Masalahnya bukan saja berlaku bagi orang yang tidak puasa, tetapi sebenarnya lebih berlaku bagi pedagang makanan yang (berpuasa atau tidak) hidupnya bergantung pada hasil penjualan makanan. Jika ada larangan bagi orang-orang seperti itu, larangan itu bertentangan dengan hak untuk 'menghidupi diri sendiri'. Lain halnya kalau larangan itu dikompensasi dengan santunan seharga kerugian yang diderita oleh mereka yang menghilangkan nafkah mereka selama 'bulan yang (sebenernya nggak)penuh rahmat' ini.
Di lain pihak, seperti halnya komersialisasi Natal, bulan puasa dan lebaran semakin bergeser dari makna dan semangat sesungguhnya, yakni, kekushyukan spiritual (bukan ritual religius). Komersialisasi agama untuk kepentingan ekonomi melalui berbagai event/media nampak lebih dominan daripada kekuhsyukan spiritual sehingga perlu untuk dikembalikan ke 'khittah'.