---terinspirasi dari sebuah legenda dongeng cinta Telenovela di masa
Eropa kegelapan---

(Lanjutin dongeng telenovela ah...)

Ksatria Redriguez marah dan terluka. Cinta indahnya terhempas secara
paksa. Seakan setengah dari paru-2 nya dicabut paksa dari tubuhnya.
Matanya gelap, hatinya guncang. Dia ingin menangis untuk pertama kali
dalam hidupnya sebagai lelaki karena kehilangan cintanya. Hanya saja,
egonya bicara bahwa seorang lelaki ksatria yang terluka itu pantang
menangis. 

Lelaki jika terluka harus diam ningrat seperti para aristrokat Jawa
yang mampu mengendalikan rasanya. Jika tidak mampu diam ningrat, maka
lebih baik meledakkan dunia dari pada menangis. Seperti Gunung Merapi
memuntahkan „wedus gembel"-nya. Seorang lelaki tidak boleh menangis
saat terluka!

Berlari gila menuju medan perang tanpa perhitungan. Kecuali dengan
satu keinginan: meledakan dunia! „Tidak perduli hidup atau mati",
teriak gilanya. Redriguez begitu terluka dalam marah untuk mampu
membuat kalkulasi-2 rasional. 

Mengamuk, mengamuk, tidak perduli, seperti Burung Phoenix pertarung
perkasa dalam kerentanan emosi labilnya. Sekelebat sebuah pedang
menyentuhnya, melumpuhkan Redriguez yang berperang kalap. Perlahan
tapi pasti kedua kaki sang Panglima tidak mampu lagi menahan tubuh
gagahnya…

Dalam detik-2 akhir kesadarannya, Redriguez mengadah lurus keatas.
Sadarlah dia bahwa matahari yang selama ini melindungi kemenangan
ternyata sudah tidak sudi lagi bersujud padanya. Matahari telah lama
berlalu meninggalkannya, karena matahari tidak pernah berpihak pada
kesalahan…

XXX

Kematian suami si buruk rupa adalah sebuah sasmita nyata bahwa hukuman
masa lalu Leonora telah berakhir… 

Dalam sebuah Altar Tuhan, Leonara bersimpuh khusus dalam doa. Doa atas
kisah cinta masa lalu dengan lelaki tangguh Redriguez. Doa atas
kematian Redriguez yang sayup-2 terdengar juga di telinganya,
kekalahan perang pasukan sang ksatria. 

Leonora berketetatapan hati untuk tidak akan mengganti cinta masa
lalunya terhadap sang Ksatria. Meskipun itu adalah cinta salah dan
telarang, cinta yang penuh estetika belaka, tapi itulah satu-2 nya
referensi cinta terindah yang pernah dimilikinya. Tersimpan rapih
dalam nurani terdalam. Tidak boleh ada yang tahu, karena keanggungan
cinta seorang wanita terletak dalam kemampuannya menyimpan misteri
cinta seumur hidupnya. Dan dengan memori cinta itulah yang membuatnya
mampu tetap hidup bertahan.

Diputuskan untuk menutupi tubuhnya dalam balutan jubah biara. Kepada
Tuhan lah semua perasaan atas kelihangan Redriguez akan
dipersembahkan. Seluruh hidupnya akan dipersembahkan untuk melawan
kemiskinan dan kebodohan. Sesuatu yang dulu membebani seluruh
hidupnya. Hanya saat cinta Tuhan telah menyatu dalam dirinya, maka
kemiskinan dan kebodohan telah berubah. Dia bukan lagi sebuah masalah.
Tapi dia telah berubah menjadi surga dakwah…   
    
XXX

Tangan lelaki kecil itu sedang berusaha menolong seorang budak yang
berdiri goyah. Leonora mendekati putra kecilnya. Terkejut. Ah, budak
yang ditolong oleh putranya, samar adalah wajah yang begitu lekat pada
masa lalunya…

Tapi kemanakah keyakinan teguh itu?, kemanakan sikap tegak ksatria
itu? Lelaki itu tidak lebih dari pada lelaki payah. Goyah tanpa
harapan. Lelaki dari masa lalu yang kalah. Bukan lagi seorang panglima
perang ksatria gagah. Dia tidak lebih orang kalah yang ingin cepat mati…

(Dilanjuti nanti lagi, harus tugas ke luar kota demi dapur ngebul
anak-istri. Siapa tahu nanti kesurupan Dewi Cinta sehingga dapat ilham
baru melanjutkan menulis. Klo ndak dapat ilham ya nyuwun sewu, jika
memang tertarik dengang dongeng cinta maka monggo dilanjutkan sesuai
selera pembaca masing-2 aja deh, ha…, ha…)

