apa yang ditulis oleh kang ferzal saya lihat saat kuliah di belanda. lembaga2 
peneliian di sana membiayai kehidupan peneliti. sehingga peneliti bisa 
konsentrasi dalam ilmu pengetahuan.

balik ke serang, lihat di iain, para dosen mengajar di banyak kampus untuk 
mendambah uang saku agar hidup bisa terus berjalan. sangat sering saya dengar 
mahasiswa mengeluh, termasuk saya dulu, dosen jarang masuk dengan alasan a, 
b,c. seharusnya memang para guru, dosen, kiyai, alias tenaga pengajar 
dicukupkan biaya hidupnya agar dia bisa mendedikasikan hidupnya untuk ilmu 
pengetahuan.


--- On Fri, 4/17/09, bayu sukma <bayu_ban...@yahoo.com> wrote:
From: bayu sukma <bayu_ban...@yahoo.com>
Subject: Re: [WongBanten] Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama
To: WongBanten@yahoogroups.com
Date: Friday, April 17, 2009, 10:03 AM











    
            
            


      
      Cita_cita  Karl Marx hidup untuk kesejahteraan masyarakat.Bukan 
kesejahteraan pasar. Undang-undang Pasar, Politik Pasar,Caleg Pasar. Semuanya 
sudah dalam lingkaran  Kapitalisme.
Pasar Asing  yang selalu mengintervensi Politik Indonesia. Demi Pasar dan 
keuntungan bukan untuk kemakmuran rakyat. 

Lawan Kapitaliseme yang menindas rakyat
--- On Fri, 4/17/09, Ferizal Ramli <fram...@yahoo. com> wrote:

From: Ferizal Ramli <fram...@yahoo. com>
Subject: [WongBanten] Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama
To: wongban...@yahoogro ups.com
Date: Friday, April 17, 2009, 1:55 AM








    
      
      http://ferizalramli .wordpress. com/



Wangsit Ngawur dari Mbah Gugel: Bangsa yang terkena Sindroma Rhoma Irama



Kala itu si jenius Karl Marx mendekati ajalnya. Tampak sahabatnya Friedrich 
Engels menemaninya sampai hebusan nafas terakhir dari „Sang Nabi" Sosialis. 
Engels dan Marx adalah contoh kolaborasi dan sinerji nyata antara milyader dan 
intelektual.



Karl Marx adalah pemikir yang cemerlang, bahkan amat sangat cemerlang. 
Kehidupan di dunia ini hanya „ditentukan" oleh dua pemikir besar yaitu Karl 
Marx dan Adam Smith. (Saat menulis kata „ditentukan" menggunakan tanda kutip).



Kehidupan Marx hanya diisi dengan berpikir, berpikir dan berpikir. Seluruh 
kebutuhan hidupnya dijamin oleh sahabatnya Engels, sang industriawan kaya raya. 
Marx tidak pernah dibebani untuk cari uang agar bisa hidup. Tugas Marx selama 
hidupnya cuma satu: melahirkan karya-karya Masterpiece!



Itulah tipikal kehidupan banyak intelektual di masyarakat Eropa. Para 
industriawan, orang kaya, milyader tidak berbondong-2 menjadi politisi. Tidak 
berbondong-2 menjadi caleg atau camen (calon menteri) atau capres atau 
cawapres. Mereka justru mendedikasikan kekayaannya untuk berkolaborasi dengan 
orang pandai agar bisa menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya. 



Para orang kaya menjadi penyumbang terbesar universitas, penjamin hidup dari 
para intelektual. Para intelektual tersebut tidak lagi dipusingkan mencari uang 
untuk sesuap nasi karena hidupnya telah dijamin oleh orang kaya. Para 
intelektual fokus menghasilkan karya masterpiece. Para orang kaya ini bahkan 
menyokong tokoh-2 idialis agar bisa menjadi pemimpin. Pada gilirannya negara 
akan dipimpin oleh orang-2 yang baik dan cerdas. 



Tapi mengapa hal yang baik ini; fenomena kolaborasi antara orang pinter idialis 
dengan orang kaya untuk menghasilkan karya terbaik bagi bangsanya tidak terjadi 
di Indonesia? Mengapa hal ini tidak terjadi di masyarakat kita?



Sindroma Rhoma Irama! Sindroma Rhoma Irama lah yang menjadi jawabannya!



XXX



Ingatkah saat kanak-kanak dengan tokoh pujaan kita Rhoma Irama di tahun 70-an 
sampai pertengahan 80-an?  Lagu Darah Muda, Begadang, Lari Pagi, dll adalah 
lagu-2 legendaris karya Rhoma Irama. 



Ingatkah film-2 yang dilakoninya? Saat main Film sang tokoh pujaan kita ini 
selalu menjadi lakon jagoan yang baik. Jago nyanyi. Jago musik. Tokoh sukses 
yang kaya. Ustadz, pendakwah. Selalu menjadi pemimpin yang mengayomi anak 
buahnya. Cerdas dengan ide-idenya. Jantan, jago berantem dan bela diri. 
Dikelilingi oleh para wanita cantik, dsb…, dsb… 



Pokoknya semua atribut estetika keduniawiaan menyatu dalam diri Rhoma Irama 
seorang. Sementara orang disekitar Rhoma Irama hanya akan jadi obyek 
penggembira. Yang mereka harus ada sebagai pembanding antara si sukses dengan 
si papa. Mereka harus ada untuk memuja sang Tokoh.



