Sedikit Penyempurnaan…

Agar tidak bias maka sesuai masukan saudara Eko Supriyadi (diusulkan melalui 
Blog saya), judul tulisan saya sedikit diubah dari yang tertulis sebelumnya:

"Bangsa Yang Terkena Sindroma Rhoma Irama" 

diubah judulnya menjadi:

"Bangsa Yang Terkena Sindroma FILM Rhoma Irama"

Salam hangat dan selamat berkarya,

Ferizal Ramli

--- In WongBanten@yahoogroups.com, "Ferizal Ramli" <fram...@...> wrote:
>
> http://ferizalramli.wordpress.com/
> 
> Wangsit Ngawur dari Mbah Gugel: Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama
> 
> Kala itu si jenius Karl Marx mendekati ajalnya. Tampak sahabatnya Friedrich 
> Engels menemaninya sampai hebusan nafas terakhir dari „Sang Nabi" Sosialis. 
> Engels dan Marx adalah contoh kolaborasi dan sinerji nyata antara milyader 
> dan intelektual.
> 
> Karl Marx adalah pemikir yang cemerlang, bahkan amat sangat cemerlang. 
> Kehidupan di dunia ini hanya „ditentukan" oleh dua pemikir besar yaitu Karl 
> Marx dan Adam Smith. (Saat menulis kata „ditentukan" menggunakan tanda kutip).
> 
> Kehidupan Marx hanya diisi dengan berpikir, berpikir dan berpikir. Seluruh 
> kebutuhan hidupnya dijamin oleh sahabatnya Engels, sang industriawan kaya 
> raya. Marx tidak pernah dibebani untuk cari uang agar bisa hidup. Tugas Marx 
> selama hidupnya cuma satu: melahirkan karya-karya Masterpiece!
> 
> Itulah tipikal kehidupan banyak intelektual di masyarakat Eropa. Para 
> industriawan, orang kaya, milyader tidak berbondong-2 menjadi politisi. Tidak 
> berbondong-2 menjadi caleg atau camen (calon menteri) atau capres atau 
> cawapres. Mereka justru mendedikasikan kekayaannya untuk berkolaborasi dengan 
> orang pandai agar bisa menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya. 
> 
> Para orang kaya menjadi penyumbang terbesar universitas, penjamin hidup dari 
> para intelektual. Para intelektual tersebut tidak lagi dipusingkan mencari 
> uang untuk sesuap nasi karena hidupnya telah dijamin oleh orang kaya. Para 
> intelektual fokus menghasilkan karya masterpiece. Para orang kaya ini bahkan 
> menyokong tokoh-2 idialis agar bisa menjadi pemimpin. Pada gilirannya negara 
> akan dipimpin oleh orang-2 yang baik dan cerdas. 
> 
> Tapi mengapa hal yang baik ini; fenomena kolaborasi antara orang pinter 
> idialis dengan orang kaya untuk menghasilkan karya terbaik bagi bangsanya 
> tidak terjadi di Indonesia? Mengapa hal ini tidak terjadi di masyarakat kita?
> 
> Sindroma Rhoma Irama! Sindroma Rhoma Irama lah yang menjadi jawabannya!
> 
> XXX
> 
> Ingatkah saat kanak-kanak dengan tokoh pujaan kita Rhoma Irama di tahun 70-an 
> sampai pertengahan 80-an?  Lagu Darah Muda, Begadang, Lari Pagi, dll adalah 
> lagu-2 legendaris karya Rhoma Irama. 
> 
> Ingatkah film-2 yang dilakoninya? Saat main Film sang tokoh pujaan kita ini 
> selalu menjadi lakon jagoan yang baik. Jago nyanyi. Jago musik. Tokoh sukses 
> yang kaya. Ustadz, pendakwah. Selalu menjadi pemimpin yang mengayomi anak 
> buahnya. Cerdas dengan ide-idenya. Jantan, jago berantem dan bela diri. 
> Dikelilingi oleh para wanita cantik, dsb…, dsb… 
> 
> Pokoknya semua atribut estetika keduniawiaan menyatu dalam diri Rhoma Irama 
> seorang. Sementara orang disekitar Rhoma Irama hanya akan jadi obyek 
> penggembira. Yang mereka harus ada sebagai pembanding antara si sukses dengan 
> si papa. Mereka harus ada untuk memuja sang Tokoh.
> 
> Dan kita, para penonton film Rhoma Irama, akan terkagum-kagum akan lakon 
> sukses sang jagoan. Sambil bermimpi untuk juga memiliki seluruh atribut 
> estetika tersebut: ingin terlihat kaya, sekaligus ingin terlihat sukses, 
> sekaligus ingin dianggap sebagai pendakwah, sekaligus ingin menjadi pemimpin, 
> sekaligus ingin dianggap intelektual pinter, sekaligus ingin terlihat gagah 
> dan jantan serta juga ingin dipuja oleh para wanita cantik.
> 
> Figur dengan atribut estetika duniawi inilah yang tampaknya menjadi obsesi 
