsb. maka Usman sepakat dipilih sebagai khalifah 
ketiga. Dari sini jelas, mekanisme mengatur pemimpin menjadi hak masyarakat, 
bukan penunjukan dari wahyu. Ada proses seleksi, pemilihan, adu argumen, 
dukung-mendukung dan partisipasi masyarakat yang lebih luas, walau dalam bentuk 
yang belum baku seperti dalam sistem demokrasi modern.



  Setelah era Khulafaurrasyidin berlalu, kekuasaan Islam jatuh ke tangan 
Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah pertama dari Dinasti Bani Umayyah. 
Suka ataupun tidak suka, manis maupun pahit, kekuasaan Dinasti Umayah diawali 
dengan hal-hal yang tidak wajar, tipu daya dan pertumpahan darah yang 
mengorbankan ribuan rakyat sesama Muslim. Dalam Perang Shiffin antara Khalifah 
Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Muawiyah sangat kental aroma perebutan 
kekuasaan dari seorang gubernur yang tidak loyal kepada khalifah/pimpinanny a. 
Selanjutnya konflik/kemelut politik diselesaikan dengan upaya perdamaian/tahkim 
di antara mereka yang ternyata justru memperdaya/merugika n Khalifah Ali. 
Akhirnya wajah ummat dan politik Islam carut marut. Khalifah Ali dibunuh oleh 
mantan pengikutnya sendiri yang tidak puas dengan upaya tahkim yang tidak adil. 
Muncul pula kelompok sempalan yang bernama Syiah dan Khawarij yang saling 
bertolak belakang. Luka yang diakibatkan



  oleh tindakan Muawiyah yang memerangi Khalifah Ali, kemudian menurunkan 
kekuasaan kepada anak dan keturunan sendiri, menimbulkan luka di tubuh ummat 
Islam. Bahkan hingga sampai hari ini, luka tersebut tidak pernah kering/sembuh.



  Dalam buku "Distorsi Sejarah Islam" Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menukil dari 
tafsir Al-Manar, Syaikh Rasyid Ridho menyebutkan pernyataan seorang ilmuwan 
Jerman yang berkata kepada beberapa ulama Muslim, "Semestinya kami (kaum 
Kristen Eropa) harus membuat patung emas Muawiyah di Berlin!" Ilmuwan tersebut 
ditanya, "Mengapa?" Dia menjawab, "Karena dialah yang mengubah hukum Islam dari 
demokrasi menjadi fanatisme golongan! Kalaulah hal itu tidak terjadi, Islam 
pasti akan tersebar ke seluruh dunia. Sehingga bangsa Jerman dan Eropa lainnya 
akan berubah menjadi Arab-Muslim" . Jika kita melihat sekarang Dunia Kristen 
Eropa menggunakan demokrasi, sejatinya itu merupakan 'barang curian' milik 
ummat Islam yang telah diadopsi dan dimodifikasi menjadi sekular ala Barat. 
Demokrasi seolah berasal dari Barat padahal sejatinya milik kita.



  Mengingat kekuasaan Dinasti Umayyah diawali dengan konflik, pertumpahan 
darah, tipu muslihat, sehingga dalam perjalanan kekuasaannya Dinasti Bani 
Umayyah selalu dirongrong oleh berbagai pemberontakan demi pemberontakan 
(kecuali hanya masa keemasannya di era Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat 
singkat yaitu 2,5th saja) . Kekuasaan Bani Umayyah tidak sepenuhnya stabil dan 
diterima oleh ummat Islam. Hingga akhirnya kekuasaan Dinasti Umayyah jatuh dan 
berakhir dengan pertumpahan darah dan pembantaian oleh pemberontak yang 
dipimpin oleh Abul Abbas As-Saffah (si penumpah darah). Kemenangan 
pemberontakan Abul Abbas menimbulkan kekuasaan dinasti baru yaitu Abbasiyah. 
Sayangnya kekuasaan ini diawali dengan pembantaian seluruh sisa-sisa keluarga 
Bani Ummayyah sehingga banyak yang lari ke daratan Eropa (Andalusia) maupun 
Afrika.



  Dinasti Abbasiyah memulai kekuasaannya dengan pembantaian, maka diakhiri pula 
dengan pembantaian pula, yaitu melalui tangan-tangan orang kafir Mongol yaitu 
Hulaqo Khan. Di mana waktu itu ibukota Baghdad menjadi lautan darah. Sehingga 
masa itu menjadi masa paling kelam dari sejarah Islam karena tidak ada 
kekejaman yang melebihi Khulaqo Khan ketika membantai ummat Islam di Baghdad 
waktu itu.



  Sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan yang diawali dengan tragedi akan 
diakhiri dengan tragedi pula, sebagaimana telah diperlihatkan dalam dua masa 
Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Justru munculnya Daulah Utsmaniyah di Turki, 
merupakan pertolongan Allah untuk mengangkat harkat dan martabat ummat Islam 
(khususnya dunia Arab) yang hancur berkeping-keping di Baghdad. Allah munculkan 
pengganti penguasa Islam dari Turki setelah ummat Islam dan Arab menanggung 
kekalahan dan kehinaan dari kekuasaan Dinasti Mongol (Tartar).



  Mengingat sejarah telah memberikan contoh kepada kita, kekuasaan itu 
membutakan walaupun di masyarakat Islam sekalipun. Untuk itu kekuasaan perlu 
diatur, dimanage agar kekuasaan itu dibatasi, kekuasaan harus dikendalikan agar 
tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tamak dan dzalim. Sistem demokrasi juga 
salah satu bentuk mekanisme pengaturan kekuasaan. Tidak ada jamannya lagi 
kekuasaan dipegang oleh segelintir orang apalagi jika menggunakan cara-cara 
represif dan pemaksaan kehendak.. Sejarah Islam pun telah menunjukkan, pada 
masa Khulafaurrasyidin di masa Khalifah Utsman dan Ali yang kurang apa baik dan 
lurusnya masih saja ada pemberontakan. Apalagi di masa Bani Umayyah dan 
Abbasiyah, pemberontakan dan perebutan kekuasaan silih berganti.



  Jadi hakekatnya sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam dibanding sistem 
lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan, masa Khulafaurrasyidin sebagai 
panutan kita sangat mengedepankan musyawarah. Demokrasi paling tidak sangat 
dekat dengan semangat musyawarah, saling menghargai pendapat, proses seleksi 
dsb. Kekurangan yang ada di sistem demokrasi karena masyarakat sangat 
heterogen, ada yang cerdas, ada yang bodoh, ada yang taat kepada Allah namun 
banyak pula yang bermaksiat kepada Allah, ada yang Islamnya kaffah namun banyak 
pula yang sekular, ada yang jujur namun banyak pula yang berjiwa koruptor, ada 
yang amanah namun banyak pula yang khianat, ada yang bercita-cita ingin 
menegakkan syariat Allah namun banyak pula yang ingin menghalanginya. Namun 
bukankah itu juga merupakan tanggung jawab kita bersama (bukan hanya para 
politisi Muslim) untuk bersama-sama membina masyarakat agar menjadi masyarakat 
yang akidahnya lurus, mencintai Islam dengan sepenuh
 jiwa raganya sehingga cita-cita masyarakat dapat terwujud. Jadi perjuangan 
dakwah sangatlah luas dan berkesinambungan, ada yang melalui jalur politik, 
pendidikan, keluarga, budaya, ekonomi, sosial dsb.



  Jangan terlalu bermimpi kalau menolak demokrasi terus keadaan akan menjadi 
lebih baik. Bermimpi memiliki sistem lain dan melupakan yang ada, seringkali 
menimbulkan kekecewaan dan frustasi. Seringkali kita bermimpi mewujudkan sistem 
khilafah yang ideal akan segera terwujud, padahal membentuk organisasi yang 
lebih kecil dan sederhana saja, seringkali kita tidak mampu. 



  Terkait dengan tuduhan bahwa demokrasi itu identik dengan sekular, menurut 
hemat penulis, itu sepenuhnya tergantung siapa yang mengendalikan. Jika yang 
mengatur orang-orang sekular pasti disemangati dengan jiwa sekular. Jika di 
tangan orang Kristen sudah pasti dijiwai dengan semangat Kristiani, begitu pula 
kalau ditangani orang-orang Islam, sudah pasti (seharusnya) digunakan untuk 
kepentingan dan kebaikan ummat Islam. Khalifah Umar mengatur pembagian 
kekuasaan antara umara (penguasa) dengan qadhi (hakim), mengatur tentang 
hak-hak rakyat, mengatur tentang harta negara (Baitul Mal), zakat, kebijakan 
tentang peperangan, dsb. Para ulama juga berijtihad dan merumuskan kitab-kitab 
fikih, padahal sudah ada Al-Quran dan Sunnah. Barangkali, hal seperti itu pula 
lah pada demokrasi. Wallahu'a'lam



  Penulis adalah pengamat Gerakan Dakwah





  [Non-text portions of this message have been removed]







  



[Non-text portions of this message have been removed]







[Non-text portions of this message have been removed]




 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke