Biar tidak terlalu panjang, saya ringkaskan dengan model tanya jawab :

Abdul Mu'iz : nilai bagian warisan laki-laki lebih banyak daripada kaum 
perempuan (QS 4:11,12,176) dan hadits Nabi, "Barangsiapa yang tidak menerapkan 
hukum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan 
surga"(muttafak alaih) seringkali pertanyaan yang dimunculkan adalah fenomena 
sosial kultur barat apakah harus diubah mengikuti kultur arab agar sejalan 
dengan bunyi text al qur'an ? atau text qur'an direinterpretasi tanpa mengubah 
kultur barat 

abah HMNA : Sudah dijawab oleh Seri 054

Abdul Mu'iz : Setujukah abah HMNA bahwa perbedaan warisan laki-laki dan 
perempuan karena berdasarkan gender ?? bukan berdasarkan kodrat ?? Kalau gender 
adalah construct social, bukankah al qur'an turun ke bumi tidak hampa budaya 
(kultur) ?? Di arab, tentu saja karena perempuan diposisikan sebagai ibu rumah 
tangga sementara kaum pria mengambil posisi di luar rumah, pencari nafkah, maka 
terbentuklah contruct social yang wajar saja apabila di arab masa itu (era 
turunnya wahyu) diakomodir oleh Qur'an dengan pembagian yang lebih banyak 
kepada kaum pria.

abah HMNA : Pertanyaan ini === nilai kesaksian satu laki-laki disetarakan 
dengan dua perempuan (QS 2:282) benarkah fakta psikologis mendukung bahwa kaum 
pria lebih unggul dalam hal memberikan kesaksian dibanding kaum perempuan di 
ranah pengadilan ?? === hanya timbul bagi mereka yang menempatkan Wahyu di 
bawah akalnya, yang merasa lebih pintar dari Allah. Na'udzu biLlah min dzalik, 
na'uwdzu biLlahi mina sysyaythani rrajiym. Saya ulangi: Akal harus ditempatkan 
di bawah Wahyu. Ilmu, filsafat dan tasawuf harus ditempatkan di bawah Iman, 
singkatnya Wahyu di atas akal dan Iman di atas ilmu.

Abdul Mu'iz : Saya justru tidak mempersoalkan melihat apa di atas apa ? Cobalah 
berbaik sangka bahwa semua orang di hadapan Tuhan tidak akan sombong, hanya 
mencoba menakar atau mempraktekkan wahyu secara kritis, jadi jangan hanya 
karena berbeda melihat dengan pemahaman abah HMNA lantas dipressure dengan 
stempel "akalnya mendegradasi wahyu" atau "mengikuti hawa nafsu". Saya lebih 
melihat qur'an itu tidaklah hampa budaya mencoba mengakomadasi construct social 
di arab masa itu (bahkan sampai sekarang pun construct social yang seperti itu 
tidak berubah) yang menempatkan perempuan tidak diberi kesempatan yang sama 
untuk tampil di ranah publik, sehingga dua perempuan dipandang setara dengan 
satu laki-laki adalah hal yang bisa diterima kultur arab. Apakah kalau 
construct social berubah yakni perempuan juga diberi kesempatan yang sama 
dengan kaum pria di ranah public tidak boleh juga mereinterpretasi al qur'an ?? 
Bukankah terbukti banyak mahasiswi yang berpretasi tinggi (IP tertinggi) 
mengalahkan mahasiswa ?, ketua osis, senat mahasiswa, direktris perusahaan 
besar maupun kecil dsb tidak jarang diisi kaum perempuan dan sukses  ?? dan 
karyawannya yang berjenis kelamin laki-laki tidak mempersoalkan dipimpin 
perempuan ?? Bagaimana Abah melihat fenomena ini ?? 

Abah HMNA : Perbedaan pendapat kalangan ulama bukan dalam hal jumlah melainkan 
dalam hal apa saja perempuan bisa bersaksi. === Selain ini boleh saja 
menyetarakan satu pria dan satu perempuan. === Ini pendapat imam siapa?

