Mari kita bicara tentang Cinta-1

(Teman kita ngomong cinta yah biar peace...)

Pernah baca keindahan cinta kisah „Burung-burung Manyar" Yusuf
Bilyarta Mangunwijaya? Atau kelembutan cinta „Di Bawah Lindungan
Kabah" Haji Ammirudin Karim Amrulloh? Atau keagungan cinta
„Sayap-Sayap Patah" Gibran Khalil Gibran?

Diperlukan persediaan air mata yang cukup saat memahami bait demi bait
makna cintanya. Diperlukan dada yang lapang untuk menahan gejolak
emosi yang bersatu padu dalam pacuan aliran darah kita. Dibutuhkan
hati yang lembut untuk dapat memaknai keindahannya.

Membaca „Burung-burung Manyar", „Di Bawah Lindungan Kabah" atau
„Sayap-sayap Patah" membuat saya selalu merenung lama dalam diam.
Telah puluhan tahun, untuk pertama kalinya saya menyelesaikan bacaan
karya apik itu. Puluhan kali pula saya tidak pernah bosan untuk
mengulangnya. Tapi saya selalu gagal untuk menangkap makna hakiki
citra sejati dari cinta.

Cinta, apakah rangkaian kata kita mampu memaknai kedalaman maknanya?
Apakah kejernihan pikiran kita mampu menghitung kalkulasi logis
kedasyahatan kekuatannya? Apakah kekuatan dan keindahan karya sastra
mampu mengimbangi kekuatan dan keindahannya? Saya tidak pernah sanggup
menjawabnya.

Tapi ada satu yang membuat saya bergitu terluka ketika membaca ketiga
karya agung tersebut diatas tentang perwujudan sebuah cinta. YB
Mangunwijaya begitu dingin menghempaskan arti cinta: dia membunuh Atik
„Prendjak" Larasati dalam sebuah kecelakaan sehingga „Teto" Setadewa
tidak pernah diberi kesempatan mewujudkan citra cintanya.

HAMKA terkenal sebagai tokoh ulama dan sastra yang begitu santun dan
lembutpun, ketika bicara cinta berubah menjadi sosok yang tega
membunuh kekasih wanitanya. Dibiarkan cinta musafir pengelana
terhempas karena kekasihnya wafat dalam penantian tugas suci.
Dibiarkan sang musafir terluka dan harus menangis memohon kekuatan
Tuhan dalam lindungan suci Baitul Kabah. Agar mendapatkan kekuatan
akibat kehilangan besar yang dideritanya, kehilangan kekasihnya.

Gibran Khalil Gibran pun tidak kalah sadis. Dia bunuh bidadari
impiannya Salma yang terkasih dalam sebuah sakit yang menderita.

Mengapa ketiga tokoh yang begitu santun berubah menjadi sadis ketika
mereka menulis tentang cinta?

Suatu ketika saya pernah bertemu dengan penyair sufi Taufik Ismail.
Ketika saya bertanya tentang makna cinta, jawabnya benar-benar
menggetarkan hati saya. „Keagungan sebuah cinta terletak dari
kegagalan kita mendapatkan kekasih yang kita cintai", begitu katanya
dengan senyum lembut tapi menghujam tajam bagai pisau bedah dingin
seorang dokter profesional membelah hati saya.

Benarkah demikian?

Penyair Sufi Jalaludin Rumi menulis indah dalam „Kado Sang Pencinta",
menjawab tegas tidak. Cinta agung tetap bisa berwujud saling memiliki.
Tapi tidak berarti memiliki secara phisik. Dia bisa saling memiliki
secara spirit. Bukankah cinta adalah a materi? Jadi kepemilikan hakiki
dari cintapun bukan kepemilikan materi. Bukan kepemilikan phisik dari
orang yang dicintai. Tapi kepemilikan spirit. Energi. Semangat. Dan
siapapun yang terkena cinta suci dia akan mewujud menjadi manusia yang
bijak. Manusia yang mendedikasikan karyanya tanpa pamrih pada orang
yang dicintainya dan juga buat siapapun yang membutuhkan bantuannya.

Ah sayang, Jalaludin Rumi terlalu sufi. Kedangkalan pengetahuan saya
tidak mampu menangkap sasmita rumit kebenaran yang diwartakan oleh
Jalaludin Rumi. Bagi saya keagungan suatu cinta diwujudkan dengan
memiliki secara phisik kekasih sejati belahan hati kita. Kebenaran
yang difatwakan oleh Jalaludin Rumi membuat saya semakin terluka…

Salam,

Ferizal Ramli

Kirim email ke