BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
054. Textual, Kontextual, Konsepsional Mengenai Keadilan

Ada yang bertanya kepada saya. Ini dalam hubungannya dengan acara rutin da'wah 
Islamiyah di TPI setiap pagi. Yaitu dalam salah satu acara rutin tersebut 
pernah dikemukakan tentang pembagian warisan 2 berbanding satu antara laki-laki 
dengan perempuan. Lalu saya berpikir, mungkin banyak yang bertanya-tanya pula, 
yaitu dihubungkan dengan nilai keadilan. Dan sayapun masih ingat beberapa tahun 
lalu Menteri Agama Munawir Syadzali pernah mengemukakan pendapatnya pribadi, 
bahwa dua berbanding satu tidak cocok, artinya dirasa tidak adil kalau dilihat 
masyarakat di Jawa Tengah, yang perempuannya aktif mencari nafkah, sedang 
laki-lakinya pasif saja di rumah. 

Dalam S.Al Baqarah, 208 Allah berfirman:
Yaa ayyuha lladziena aamanuw dkhuluw fissilmi kaaffah, artinya, Hai orang-orang 
beriman masukilah Islam secara keseluruhan.

Untuk memasuki Islam secara keseluruhan, haruslah dahulu memahaminya pula 
secara keseluruhan, tidak secara berkotak-kotak. Artinya ajaran Islam harus 
difahami secara kaffah (keseluruhan, totalitas), secara nizam (sistem), 
mempergunakan pendekatan sistem. Secara gampangnya, sistem adalah suatu 
totalitas yang mempunyai fungsi dan tujuan, yang terdiri atas komponen-komponen 
yang mempunyai kaitan yang tertentu dan erat antara satu dengan yang lain.

Adapun keadilan menurut ajaran Islam, bukanlah sama rata sama rasa, bukan pula 
hanya sekadar keseimbangan antara hak dengan kewajiban, melainkan bermakna: 
menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan mengeluarkan sesuatu dari yang bukan 
tempatnya. Dengan pengertian keadilan seperti itulah, kita akan membahas 
mengenai keadilan dalam hubungannya dengan pembahagian harta warisan: dua 
bahagian untuk laki-laki dan satu bahagian untuk perempuan, seperti ditegaskan 
dalam nash dan adat. 

Menurut nash yaitu dalam S. An Nisaa, 4:11:
Yuwshiekumu Lla-hu fie awlaadikum lidzdzakari mitslu hazhzhi l.untsayayni, 
Allah mewajibkan dalam hal anak-anak kamu untuk seorang laki-laki seperti 
bagian dua orang perempuan. Dan menurut adat: Laki-laki memikul, perempuan 
menjunjung.

Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri atas berbagai komponen. Salah satu 
komponennya adalah sub-sistem nilai. Nilai ada yang utama ada yang tidak utama 
atau pendukung, instrumental. Nilai utama bersumber dari wahyu dan nilai yang 
instrumental berasal dari akar yang historis, yaitu produk akal-budi manusia. 
Dengan perkataan lain, nilai utama adalah nilai agama dan nilai yang 
instrumental adalah nilai budaya. Menurut istilah Al Quran, nilai utama disebut 
Al Furqan (Al Quran 2:185). Nilai agama adalah mutlak, tidak bergeser dan nilai 
budaya tidak mutlak dapat bergeser. Nilai budaya dapat saja tidak bergeser, 
jika nilai budaya itu larut dalam nilai agama.

Sub-sistem nilai sebagai salah satu komponen masyarakat, menjadi kerangka dasar 
bagi komponen-komponen lainnya seperti sub-sistem: politik, ekonomi, hukum, 
estetika dlsb. Atau dengan perkataan lain, sub-sistem nilailah yang menentukan 
corak, mewarnai, memberikan nada dan irama sub-sistem sub-sistem atau 
komponen-komponen lainnya.