Dan kita, para penonton film Rhoma Irama, akan terkagum-kagum akan lakon sukses 
sang jagoan. Sambil bermimpi untuk juga memiliki seluruh atribut estetika 
tersebut: ingin terlihat kaya, sekaligus ingin terlihat sukses, sekaligus ingin 
dianggap sebagai pendakwah, sekaligus ingin menjadi pemimpin, sekaligus ingin 
dianggap intelektual pinter, sekaligus ingin terlihat gagah dan jantan serta 
juga ingin dipuja oleh para wanita cantik.



Figur dengan atribut estetika duniawi inilah yang tampaknya menjadi obsesi 
besar bagi banyak diantara kita. Khayalan Rhoma Irama yang diekspresikan dalam 
film tersebut ternyata menjadi obsesi buat banyak diantara kita. 



Inilah yang dinamakan sindroma Rhoma Irama; terlalu tinggi mengukur dan memuja 
diri sehingga ingin memiliki segalanya.



XXX



Saat seorang kaya raya maka yang dilakukannya adalah mengejar posisi jadi 
menteri atau bahkan presiden. Tidak peduli apakah dia berbakat menjadi pemimpin 
visioner atau tidak, tapi rasanya belum terlihat sempurna jika belum menjadi 
pejabat publik. 



Saat seseorang punya kesempatan menjadi pemimpin atau anggota legislatif maka 
yang dilakukannya adalah berusaha menjadi kaya. Aksesori keduniawiannya harus 
berubah. Harus selevel dengan para industriawan sukses atau para eksekutif-2 
perusahaan papan atas. Kalau perlu ikut juga mengkoleksi mobil mewah plus 
wanita cantik sebagai simbol suksesnya.  

  

Saat seorang yang lulusan Akabri justru bersusah payah mengejar gelar akademik 
biar dianggap sebagai Militer Pemikir. Jika gelar diperoleh dengan cara sah 
masih bolehlah. Ironisnya, banyak diantaranya mengambil gelar Doktor dari 
Doktor Paket Program Malam atau Doktor Paket Program Universitas Rumah Toko. 



Saat orang sipil yang biasa-biasa aja. Agar terlihat gagah dan perkasa memakai 
seragam yang atributnya mirip-mirip militer. Atas nama Satgas atau Garda 
Republik Pembela Bangsa atau  apalah namanya, yang penting terlihat macho, 
gagah dan jantan!



Ini adalah sindroma Rhoma Irama…



XXX



Mengapa para industriawan atau pengusaha kaya ini tidak mendedikasikan 
kekayaannya untuk mendukung para pemimpin idialis untuk pemimpin publik? 
Mengapa tidak mendukung para intelektual agar menghasilkan karya-karya agung? 
Mengapa tidak mendedikasikan hartanya untuk membantu universitas- 2 negeri ini 
menjadi berkelas dunia?



Mengapa pula para orang pinter yang duduk di kursi pemimpin harus memaksakan 
diri agar terlihat sukses dan kaya bergaya perlente bak para industriawan dan 
pengusaha? 



Mengapa para intelektual pinter, doktor dari universitas reputasi tinggi yang 
mampu membuat paten berkelas dunia bukannya malah fokus dengan pengembangan 
ilmunya, tapi malah maju menjadi caleg partai politik? 



Tidak kah kita menyadari bahwa seorang yang berbakat mencetak profit itu belum 
tentu seorang pemimpin yang visioner?



Tidak kah kita menyadari bahwa kursi kepemimpinan itu bukan untuk mencari kaya 
raya. Karena jika kaya, bukan menjadi politisi tapi menjadi eksekutif atau 
pengusaha. 



Tidak kah kita menyadari seorang doktor penemu rumus Fisika atau Kimia itu 
belum tentu seorang pemimpin visioner yang memiliki kecerdasan sosial. Lantas 
mengapa harus memaksakan diri menjadi politisi?



Tidak kita menyadari bahwa seorang Ustadz yang paham nilai agama belum tentu 
canggih dan cerdas menangkap aspirasi rakyat. Mengapa harus memaksakan diri 
menjadi politisi?



Cerita tentang kesempurnaan Rhoma Irama itu hanya ada di film. Itu tidak eksis 
di alam nyata. Dia alam nyata yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan sinergi. Di 
dunia nyata yang diperlukan adalah kesadaran mengukur diri, kesadaran untuk 
tidak memuja diri secara berlebihan. Kesadaran atas keterbatasan diri inilah 
yang membuat kita mau bekerja sama dengan orang lain untuk memujudkan sesuatu 
yang terbaik bersama…



Tradisi pola kerja sama yang tidak ingin mengusai semuanya untuk diri sendiri 
inilah yang menjadikan masyarakat Eropa pada akhirnya menjadi bangsa yang 
memimpin dunia…



Salam hangat,

16 April 2009, dari Kehangatan Musim Semi Tepian Lembah Sungai Isar,



Ferizal Ramli

Teruntuk salam empatik bagi para caleg dan keluarganya yang mengalami gocangan 
jiwa bahkan bunuh diri




 

      


         
        


      
 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Reply via email to