Abdul Mu'iz : lho abah tidak membaca link saya (=== 
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Nilai%20Pembuktian%20Saksi%20Perempuan%20dalam%20Hukum%20Islam.pdf
 ===)secara tuntas ?? yang penulis di link tsb adalah calon hakim pengadilan 
agama Yogyakarta (Muhammad Isna Wahyudi), dia yang menyimpulkan dari imam 
madzhab tsb bahwa di luar area kasus bersaksi, seperti menentukan masa haid, 
keperawanan, kelahiran, penyusuan wanita jelas lebih tahu dan faham daripada 
laki-laki.

Abah HMNA : 1. Saya kutip dari Situs di atas ts.: "Adapun dalam masalah had 
zina ulama bersepakat bahwa masalah tersebut hanya dapat ditetapkan minimal 
dengan kesaksian empat orang laki-laki yang merdeka, adil, dan beragama Islam." 
Itu tidak lengkap, seharusnya ditambah dengan: KESAKSIAN/PENGAKUAN dari yang 
berzina. Seperti dalam kasus pengakuan Cut Tari bahwa memang ia telah berzina 
dengan Ariel, maka pengakuan tsb menurut Hukum Islam, itu sudah sah mnjadi alat 
bulti. 2. Kesimpulan Penulis adalah mengkopi pandangan para Penulis yang ia 
jadikan referens, seperti dari penganut "Islam" Liberal: Taufik Adnan Amal, 
Asghar Ali Engineer, Fazlur Rahman, Nasaruddin Umar, bahkan dari yang liberal 
tanpa "Islam", Amina Wadud.

Abdul Mu'iz : untu soal pertama, ketidaklengkapan kesaksian kasus zina di 
samping 4 orang laki-laki yang merdeka, adil dan beragama islam bisa diterima 
kalau Abah HMNA melengkapi dengan kesaksian si pezina perempuan. Namun untuk 
soal yang kedua, tentang kesimpulan penulis yang mencopy paste padangan 
liberal, rasanya kok sulit banget ya mencermati atau menangkis pemahaman 
berbeda dengan kepala dingin dan jujur, mengapa harus melihat siapa yang 
dijadikan rujukan, mengapa tidak kita bahas saja substansi yang dipersoalkan. 
Bukankah al hikmah itu bisa datang dari mana saja ?? Qur'an saja sanggup 
menampilkan tokoh Luqman Harun padahal dari back ground kelas bawah (budah 
hitam legam, berbibir tebal). Bagaimana kalau fokus ke substansi opini bukan 
mempersoalkan asal referensi ??

Abah HMNA : Al-Quran adalah Wahyu Verbal dan Hadits Shahih adalah Wahyu 
Non-Verbal. Saya ulangi: Akal harus ditempatkan di bawah Wahyu. Ilmu, filsafat 
dan tasawuf harus ditempatkan di bawah Iman, singkatnya Wahyu di atas akal dan 
Iman di atas ilmu. Yang meragukan Hadits tsb merasa lebih pintar dari 
RasuluLlah SAW. Na'udzu biLlah min dzalik, na'uwdzu biLlahi mina sysyaythani 
rrajiym.

Abdul Mu'iz : lho hadits kok disebut wahyu non verbal sih ?? saya kok lebih 
setuju Qur'an adalah wahyu verbal yang isinya amat global, sementara hadits 
adalah juklah (petunjuk pelaksanaan) dari Nabi Utusan Tuhan agar pesan ilahi 
lebih implemented. Sekali lagi saya menghimbau jangan hanya karena pemahaman 
yang berbeda lantas dipressure dengan lebel "meragukan hadits" atau "merasa 
lebih pintar dari Rasulullah" dsb. Persoalannya adalah mana ayat-ayat ilahi 
yang khas kultur arab dana mana ayat-ayat ilahi yang berlaku universal tanpa 
terikat kultur atau construct social tertentu ?? (semoga abah HMNA berkenan, 
mohon maaf bila ada salah dan khilaf).

Reply via email to