Salah satu sub-sistem nilai adalah keadilan, dan ini termasuk dalam klasifikasi 
nilai utama. Secara pendekatan sistem, nilai ini tidak dapat dipisahkan dari 
nilai utama yang lain, yang meyangkut konsep kepemimpinan. Nilai tersebut 
tercantum dalam S. An Nisaa, 34: Ar rijaalu qawwaamuwna 'ala nnisaai, Laki-laki 
itu adalah pemimpin perempuan. Nilai kepemimpinan di atas itu memberikan corak 
dalam sub-sistem hukum faraid: dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian 
untuk anak perempuan.

Dengan pendekatan sistem tersebut, ditambah pula lagi dengan kriteria keadilan 
yang berupa:  tanggung-jawab, kebutuhan, kesanggupan, prestasi, historis, 
bahkan selera, kita tidaklah akan bingung jika menghadapi suatu keadaan yang 
menurut hasil observasi kita selayang pandang, perbandingan dua dan satu itu 
tidak cocok menurut kondisi suatu masyarakat tertentu. Yaitu suatu keadaan 
khusus dari masyarakat tertentu yang menyimpang dari yang normal. Perempuannya 
mencari nafkah, sedangkan yang laki-lakinya hanya mempertele burung perkutut di 
rumah. Kita tidaklah akan begitu saja jika melihat masyarakat yang tidak normal 
itu, lalu membuat resep yang gampangan, yaitu rumus: Jangan lihat ayat itu 
secara textual, melainkan lihatlah secara kontextual. 

Dengan pendekatan sistem kita tidaklah akan secara gampangan untuk 
mempertentangkan yang textual dengan yang kontextual. Dengan pendekatan sistem 
kita akan menjangkau bukan hanya sekadar yang kontextual saja, melainkan 
jangkauannya adalah yang konsepsional. Dengan konfigurasi ayat di atas rasio, 
akal dituntun oleh wahyu dan pendekatan sistem yang konsepsional, kita akan 
melihat bahwa nilai keadilan, maupun nilai kepemimpinan yang memberikan corak 
pada hukum faraidh, dua berbanding satu, tidak ada pertentangan antara yang 
textual dengan yang kontextual.

Menurut nilai utama dalam hal kepemimpinan, laki-laki yang memimpin perempuan, 
maka dalam sebuah rumah tangga, laki-lakilah penanggung jawab secara 
keseluruhan. Termasuklah di sini antara lain tanggung jawab memberi nafkah anak 
isteri. Dan menurut ketentuan hukum Islam, pihak isteri mempunyai hak penuh 
atas hak miliknya yang dibawa bersuami. Artinya sang isteri mempunyai kebebasan 
penuh dalam mengelola harta miliknya itu tanpa persetujuan suami. Berbeda 
misalnya dengan hukum barat, sang isteri tidak bebas untuk mengelola sendiri 
hak milik yang dibawanya dalam perkawinan. Di barat sang isteri harus minta 
persetujuan suaminya. 

Kesimpulannya, laki-laki sebagai penanggung jawab rumah tangga, isteri yang 
mempunyai hak penuh atas pengelolaan hak milik yang dibawanya, dengan 
perbandingan dua untuk laki-laki satu untuk perempuan, maka tercapailah 
keadilan, menempatkan hal itu pada tempatnya. Yaitu Laki-laki dapat dua bagian 
yang dibawa beristeri untuk dipakai membiayai anak isteri, sedangkan yang 
perempuan dapat satu bagian yang dibawa bersuami, tidak dibebani apa-apa, 
selain dirinya sendiri.  

