wuih kang risyaf lebih ganas ternyata....



________________________________
From: Risyaf Ristiawan <[EMAIL PROTECTED]>
To: WongBanten@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, November 19, 2008 12:55:20 PM
Subject: Bls: Balasan: Re: [WongBanten] Fw: Empati


Mas Adji, urusan tulang ikan mah kecil, apalagi tulang kebo atawa sapi. kalo 
saya makan sehabis makan nasi plus lauk-pauknya disambung dengna makan piring. 
. Lumayan yang tadinya mo bayar jadi gratis, sabab yg punya warung nasi takut 
duluan. Ha..ha..ha..

 



________________________________
 Dari: Setiadji Achmad <setiadji.achmad@ yahoo.com>
Kepada: [EMAIL PROTECTED] ups.com
Terkirim: Rabu, 19 November, 2008 09:47:22
Topik: Re: Balasan: Re: [WongBanten] Fw: Empati


heheheheheh. ...maaf ya,,,abis tulangnya empuk2.enak buat disantap.
atau bisa saja supaya gak nyusahin pegawai di resto/tmpat makan,cukup menyantap 
semur jengkol,tahu/ tempe,sate bandeng dll yg tidak bertulang... ada gak ya 
makanan itu di resto2/rumahmakan cepat saji yg harganya selangit.... alias 
...muaahaaal bangeeeeeet. .




________________________________
 From: publikasi banten <warta_banten@ yahoo.co. id>
To: [EMAIL PROTECTED] ups.com
Sent: Wednesday, November 19, 2008 9:41:58 AM
Subject: Balasan: Re: [WongBanten] Fw: Empati


kata kucing dasar manusia keterlaluan, jatah gua dimakan juga .. hehehe...

Setiadji Achmad <setiadji.achmad@ yahoo.com> wrote:
kalo saya terbiasa makan sampai bersih,kadang tulangnya saya makan 
juga...sayang, kalo menyisakan makanan...hahahah




________________________________
 From: Abdul Latief <abdullatiefku@ gmail.com>
To: [EMAIL PROTECTED] ups.com
Sent: Wednesday, November 19, 2008 9:28:38 AM
Subject: [WongBanten] Fw: Empati


 



 
Dear all,

A nice article, good to share with others.
 
EMPATI
By: Andy F Noya

Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji
dikawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas.
Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas
karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap
melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.


Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang
menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula
yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.


Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari.
Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika
menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak
terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada.
Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya
terlalu asyik menyantap makanan.


Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak
terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan
sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa
saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat,
pemandangan tersebut menjadi istimewa.


Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang
dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru
saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang
berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik
perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.


Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas
meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah.
Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan 
remah-remah. 
Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.


Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan.
Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah
berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan
yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang
pelayan sekalipun.


Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa
makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta
anak-anak
melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah 
melakukannya. 
Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. 
Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah keluar negeri.
Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah
jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. 
Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.


Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita.
Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit.
Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan
besar sekali bagi para pelayan restoran.


Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti
besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk
membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka.
Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan
sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah disitu.


Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak
itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat.
Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan,
umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan.
Keteladanan kecil yang berdampak besar.


Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap
orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari
itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa
bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya.
Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. 
Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.


Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku "Chiken Soup", saya kerap
membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di
belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan
merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia
bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus
kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya
berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.


Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap 
hari. 
Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa 
bahagia 
dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.


Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata
"terima kasih" saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian.
Menurut dia, kata "terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat
orang lain senang. Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta bantuan
orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.


Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet,
bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. 
Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada 
mereka. 
Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. 
"Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?'' 
Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuahtulisan almarhum Romo Mangunwijaya. 
Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, 
saya segera teringat nasihat istri tersebut.


Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang 
lain bahagia. 
Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. 
Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di 
restoran cepat saji, 
kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.


Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar,
kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang
permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal
karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.


Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di
antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka
pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah
ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang
membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di
belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.


Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak
memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari
hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang 
juga. 


-- 

thankfully
farjuni"jujun" sofiyanto





The information transmitted is intended only for the person or the entity to 
which it is addressed and may contain confidential and/or privileged material. 
If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail 
and delete this message including any of its attachments from your system. Any 
use, review, reliance or dissemination of this message in whole or in part is 
strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. The 
views expressed herein do not necessarily represent those of PT Astra 
International Tbk and should not be construed as the views, offers or 
acceptances of PT Astra International Tbk.
 


________________________________
 Dapatkan alamat Email baru Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain! 

________________________________
 Berbagi foto Flickr dengan teman di dalam Messenger.
Jelajahi Yahoo! Messenger yang serba baru sekarang!      


      

Kirim email ke