> besar bagi banyak diantara kita. Khayalan Rhoma Irama yang diekspresikan 
> dalam film tersebut ternyata menjadi obsesi buat banyak diantara kita. 
> 
> Inilah yang dinamakan sindroma Rhoma Irama; terlalu tinggi mengukur dan 
> memuja diri sehingga ingin memiliki segalanya.
> 
> XXX
> 
> Saat seorang kaya raya maka yang dilakukannya adalah mengejar posisi jadi 
> menteri atau bahkan presiden. Tidak peduli apakah dia berbakat menjadi 
> pemimpin visioner atau tidak, tapi rasanya belum terlihat sempurna jika belum 
> menjadi pejabat publik. 
> 
> Saat seseorang punya kesempatan menjadi pemimpin atau anggota legislatif maka 
> yang dilakukannya adalah berusaha menjadi kaya. Aksesori keduniawiannya harus 
> berubah. Harus selevel dengan para industriawan sukses atau para eksekutif-2 
> perusahaan papan atas. Kalau perlu ikut juga mengkoleksi mobil mewah plus 
> wanita cantik sebagai simbol suksesnya.  
>   
> Saat seorang yang lulusan Akabri justru bersusah payah mengejar gelar 
> akademik biar dianggap sebagai Militer Pemikir. Jika gelar diperoleh dengan 
> cara sah masih bolehlah. Ironisnya, banyak diantaranya mengambil gelar Doktor 
> dari Doktor Paket Program Malam atau Doktor Paket Program Universitas Rumah 
> Toko. 
> 
> Saat orang sipil yang biasa-biasa aja. Agar terlihat gagah dan perkasa 
> memakai seragam yang atributnya mirip-mirip militer. Atas nama Satgas atau 
> Garda Republik Pembela Bangsa atau  apalah namanya, yang penting terlihat 
> macho, gagah dan jantan!
> 
> Ini adalah sindroma Rhoma Irama…
> 
> XXX
> 
> Mengapa para industriawan atau pengusaha kaya ini tidak mendedikasikan 
> kekayaannya untuk mendukung para pemimpin idialis untuk pemimpin publik? 
> Mengapa tidak mendukung para intelektual agar menghasilkan karya-karya agung? 
> Mengapa tidak mendedikasikan hartanya untuk membantu universitas-2 negeri ini 
> menjadi berkelas dunia?
> 
> Mengapa pula para orang pinter yang duduk di kursi pemimpin harus memaksakan 
> diri agar terlihat sukses dan kaya bergaya perlente bak para industriawan dan 
> pengusaha? 
> 
> Mengapa para intelektual pinter, doktor dari universitas reputasi tinggi yang 
> mampu membuat paten berkelas dunia bukannya malah fokus dengan pengembangan 
> ilmunya, tapi malah maju menjadi caleg partai politik? 
> 
> Tidak kah kita menyadari bahwa seorang yang berbakat mencetak profit itu 
> belum tentu seorang pemimpin yang visioner?
> 
> Tidak kah kita menyadari bahwa kursi kepemimpinan itu bukan untuk mencari 
> kaya raya. Karena jika kaya, bukan menjadi politisi tapi menjadi eksekutif 
> atau pengusaha. 
> 
> Tidak kah kita menyadari seorang doktor penemu rumus Fisika atau Kimia itu 
> belum tentu seorang pemimpin visioner yang memiliki kecerdasan sosial. Lantas 
> mengapa harus memaksakan diri menjadi politisi?
> 
> Tidak kita menyadari bahwa seorang Ustadz yang paham nilai agama belum tentu 
> canggih dan cerdas menangkap aspirasi rakyat. Mengapa harus memaksakan diri 
> menjadi politisi?
> 
> Cerita tentang kesempurnaan Rhoma Irama itu hanya ada di film. Itu tidak 
> eksis di alam nyata. Dia alam nyata yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan 
> sinergi. Di dunia nyata yang diperlukan adalah kesadaran mengukur diri, 
> kesadaran untuk tidak memuja diri secara berlebihan. Kesadaran atas 
> keterbatasan diri inilah yang membuat kita mau bekerja sama dengan orang lain 
> untuk memujudkan sesuatu yang terbaik bersama…
> 
> Tradisi pola kerja sama yang tidak ingin mengusai semuanya untuk diri sendiri 
> inilah yang menjadikan masyarakat Eropa pada akhirnya menjadi bangsa yang 
> memimpin dunia…
> 
> Salam hangat,
> 16 April 2009, dari Kehangatan Musim Semi Tepian Lembah Sungai Isar,
> 
> Ferizal Ramli
> Teruntuk salam empatik bagi para caleg dan keluarganya yang mengalami 
> gocangan jiwa bahkan bunuh diri
>


Reply via email to