Lalu bagaimana dengan permasalahan yang pernah dikemukakan Munawir Syadzali di 
Jawa Tengah itu? Jawabannya itu adalah distorsi. Masyarakat yang menyimpang itu 
harus diluruskan dengan Social Engineering, yang mekanismenya utamanya dalam 
bidang hukum, peraturan perundang-undangan. Sekadar tambahan informasi, Social 
Engineering, adalah suatu upaya mengubah kondisi masyarakat agar sesuai dengan 
tatanan yang diinginkan. Dan ini jangan dikacaukan dengan Societal Engineering, 
yaitu engineering yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Jadi Social 
Engineering termasuk dalam ruang lingkup Ilmu-Ilmu sosial, sedangkan Societal 
Engineering termasuk dalam ilmu-ilmu keteknikan (engineering). WaLlahu a'lamu 
bishshswab.

*** Makassar, 8 November 1992
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1992/08/054-textual-kontextual-konsepsional.html



----- Original Message ----- 
From: "Abdul Muiz عبد اÙ"Ù.عز" <mui...@yahoo.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Monday, August 09, 2010 10:05
Subject: Teologi Islam ttg perempuan Re: Bls: [wanita-muslimah] Kritik Siti 
Musdah Mulia

Abah HMNA,

kalau membaca penafsiran abah HMNA seri 329 mengenai tentang penciptaan manusia 
dan laki-laki (QS 4:1) dan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS 4:34) 
tidak jauh berbeda dengan kubu islam liberal atau paling tidak ada semacam 
irisan yang membesar antara pandangan Abah HMNA dengan kubu Islam liberal.

Yang seringkali dimunculkan wacana publik baik oleh kaum islam liberal maupun 
feminis sebagai sasaran kritik adalah ayat-ayat qs atau hadits berikut :
##################################################################################
HMNA:
"Islam" liberal pakai postulat produk akal manusia sebagai landasan untuk 
mengrikiti Wahyu. "Islam" liberal menempatkan akal mengatasi Wahyu. "Islam" 
liberal merasa lebih pintar dari Allah. Na'udzu biLlah min dzalik, na'uwdzu 
biLlahi mina sysyaythani rrajiym.
Pada pokoknya, 
Akal harus ditempatkan di bawah Wahyu. Ilmu, filsafat dan tasawuf harus 
ditempatkan di bawah Iman, singkatnya Wahyu di atas akal dan Iman di atas ilmu.
###########################################################################.


1) nilai bagian warisan laki-laki lebih banyak daripada kaum perempuan (QS 
4:11,12,176) dan hadits Nabi, "Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum waris 
yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan 
surga",(muttafak alaih) seringkali pertanyaan yang dimunculkan adalah fenomena 
sosial kultur barat apakah harus diubah mengikuti kultur arab agar sejalan 
dengan bunyi text al qur'an ? atau text qur'an direinterpretasi tanpa mengubah 
kultur barat ?##################################################
HMNA:
Sudah dijawab oleh Seri 054 di atas.
###########################################################################.


2) nilai kesaksian satu laki-laki disetarakan dengan dua perempuan (QS 2:282) 
benarkah fakta psikologis mendukung bahwa kaum pria lebih unggul dalam hal 
memberikan kesaksian dibanding kaum perempuan di ranah pengadilan ?? 
###################################################################################
HMNA:
Pertanyaan ini hanya timbul bagi mereka yang menempatkan Wahyu di bawah 
akalnya, yang merasa lebih pintar dari Allah. Na'udzu biLlah min dzalik, 
na'uwdzu biLlahi mina sysyaythani rrajiym.
Saya ulangi:
Akal harus ditempatkan di bawah Wahyu. Ilmu, filsafat dan tasawuf harus 
ditempatkan di bawah Iman, singkatnya Wahyu di atas akal dan Iman di atas ilmu.
####################################################################################


Dari segi kajian fiqh di kalangan ulama' madzhab juga belum ada kesepakatan 
nilai kesaksian satu laki-laki disetarakan dengan dua perempuan dalam hal kasus 
apa : Imam Hanafi misalnya hanya setuju untuk kasu nikah, talaq, hiwalah, 
wakaf, wasiat, hibah, ikrar, ibra', kelahiran, nasab. 
###########################################################################
HMNA:
Perbedaan pendapat kalangan ulama bukan dalam hal jumlah melainkan dalam hal 
apa saja perempuan bisa bersaksi.
###########################################################################

