maaf ada yang sedikit mengganjal tentang nama HAMKA, yang saya tahu namanya 
Haji Abdul Malik Karim Amrullah   
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah 

okay, lanjuuutttt. 
salam cinta dari lembah sungai ciliman

hilmi


--- On Sat, 11/15/08, Ferizal Ramli <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Ferizal Ramli <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [WongBanten] Mari kita bicara tentang Cinta-1
To: WongBanten@yahoogroups.com
Date: Saturday, November 15, 2008, 9:59 AM










    
            Mari kita bicara tentang Cinta-1



(Teman kita ngomong cinta yah biar peace...)



Pernah baca keindahan cinta kisah „Burung-burung Manyar" Yusuf

Bilyarta Mangunwijaya? Atau kelembutan cinta „Di Bawah Lindungan

Kabah" Haji Ammirudin Karim Amrulloh? Atau keagungan cinta

„Sayap-Sayap Patah" Gibran Khalil Gibran?



Diperlukan persediaan air mata yang cukup saat memahami bait demi bait

makna cintanya. Diperlukan dada yang lapang untuk menahan gejolak

emosi yang bersatu padu dalam pacuan aliran darah kita. Dibutuhkan

hati yang lembut untuk dapat memaknai keindahannya.



Membaca „Burung-burung Manyar", „Di Bawah Lindungan Kabah" atau

„Sayap-sayap Patah" membuat saya selalu merenung lama dalam diam.

Telah puluhan tahun, untuk pertama kalinya saya menyelesaikan bacaan

karya apik itu. Puluhan kali pula saya tidak pernah bosan untuk

mengulangnya. Tapi saya selalu gagal untuk menangkap makna hakiki

citra sejati dari cinta.



Cinta, apakah rangkaian kata kita mampu memaknai kedalaman maknanya?

Apakah kejernihan pikiran kita mampu menghitung kalkulasi logis

kedasyahatan kekuatannya? Apakah kekuatan dan keindahan karya sastra

mampu mengimbangi kekuatan dan keindahannya? Saya tidak pernah sanggup

menjawabnya.



Tapi ada satu yang membuat saya bergitu terluka ketika membaca ketiga

karya agung tersebut diatas tentang perwujudan sebuah cinta. YB

Mangunwijaya begitu dingin menghempaskan arti cinta: dia membunuh Atik

„Prendjak" Larasati dalam sebuah kecelakaan sehingga „Teto" Setadewa

tidak pernah diberi kesempatan mewujudkan citra cintanya.



HAMKA terkenal sebagai tokoh ulama dan sastra yang begitu santun dan

lembutpun, ketika bicara cinta berubah menjadi sosok yang tega

membunuh kekasih wanitanya. Dibiarkan cinta musafir pengelana

terhempas karena kekasihnya wafat dalam penantian tugas suci.

Dibiarkan sang musafir terluka dan harus menangis memohon kekuatan

Tuhan dalam lindungan suci Baitul Kabah. Agar mendapatkan kekuatan

akibat kehilangan besar yang dideritanya, kehilangan kekasihnya.



Gibran Khalil Gibran pun tidak kalah sadis. Dia bunuh bidadari

impiannya Salma yang terkasih dalam sebuah sakit yang menderita.



Mengapa ketiga tokoh yang begitu santun berubah menjadi sadis ketika

mereka menulis tentang cinta?



Suatu ketika saya pernah bertemu dengan penyair sufi Taufik Ismail.

Ketika saya bertanya tentang makna cinta, jawabnya benar-benar

menggetarkan hati saya. „Keagungan sebuah cinta terletak dari

kegagalan kita mendapatkan kekasih yang kita cintai", begitu katanya

dengan senyum lembut tapi menghujam tajam bagai pisau bedah dingin

seorang dokter profesional membelah hati saya.



Benarkah demikian?



Penyair Sufi Jalaludin Rumi menulis indah dalam „Kado Sang Pencinta",

menjawab tegas tidak. Cinta agung tetap bisa berwujud saling memiliki.

Tapi tidak berarti memiliki secara phisik. Dia bisa saling memiliki

secara spirit. Bukankah cinta adalah a materi? Jadi kepemilikan hakiki

dari cintapun bukan kepemilikan materi. Bukan kepemilikan phisik dari

orang yang dicintai. Tapi kepemilikan spirit. Energi. Semangat. Dan

siapapun yang terkena cinta suci dia akan mewujud menjadi manusia yang

bijak. Manusia yang mendedikasikan karyanya tanpa pamrih pada orang

yang dicintainya dan juga buat siapapun yang membutuhkan bantuannya.



Ah sayang, Jalaludin Rumi terlalu sufi. Kedangkalan pengetahuan saya

tidak mampu menangkap sasmita rumit kebenaran yang diwartakan oleh

Jalaludin Rumi. Bagi saya keagungan suatu cinta diwujudkan dengan

memiliki secara phisik kekasih sejati belahan hati kita. Kebenaran

yang difatwakan oleh Jalaludin Rumi membuat saya semakin terluka…



Salam,



Ferizal Ramli




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Reply via email to