17.11.2008
Dari Kesunyian Tepian Lembah Sungai Isar,
Salam

Ferizal Ramli

--- In WongBanten@yahoogroups.com, "Ferizal Ramli" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> Mari Kita Bicara Cinta-2
> 
> ---terinspirasi dari sebuah legenda cinta Telenovela di masa Eropa
> kegelapan---
> 
> Entah kesalahan apa yang dilakukan oleh Leonora, terkecuali lahir dari
> tempat yang salah dan waktu yang salah. Sekat sosial kasta terendah.
> Dalam timbunan masalah. Dalam beban yang tidak ada lagi yang perduli
> berapa beratnya kecuali tanpa hak bertanya kenapa beban harus tetap
> dipikul, untuk dipikul. Dan, ditempat itulah Leonora terlahir dalam
> kutukan kecantikannya.
> 
> Dalam waktu dimana cita rasa kebodohan pekat yang mengganggap
> kecantikkan wanita adalah sebuah kekayaan keluarga. Masyarakat itulah
> Leonora tumbuh. Tumbuh besar mengembangkan bahasa citra dan cintanya.
> Tumbuh dalam keluarga besar bersatu dalam gubuk reyot, disertai irama
> derit-2 dipan reyot yang bergoyang pada malam harinya, sebagai
> ekspresi hasrat manusiawi diantara serakan dan tumpukan masalah.
> 
> Kelak ternyata diketahui bahwa kecantikan itu sebenarnya sebuah
> kutukan. Dingin dalam kalkulasi ekonomi, Leonora adalah sebuah asset
> yang dianggap menyelamatkan. Transaksi rasional, tanpa pernah
> diijinkan cinta menemukan citranya, Leonora membuat komitmen cinta
> atas nama Tuhan kepada seorang Don Priyayi Tua Bangka seumur hidupnya.
> 
> XXX
> 
> Rodriguez adalah kharisma ksatria panglima tangguh tanpa pernah
> terkalahkan. Berdiri tegak dalam keyakinan, bahkan Matahari pun akan
> bersujud padanya. Sebagai bentuk penghormatan atas keyakinan teguh
> seorang lelaki.
> 
> Sang Ksatria Panglima Rodriguez terdiam diatas kudanya, saat tidak
> sengaja kedua sorot matanya beradu menebus bola mata biru Leonora yang
> tanpa sengaja berjalan di hadapannya. Seketika itu juga semua berubah
> cepat. Bagai tsunami, kecantikan Leonora mengkreasi hasrat cinta
> estetika Sang Panglima.
> 
> Tanpa perduli siapa itu Leonora, istri seorang Don Priyayi Tua Bangka,
> Ksatria Redriguez menghempaskan semua etika kebenaran yang selama ini
> teguh digenggamnya untuk dipertukarkan dengan hasrat cinta
> estetikanya. Begitu perkasakah kelembutan seorang wanita sehingga dia
> bisa merubah keyakinan seorang pria yang kuat dalam sekejap?
> 
> Leonora yang hidup terhimpit sesak dalam kasta paria cinta, hampa
> kerontang, seketika melihat oase indah pemuas dahaga. Oase cinta
> estetika untuk pemuas hasrat kewanitaannya. Dibukakan pintu buat
> Redriguez. Dibiarkan Ksatria itu menyentuhnya. Mereka berdua
> memutuskan untuk melupakan ketaatannya atas norma, karena estetika
> cinta tahu bagaimana cara melanggarnya. Estetika cinta itu tahu persis
> bagaimana nurani kebenaran bisa didustai atas nama cinta.
> 
> XXX
> 
> Topan badai, Don Priyayi Tua Bangka tersentak saat halilitar
> mengabarkan citra hitam istri sahnya. Istri yang dia miliki diatas
> janji Altar Tuhan. Ego lelakinya terluka parah dan marah. Hukuman
> harus ditegakkan untuk membalut luka menganga pada egonya. Leonora
> dicerai dan harus menikah dengan seorang lelaki tua buruk rupa
> berpenyakitan, dan dari rahimnya harus terlahir seorang keturunan dari
> si buruk rupa.
> 
> Tertunduk ikhlas Leonora, diterimanya hukuman itu. Kesucian itu
> diperoleh bukan dari wanita yang tidak pernah melakukan kesalahan.
> Kesucian itu diperoleh dari wanita ikhlas menerima hukuman atas
> kesalahan ---begitulah nurani Leonora berbicara sebagai pelita. Dalam
> hari-2 berat, dalam tangisan bayi mungil mereka, didampinginnya si
> lelaki tua buruk rupa yang bernapas begitu berat sampai napas terakhir
> sang lelaki sunyi…
> 
> 
> 15.11.2008
> Dari Tepian Lembah Sungai Isar
> (Dilanjutin nanti, jalan-2 dulu, lha wong batere laptop-nya sudah mau
> habis je, mana musim winter jadi lebah sungainya dingin buanget…, hi…,
> hi…)
> 
> Salam
> 
> Ferizal Ramli
> 
> 
> --- In WongBanten@yahoogroups.com, "Ferizal Ramli" <framliz@> wrote:
> >
> > Mari kita bicara tentang Cinta-1
> > 
> > (Teman kita ngomong cinta yah biar peace...)
> > 
> > Pernah baca keindahan cinta kisah „Burung-burung Manyar" Yusuf
> > Bilyarta Mangunwijaya? Atau kelembutan cinta „Di Bawah Lindungan
> > Kabah" Haji Ammirudin Karim Amrulloh? Atau keagungan cinta
> > „Sayap-Sayap Patah" Gibran Khalil Gibran?
> > 
> > Diperlukan persediaan air mata yang cukup saat memahami bait demi bait
> > makna cintanya. Diperlukan dada yang lapang untuk menahan gejolak
> > emosi yang bersatu padu dalam pacuan aliran darah kita. Dibutuhkan
> > hati yang lembut untuk dapat memaknai keindahannya.
> > 
> > Membaca „Burung-burung Manyar", „Di Bawah Lindungan Kabah" atau
> > „Sayap-sayap Patah" membuat saya selalu merenung lama dalam diam.
> > Telah puluhan tahun, untuk pertama kalinya saya menyelesaikan bacaan
> > karya apik itu. Puluhan kali pula saya tidak pernah bosan untuk
> > mengulangnya. Tapi saya selalu gagal untuk menangkap makna hakiki
> > citra sejati dari cinta.
> > 
> > Cinta, apakah rangkaian kata kita mampu memaknai kedalaman maknanya?
> > Apakah kejernihan pikiran kita mampu menghitung kalkulasi logis
> > kedasyahatan kekuatannya? Apakah kekuatan dan keindahan karya sastra
> > mampu mengimbangi kekuatan dan keindahannya? Saya tidak pernah sanggup
> > menjawabnya.
> > 
> > Tapi ada satu yang membuat saya bergitu terluka ketika membaca ketiga
> > karya agung tersebut diatas tentang perwujudan sebuah cinta. YB
> > Mangunwijaya begitu dingin menghempaskan arti cinta: dia membunuh Atik
> > „Prendjak" Larasati dalam sebuah kecelakaan sehingga „Teto" Setadewa
> > tidak pernah diberi kesempatan mewujudkan citra cintanya.
> > 
> > HAMKA terkenal sebagai tokoh ulama dan sastra yang begitu santun dan
> > lembutpun, ketika bicara cinta berubah menjadi sosok yang tega
> > membunuh kekasih wanitanya. Dibiarkan cinta musafir pengelana
> > terhempas karena kekasihnya wafat dalam penantian tugas suci.
> > Dibiarkan sang musafir terluka dan harus menangis memohon kekuatan
> > Tuhan dalam lindungan suci Baitul Kabah. Agar mendapatkan kekuatan
> > akibat kehilangan besar yang dideritanya, kehilangan kekasihnya.
> > 
> > Gibran Khalil Gibran pun tidak kalah sadis. Dia bunuh bidadari
> > impiannya Salma yang terkasih dalam sebuah sakit yang menderita.
> > 
> > Mengapa ketiga tokoh yang begitu santun berubah menjadi sadis ketika
> > mereka menulis tentang cinta?
> > 
> > Suatu ketika saya pernah bertemu dengan penyair sufi Taufik Ismail.
> > Ketika saya bertanya tentang makna cinta, jawabnya benar-benar
> > menggetarkan hati saya. „Keagungan sebuah cinta terletak dari
> > kegagalan kita mendapatkan kekasih yang kita cintai", begitu katanya
> > dengan senyum lembut tapi menghujam tajam bagai pisau bedah dingin
> > seorang dokter profesional membelah hati saya.
> > 
> > Benarkah demikian?
> > 
> > Penyair Sufi Jalaludin Rumi menulis indah dalam „Kado Sang Pencinta",
> > menjawab tegas tidak. Cinta agung tetap bisa berwujud saling memiliki.
> > Tapi tidak berarti memiliki secara phisik. Dia bisa saling memiliki
> > secara spirit. Bukankah cinta adalah a materi? Jadi kepemilikan hakiki
> > dari cintapun bukan kepemilikan materi. Bukan kepemilikan phisik dari
> > orang yang dicintai. Tapi kepemilikan spirit. Energi. Semangat. Dan
> > siapapun yang terkena cinta suci dia akan mewujud menjadi manusia yang
> > bijak. Manusia yang mendedikasikan karyanya tanpa pamrih pada orang
> > yang dicintainya dan juga buat siapapun yang membutuhkan bantuannya.
> > 
> > Ah sayang, Jalaludin Rumi terlalu sufi. Kedangkalan pengetahuan saya
> > tidak mampu menangkap sasmita rumit kebenaran yang diwartakan oleh
> > Jalaludin Rumi. Bagi saya keagungan suatu cinta diwujudkan dengan
> > memiliki secara phisik kekasih sejati belahan hati kita. Kebenaran
> > yang difatwakan oleh Jalaludin Rumi membuat saya semakin terluka…
> > 
> > Salam,
> > 
> > Ferizal Ramli
> >
>


Reply via email to