Selain ini boleh saja menyetarakan satu pria dan satu perempuan.
###################################################################
HMNA:
Ini pendapat imam siapa?
################################################################

 Imam Malaiki, Syafi'i, dan hanbali beda lagi pendapatnya, kesetaraan satu pria 
dengan dua wanita adalah untuk jual beli, sewa, hibah, gadai, dan kafalah lihat 
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Nilai%20Pembuktian%20Saksi%20Perempuan%20dalam%20Hukum%20Islam.pdf
#######################################################################
HMNA:
1. Saya kutip dari Situs di atas ts.: "Adapun dalam masalah had zina ulama 
bersepakat bahwa masalah tersebut hanya dapat ditetapkan minimal dengan 
kesaksian empat orang laki-laki yang merdeka, adil, dan beragama Islam." Itu 
tidak lengkap, seharusnya ditambah dengan: KESAKSIAN/PENGAKUAN dari yang 
berzina. Seperti dalam kasus pengakuan Cut Tari bahwa memang ia telah berzina 
dengan Ariel, maka pengakuan tsb menurut Hukum Islam, itu sudah sah mnjadi alat 
bulti.
2. Kesimpulan Penulis adalah mengkopi pandangan para Penulis yang ia jadikan 
referens, seperti dari penganut "Islam" Liberal: Taufik Adnan Amal, Asghar Ali 
Engineer, Fazlur Rahman, Nasaruddin Umar, bahkan dari yang liberal tanpa 
"Islam", Amina Wadud.
###################################################################################.
  


3) Hadits Nabi sbb : Wanita cerdik di antara mereka bertanya, "Wahai 
Rasulullah, mengapakah kebanyakan dari kami menjadi mayoritas penghuni neraka?" 
Beliau menjawab, "(Karena) kalian sering melaknat dan mengingkari (kebaikan) 
suami, dan tidaklah aku pernah melihat (seorang) di antara kalian para wanita 
yang kurang akal serta agamanya, lebih berakal dari (seorang laki-laki) yang 
berakal". Wanita itu bertanya lagi, "Apa maksud dari kurangnya akal dan agama?" 
Beliau pun menjawab, "Adapun kelemahan akal. karena persaksian dua orang wanita 
sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Inilah (tanda) kurangnya akal, 
serta kalian berdiam selama beberapa hari tidak melaksanakan shalat, serta 
berbuka di (siang hari) Ramadhan. Inilah (indikasi) kurangnya agama. (HR Muslim)

Bagaimana menurut Abah HMNA ??
################################################################################
HMNA:
Al-Quran adalah Wahyu Verbal dan Hadits Shahih adalah Wahyu Non-Verbal. Saya 
ulangi: Akal harus ditempatkan di bawah Wahyu. Ilmu, filsafat dan tasawuf harus 
ditempatkan di bawah Iman, singkatnya Wahyu di atas akal dan Iman di atas ilmu.
Yang meragukan Hadits tsb merasa lebih pintar dari RasuluLlah SAW. Na'udzu 
biLlah min dzalik, na'uwdzu biLlahi mina sysyaythani rrajiym.
##############################################################################. 


