di michigan, salah satu negara bagian di emberikan, ada satu keluarga, "rackham", yang memberikan dan menyuimbang serta membangun gedung-gedung untuk pendidikan dan kebudayaan. jika dinilai dengan uang sekarang, bangunan yang dibikin mungkin sekitar ratusan juta dolar. pada tahun 1990, ket6ika majamenen emberikan dianggap sudah ketinggalan jaman, satu keluarga menyumbang kepada the univ of michigan, ann arbor, sebesar 25 juta dollar untuk meneliti, mengapa manajemen emberikan kalah sama jepang. smithsonian, gugenheim, mc arthur dan ratyusan keluarga memberikan puluhan sampai ratusan juta dolar untuk pe3ndidikan, kesehatan, kebudayaan, penelitian dan usaha-usaha penemuan tehnologi. bill gate setiap tahun memberikan 200-an juta dollar, dan terakhir menyuimbangkan 400 juta dollar untuk kesehatan dan pendidikan di emberikan dan afrika. dan di banten, di indonesia, orang menyimpan uang untuk di bawa ke syuuurga, karena di sana, katanya bisa untuk membeli apa saja. hhd.
--- On Sat, 4/18/09, Ibnu Adam Aviciena <ibnuavici...@yahoo.com> wrote: From: Ibnu Adam Aviciena <ibnuavici...@yahoo.com> Subject: Re: [WongBanten] Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama To: WongBanten@yahoogroups.com Date: Saturday, April 18, 2009, 1:15 AM apa yang ditulis oleh kang ferzal saya lihat saat kuliah di belanda. lembaga2 peneliian di sana membiayai kehidupan peneliti. sehingga peneliti bisa konsentrasi dalam ilmu pengetahuan. balik ke serang, lihat di iain, para dosen mengajar di banyak kampus untuk mendambah uang saku agar hidup bisa terus berjalan. sangat sering saya dengar mahasiswa mengeluh, termasuk saya dulu, dosen jarang masuk dengan alasan a, b,c. seharusnya memang para guru, dosen, kiyai, alias tenaga pengajar dicukupkan biaya hidupnya agar dia bisa mendedikasikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan. --- On Fri, 4/17/09, bayu sukma <bayu_banten@ yahoo.com> wrote: From: bayu sukma <bayu_banten@ yahoo.com> Subject: Re: [WongBanten] Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama To: wongban...@yahoogro ups.com Date: Friday, April 17, 2009, 10:03 AM Cita_cita Karl Marx hidup untuk kesejahteraan masyarakat.Bukan kesejahteraan pasar. Undang-undang Pasar, Politik Pasar,Caleg Pasar. Semuanya sudah dalam lingkaran Kapitalisme. Pasar Asing yang selalu mengintervensi Politik Indonesia. Demi Pasar dan keuntungan bukan untuk kemakmuran rakyat. Lawan Kapitaliseme yang menindas rakyat --- On Fri, 4/17/09, Ferizal Ramli <fram...@yahoo. com> wrote: From: Ferizal Ramli <fram...@yahoo. com> Subject: [WongBanten] Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama To: wongban...@yahoogro ups.com Date: Friday, April 17, 2009, 1:55 AM http://ferizalramli .wordpress. com/ Wangsit Ngawur dari Mbah Gugel: Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama Kala itu si jenius Karl Marx mendekati ajalnya. Tampak sahabatnya Friedrich Engels menemaninya sampai hebusan nafas terakhir dari „Sang Nabi" Sosialis. Engels dan Marx adalah contoh kolaborasi dan sinerji nyata antara milyader dan intelektual. Karl Marx adalah pemikir yang cemerlang, bahkan amat sangat cemerlang. Kehidupan di dunia ini hanya „ditentukan" oleh dua pemikir besar yaitu Karl Marx dan Adam Smith. (Saat menulis kata „ditentukan" menggunakan tanda kutip). Kehidupan Marx hanya diisi dengan berpikir, berpikir dan berpikir. Seluruh kebutuhan hidupnya dijamin oleh sahabatnya Engels, sang industriawan kaya raya. Marx tidak pernah dibebani untuk cari uang agar bisa hidup. Tugas Marx selama hidupnya cuma satu: melahirkan karya-karya Masterpiece! Itulah tipikal kehidupan banyak intelektual di masyarakat Eropa. Para industriawan, orang kaya, milyader tidak berbondong-2 menjadi politisi. Tidak berbondong-2 menjadi caleg atau camen (calon menteri) atau capres atau cawapres. Mereka justru mendedikasikan kekayaannya untuk berkolaborasi dengan orang pandai agar bisa menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya. Para orang kaya menjadi penyumbang terbesar universitas, penjamin hidup dari para intelektual. Para intelektual tersebut tidak lagi dipusingkan mencari uang untuk sesuap nasi karena hidupnya telah dijamin oleh orang kaya. Para intelektual fokus menghasilkan karya masterpiece. Para orang kaya ini bahkan menyokong tokoh-2 idialis agar bisa menjadi pemimpin. Pada gilirannya negara akan dipimpin oleh orang-2 yang baik dan cerdas. Tapi mengapa hal yang baik ini; fenomena kolaborasi antara orang pinter idialis dengan orang kaya untuk menghasilkan karya terbaik bagi bangsanya tidak terjadi di Indonesia? Mengapa hal ini tidak terjadi di masyarakat kita? Sindroma Rhoma Irama! Sindroma Rhoma Irama lah yang menjadi jawabannya! XXX Ingatkah saat kanak-kanak dengan tokoh pujaan kita Rhoma Irama di tahun 70-an sampai pertengahan 80-an? Lagu Darah Muda, Begadang, Lari Pagi, dll adalah lagu-2 legendaris karya Rhoma Irama. Ingatkah film-2 yang dilakoninya? Saat main Film sang tokoh pujaan kita ini selalu menjadi lakon jagoan yang baik. Jago nyanyi. Jago musik. Tokoh sukses yang kaya. Ustadz, pendakwah. Selalu menjadi pemimpin yang mengayomi anak buahnya. Cerdas dengan ide-idenya. Jantan, jago berantem dan bela diri. Dikelilingi oleh para wanita cantik, dsb…, dsb… Pokoknya semua atribut estetika keduniawiaan menyatu dalam diri Rhoma Irama seorang. Sementara orang disekitar Rhoma Irama hanya akan jadi obyek penggembira. Yang mereka harus ada sebagai pembanding antara si sukses dengan si papa. Mereka harus ada untuk memuja sang Tokoh. Dan kita, para penonton film Rhoma Irama, akan terkagum-kagum akan lakon sukses sang jagoan. Sambil bermimpi untuk juga memiliki seluruh atribut estetika tersebut: ingin terlihat kaya, sekaligus ingin terlihat sukses, sekaligus ingin dianggap sebagai pendakwah, sekaligus ingin menjadi pemimpin, sekaligus ingin dianggap intelektual pinter, sekaligus ingin terlihat gagah dan jantan serta juga ingin dipuja oleh para wanita cantik. Figur dengan atribut estetika duniawi inilah yang tampaknya menjadi obsesi besar bagi banyak diantara kita. Khayalan Rhoma Irama yang diekspresikan dalam film tersebut ternyata menjadi obsesi buat banyak diantara kita. Inilah yang dinamakan sindroma Rhoma Irama; terlalu tinggi mengukur dan memuja diri sehingga ingin memiliki segalanya. XXX Saat seorang kaya raya maka yang dilakukannya adalah mengejar posisi jadi menteri atau bahkan presiden. Tidak peduli apakah dia berbakat menjadi pemimpin visioner atau tidak, tapi rasanya belum terlihat sempurna jika belum menjadi pejabat publik. Saat seseorang punya kesempatan menjadi pemimpin atau anggota legislatif maka yang dilakukannya adalah berusaha menjadi kaya. Aksesori keduniawiannya harus berubah. Harus selevel dengan para industriawan sukses atau para eksekutif-2 perusahaan papan atas. Kalau perlu ikut juga mengkoleksi mobil mewah plus wanita cantik sebagai simbol suksesnya. Saat seorang yang lulusan Akabri justru bersusah payah mengejar gelar akademik biar dianggap sebagai Militer Pemikir. Jika gelar diperoleh dengan cara sah masih bolehlah. Ironisnya, banyak diantaranya mengambil gelar Doktor dari Doktor Paket Program Malam atau Doktor Paket Program Universitas Rumah Toko. Saat orang sipil yang biasa-biasa aja. Agar terlihat gagah dan perkasa memakai seragam yang atributnya mirip-mirip militer. Atas nama Satgas atau Garda Republik Pembela Bangsa atau apalah namanya, yang penting terlihat macho, gagah dan jantan! Ini adalah sindroma Rhoma Irama… XXX Mengapa para industriawan atau pengusaha kaya ini tidak mendedikasikan kekayaannya untuk mendukung para pemimpin idialis untuk pemimpin publik? Mengapa tidak mendukung para intelektual agar menghasilkan karya-karya agung? Mengapa tidak mendedikasikan hartanya untuk membantu universitas- 2 negeri ini menjadi berkelas dunia? Mengapa pula para orang pinter yang duduk di kursi pemimpin harus memaksakan diri agar terlihat sukses dan kaya bergaya perlente bak para industriawan dan pengusaha? Mengapa para intelektual pinter, doktor dari universitas reputasi tinggi yang mampu membuat paten berkelas dunia bukannya malah fokus dengan pengembangan ilmunya, tapi malah maju menjadi caleg partai politik? Tidak kah kita menyadari bahwa seorang yang berbakat mencetak profit itu belum tentu seorang pemimpin yang visioner? Tidak kah kita menyadari bahwa kursi kepemimpinan itu bukan untuk mencari kaya raya. Karena jika kaya, bukan menjadi politisi tapi menjadi eksekutif atau pengusaha. Tidak kah kita menyadari seorang doktor penemu rumus Fisika atau Kimia itu belum tentu seorang pemimpin visioner yang memiliki kecerdasan sosial. Lantas mengapa harus memaksakan diri menjadi politisi? Tidak kita menyadari bahwa seorang Ustadz yang paham nilai agama belum tentu canggih dan cerdas menangkap aspirasi rakyat. Mengapa harus memaksakan diri menjadi politisi? Cerita tentang kesempurnaan Rhoma Irama itu hanya ada di film. Itu tidak eksis di alam nyata. Dia alam nyata yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan sinergi. Di dunia nyata yang diperlukan adalah kesadaran mengukur diri, kesadaran untuk tidak memuja diri secara berlebihan. Kesadaran atas keterbatasan diri inilah yang membuat kita mau bekerja sama dengan orang lain untuk memujudkan sesuatu yang terbaik bersama… Tradisi pola kerja sama yang tidak ingin mengusai semuanya untuk diri sendiri inilah yang menjadikan masyarakat Eropa pada akhirnya menjadi bangsa yang memimpin dunia… Salam hangat, 16 April 2009, dari Kehangatan Musim Semi Tepian Lembah Sungai Isar, Ferizal Ramli Teruntuk salam empatik bagi para caleg dan keluarganya yang mengalami gocangan jiwa bahkan bunuh diri