Wassalam
Abdul Mu'iz

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "H. M. Nur Abdurahman" 
<mnur.abdurrah...@...> wrote:
>
> BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
> 
> WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
> [Kolom Tetap Harian Fajar]
> 329. Bukan Theologis Melainkan Sosio-Historis-Kultural
> 
> Partai-partai politik dalam era reformasi ini pada bermunculan, di antaranya 
> Partai Perempuan yang diprakarsai oleh novelis La Rose dan Titi Said. Hemat 
> saya, boleh jadi munculnya Partai Perempuan ini yang antara lain menimbulkan 
> inspirasi dari Kohati Korkom UMI. Yaitu pada hari Kamis 2 Juli 1998 Kohati 
> Korkom UMI menyelenggarakan Dialog Kemuslimahan bertempat di Kampus UMI. Saya 
> mendapat amanah memberikan sekapur sirih. Amanah ini saya terima dalam rangka 
> memperingati Mawlud Nabi Muhammad SAW. Saya padatkan sajian sekapur sirih itu 
> seperti berikut.
> 
> Secara sosio-historis-kultural dalam dunia Islam ada dua pandangan yang 
> saling bertolak belakang di mata kaum laki-laki mengenai aktivitas perempuan 
> "di luar rumah" terutama bagi yang sudah bersuami. Ada yang membolehkan ada 
> yang menolak. Bahkan tidak kurang jumlahnya dari pihak perempuanpun pasrah 
> menerima statusnya dan mencoba berupaya mencintai dan menyenangi kedudukannya 
> sebagai makhluk manusia nomor dua dengan alasan theologis menurut anggapan 
> mereka.
> 
> Sebenarnya pandangan bahwa kaum perempuan adalah sub-ordinat dari kaum 
> laki-laki bertolak dari kisah bahwa Sitti Hawa itu diciptakan Allah dari 
> tulang rusuk Adam yang dicabut tatkala Adam sedang tidur.(*) Bahkan Sitti 
> Hawa dari tulang rusuk Adam ini dijadikan sebagai justifikasi theologis ilmu 
> kejantanan (kaburu'neang) dalam kalangan suku Bugis Makassar, agar kemana 
> saja pergi harus menyisipkan badik di pinggang. Karena belum sempurna sifat 
> jantan dalam dirinya apabila tulang rusuk yang hilang itu tidak disubstitusi 
> dengan badik.
> 
> Sikap pasrah sebagian perempuan sebagai sub-ordinat ini timbul, oleh karena 
> secara theologis mereka merasa bersalah kepada laki-laki. Sitti Hawalah yang 
> mempengaruhi membujuk bahkan merengek Adam supaya makan buah larangan. (Iblis 
> menamakan buah larangan ini dengan buah khuldi, artinya buah kekekalan, 
> khuldi dari akar Kha, Lam, Dal artinya kekal).
> 
> Sebenarnya kisah di atas itu bersumber dari Israiliyat, yaitu produk budaya 
> bangsa Israil, yang tidak berasal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada 
> Nabi Musa AS. Di dalam Al Quran tidak ada disebutkan bahwa Sitti Hawa dari 
> tulang rusuk Adam. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim 
> memang ada disebutkan bahwa perempuan (bukan Sitti Hawa!) dari tulang rusuk 
> (tidak disebutkan dari rusuknya Adam!). Hadits adalah penjelasan Al Quran, 
> akan tetapi tidak menambah substansi. Jadi perempuan dari tulang rusuk, AL 
> Mar.atu min Dhil'In, adalah metaphoris. Apapula jika dibaca Hadits itu secara 
> lengkap, yang artinya: perlakukanlah perempuan itu dengan bijak, karena 
> perempuan itu dari (baca: bersifat) tulang rusuk. Kalau dibiarkan ia bengkok, 
> kalau dikerasi ia patah.
> 
> Kaum perempuan tidak usah dibayang-bayangi rasa bersalah karena Sitti Hawa 
> telah membujuk Adam makan buah larangan, sebab di dalam Al Quran Allah 
> berfirman:
> 
> FaazaLlahuma sysyaytha-nu (S. Al Baqarah, 2:36), maka syaytan menipu keduanya.
> 
> Ayat (2:36) menjelaskan bahwa tidak ada diskriminasi atas Adam dan Sitti 
> Hawa, yaitu keduanya (huma-) sama-sama bersalah.
> 
> Jelaslah bahwa kedudukan diskriminatif perempuan sebagai sub-ordinat 
> laki-laki (wanita dijajah pria sejak dulu menurut nyanyian Sabda Alam), 
> bukanlah bertumpu pada alasan theologis, melainkan hanya bersifat 
> sosio-historis-kultural.
> 
> Memang dari segi jasmani ada perbedaan laki-laki dengan perempuan, sebab pada 
> laki-laki normal hormon jantannya 60%, sedangkan hormon betinanya hanya 40%, 
> sedangkan sebaliknya pada perempuan normal hormon betinanya yang 60%, 
> sedangkan hormon jantannya hanya 40%. Hormon jantan sifatnya keras aktif, 
> hormon betina sifatnya lembut pasif, secara nafsani yang jantan merasa 
> melindungi dan betina merasa dilindungi. Itulah sebabnya dalam konteks 
> kehidupan berumah tangga berlaku qaidah: ar rija-Lu qawwa-muwNna 'ala 
> nnisa-i, laki-laki (baca: suami) itu pemimpin atas perempuan (baca: isteri). 
> Suami adalah Kepala Negara, isteri adalah Menteri Dalam Negeri. Juga di dalam 
> lapangan bulu tangkis perempuan game pada angka 11, sedangkan laki-laki pada 
> angka 15.
> 
> Akan tetapi secara nafsani dan ruhani tidak ada perbedaan antara laki-laki 
> dengan perempuan, yang secara eksplisit dinyatakan oleh Firman Allah:
> 
> Inna lmuslimi-na wa Lmuslima-ti wa lmu'mini-na wa lmu'mina-ti wa lqa-niti-na 
> wa lqa-nita-ti wa shsha-diqi-na wa shsha-diqa-ti wa shsha-biri-na wa 
> shshabira-ti wa lkha-syi-i-na wa lkha-syi'a-ti wa lmutashaddiqi-na wa 
> lmutashaddiqa-ti wa shsha-imi-na wa shsha-ima-ti wa lha-fizhi-na furu-jahum 
> wa lha-fizha-ti wa dzdza-kiri-naLla-ha katsi-ran wa dza-kira-ti a'addaLla-hu 
> maghfiratan wa ajran 'azhi-man (S. Al Ahza-b, 33:35).
> 
> yang artinya: Sesungguhnya orang-orang Islam laki-laki dan orang-orang Islam 
> perempuan, orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan, 
> orang-orang taat laki-laki dan orang-orang taat perempuan, orang-orang benar 
> laki-laki dan orang-orang benar perempuan, orang-orang sabar laki-laki dan 
> orang-orang sabar perempuan, orang-orang khusyu' laki-laki dan orang-orang 
> khusyu' perempuan, orang-orang dermawan laki-laki dan orang-orang dermawan 
> perempuan, orang-orang berpuasa laki-laki dan orang-orang berpuasa perempuan, 
> orang-orang laki-laki yang memelihara kesuciannya dan orang-orang perempuan 
> yang memelihara kesuciannya, orang-orang laki-laki yang berzikir 
> banyak-banyak dan orang-orang perempuan yang berzikir, maka Allah menyediakan 
> bagi mereka pahala yang besar.
> 
> Alhasil para muslimat dapat saja aktif berpolitik dengan persyaratan memiliki 
> sifat-sifat terpuji menurut ayat (33:35) dan bagi yang telah berumah tangga 
> sanggup membagi waktunya dan mendapat izin dari suaminya. Bahkan dapat pula 
> mendirikan Partai Muslimat yang berasaskan Islam, mengapa tidak ?! WaLla-hu 
> a'lamu bishshawab.
> 
> *** Makassar, 5 Juli 1998
>    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
> http://waii-hmna.blogspot.com/1998/07/329-bukan-theologis-melainkan-sosio.html

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke