Gempa Literasi #2 – 22 Juni 2010

MELIHAT TANPA MATA, MELIHAT DENGAN HATI



Gong Publishing (GP) memulai kiprahnya di tanah Banten dengan menerbitkan buku
”Melihat Tanpa Mata” karya Abdul Latief, mantan Presma Untirta tahun 2005.
Sistem yang diterapkan adalah print on
demand (PoD) atau biasa disebut menebitkan buku sesuai dengan pesanan.
”Penulis minimal memesan 500 hingga 750 eksemplar,” jelas Gol A Gong, Direktur
GP. ”Kalau tidak begitu, GP tidak akan bertahan lama.”

 

PAKSA BUKU

            Menerbitkan buku dengan cara PoD
adalah suatu usaha ”memaksa” masyarakat agar membeli buku. Dengan begitu,
karakter suatu masyarakat akan berubah perlahan-lahan. Di Banten, warganya
belum terbiasa membeli buku, apalagi membaca. ”Ini bagian dari kerjasama antara
penerbit dan penulis. Jangan sampai penulis itu hit and run, udah nulis, 
ditrebitin, sebodoh amatr, bukunya mau
laku apa nggak!” kata Gong. Tapi, tambah Gong,. Pengarang tetap mendapatkan hak
royalti 10% dari harga buku dikalikan jumlah buku yang terjual. Bukunya akan
didisplay di toko buku Tisera se-Banten, bahkan toko buku Gramedia. ”Ini
standar!”

Abdul Latief yang kini bekerja di
Head Office PT.
Astra Internasional,Tbk., sebagai Sales Training Instructure, menyambut baik
keberadaan GP. ”Jika semua
penulis buku ’memaksa’ teman-temannya atau lingkungannya membeli buku, tanpa
sadar, ada suatu usaha positif dari penulis untuk menyebarkan virus membaca,”
kata Abdul Latief, yang sangat mendukung gerakan kebangkitan tradisi menulis di
Banten. ”Dengan dipaksa, nanti jadi terbiasa. Maka, kelak membaca akan menjadi
kebiasaan, keseharian, kebutuhan sehari-hari seperti halnya makan dan minum.
Kalau sudah begitu, Banten akan bangkit seperti di era Sultan Ageng Tirtayasa.”

 

OTAK, BUKAN OTOT

            Eko Koswara, Kepala Dinas Pendidikan Banten pun
merasa gembira dengan kehadiran GP di Banten. ”Ini akan mengubah cara pandang
masyarakat terhadap suatu masalah. Tidak lagi selalu harus dengan demo jika
menyelesaikan masalah,” kata Eko sambil membeli buku ”Melihat Tanpa Mata” karya
Abdul Latief di bazaar saat 
berlangsungnya Porseni Berkebutuhan Khusus di SMA CMBSS, Pandeglang 26
Mei lalu. Eko mencontohkan, ”Lihat Abdul Latief ini. Saya dulu saat mahasiswa,
Latief tukang demo. Sekarang nulis buku. Ini perkembangan yang bagus. Semoga
diikuti warga Banten lainnya, bahwa sekarang saatnya otak, bukan otot!” Tulisan
Eko tentang cara berpikir baru; otak bukan otot, diikutkan dalam kumpulan
tulisan di buku ”Banten bangkit: Saatnya Otak, Bukan Otot”, yang akan
diluncurkan GP pada Pesta Buku Jakarta, 8 Juli mendatang.

            Kehadiran buku ”Melihat Tanpa Mata”
juga direspon positif oleh masyarakat.  

Lalu seorang ibu dari salah seorang peserta Porsni menghampiri stand buku GP. 
Si Ibu membeli buku ”Melihat Tanpa Mata”
karya Abdul Latief. Si Ibu tertarik, karena membaca judul buku. Kata si Ibu,
”Anak saya buta.” Si Ibu berharap bisa menceritakan isi buku itu kepada
putranya. ”Semoga buku ini mengajarkan kepada anak saya, bagaimana melihat
dengan hati.” Semoga. Insya Allah, Bu. 

Sebagai penulis, Abdul Latief
S Mulyadi menceritakan, bahwa buku ini  adalah penghargaan atas inspirasi yang
diberikan Dudu Hafidz, seorang pejuang hidup sejati kepada dirinya. ”Dudu
kehilangan penglihatan matanya saat berumur 22 tahun. Dudu sempat putus asa,
namun kegigihannya mampu membuatnya bangkit dan memiliki semangat berbagi yang
luar biasa. Dudu kini tak dapat lagi menggunakan matanya, namun penglihatannya
jauh melampaui kita, Melihat tanpa Mata!” kenang Latief. ”Mereka yang diberi
kekurangan pada satu inderanya, akan diberi kelebihan pada sisi yang lain,
bahkan dapat melampuai kita,” tambah Latief. (Jang RuDun)

 



--- On Sun, 6/20/10, Rumah Dunia <rumahdu...@yahoo.com> wrote:

From: Rumah Dunia <rumahdu...@yahoo.com>
Subject: Mari menolong Tarip si penjual Ikan
To: "milisrumahdunia" <rumahdu...@yahoogroups.com>, "WONG BANTEN" 
<wongbanten@yahoogroups.com>, "PASAR BUKU" <pasarb...@yahoogroups.com>, "milis" 
<1001b...@yahoogroups.com>, "pembacakompas fpk" 
<forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com>, "Pena Lingkar" 
<forum_lingkarp...@yahoogroups.com>, "sanggar tasik" 
<sanggar-sastra-ta...@yahoogroups.com>, "POJOK TEATER" 
<pojoktea...@yahoogroups.com>, "PUBLIKSENI" <publiks...@yahoogroups.com>, 
"PENYAIR" <peny...@yahoogroups.com>, "gongmedia cakrawala" 
<gm_cakraw...@yahoo.com>, "media care" <mediac...@yahoogroups.com>
Date: Sunday, June 20, 2010, 10:18 AM







Saya mendapat SMS
dari Langlang Randhawa, tentang kondisi pamannya, Tarip, si penjual ikan.
Langlang adalah Wakil Presiden Rumah Dunia/ Langlang bergabung di Rumah dunia
pada tahun 2004. Bunyi SMS-nya mengabarkan, pamannya harus dioperasi dengan 
biaya Rp. 100
juta. Pamannya sakt kanker hati. ”Tiga bulan lagi hantinya akan mengeras dan
tidak berfungsi. 

   

Apa yang bisa saya lakukan? Rp. 100 juta? Saya sendir harus terapi
seminggu 3 kali di dokter Agus; ultra sound di leher dan tusuk jarum seminggu 2
kali. Terus menerus, tanpa henti, karena pengapuran di leher secara medi tidak
bisa disembuhkan. Mungkin kalau gotong royong, bisa lebih ringan. Bagaimana 
kalau
setiap orang bersedekah antara Rp. 50.000,- sd Rp. 100 ribu. Jika mau tranfers,
langsung saja transfer. Nomor rekening bank aa di surat di bawah ini. Ada seribu
orang, kita sudah ikut andil menyelamatkan nyawa seseorang. Silahkan baca surat
di bawah ini. Semoga Allah sWT memudahkan segala urusan kita. 

   

Wass 

Gol A Gong 

   

ASssalamu’alaikum.
Wr. Wb.  

Sahabat yang baik
di mana pun berada.  

Semoga kita
selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Amin. 

Mohon maaf jika
tulisan ini mengganggu. Saya terpaksa menulis ini. 

Bismillah... 

   

Tarip (50), warga
Desa Gandaria, Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tangerang, sehari-hari bekerja
sebagai penjual ikan. Hampir setiap pukul 03:00 WIB dini hari dia berangkat ke
Palelangan (tempat penjualan ikan yang baru ditangkap) di daerah Kronjo, untuk
membeli ikan yang akan dijualnya kembali di pasar pagi harinya. Jarak yang
ditempuh dari rumah ke Pelelangan sekitar belasan kilometer menggunakan motor. 
Hampir
setiap malam ia selalu begadang agar bisa tepat waktu ke lokasi. Bertahun-tahun
ia lakukan itu demi menghidupi istri dan ke-empat anaknya. Hanya anak pertama
yang berhasil ia loloskan ke tingkat SMA dan belum genap dua bulan bekerja
sebagai buruh pabrik di kawasan Industri Legok, Tangerang. Sementara anak kedua
putus di bangku SMP. Anak ketiganya duduk di bangku SD. Sementara anak
ke-empatnya belum sekolah. Tarip. Bawaannya yang periang dan kocak, membuatnya
memang terlihat tegar. Tapi, Tarip tak bisa lagi berbohong dan ia menyerah.  

  

Kini dia sakit,
meski sesekali dia berkelakar; dia sehat dan masih bisa berlari jika ada yang
menantang balap lari. Dan benar saja, seminggu yang lalu dia divonis oleh
dokter di RSUD Tangerang mengidap kanker Hati. Dokter menyarankan agar Tarip
segera dilarikan ke RSCM Jakarta atau juga ke Singapura untuk dilakukan operasi
pencangkokan hati. Betapa kagetnya keluarga Tarip saat Dokter menyebutkan
nominal biaya operasi sebesar 100 juta rupiah. Dan Tarip sendiri sampai
kini tidak tahu penyakitnya. Anak pertamanya pun yang hanya bisa pulang
seminggu sekali masih belum tahu karena pertimbangan kekhawatiran keluarga
mengingat kondisinya yang sedang dalam tahap awal bekerja membantu keluarga.  

  

Kini, keluarganya
pasrah. Tarip pun dirawat di rumah dengan penanganan obat-obat tradisional. 
Bantuan
sanak saudara dan para tetangga di kampung pun nampaknya masih mustahil untuk
membayar biaya sebesar itu. Bahkan untuk masuk RSUD pun, keluarga Tarip harus
pontang-panting mengurus semacam jaminan kesehatan masyarakat dari pihak-pihak
terkait dengan prosedur yang melelahkan banyak orang. Air mata keluarganya
memang mengering dan berganti dengan senyuman-senyuman yang menguatkan hati
Tarip. Dua anaknya yang masih kecil-kecil pun tak mengerti sambil ikut
menunggui ayahnya yang terlelap dengan suara napas yang tak biasa. Benarkah
warga miskin seperti Tarip hanya bisa menunggu ajal tiba karena persoalan
klasik yang mendera rakyat lain di bangsa ini: keuangan?  

  

Sahabat yang
baik, lewat surat terbuka ini, saya memohon bantuannya untuk memforward tulisan
ini ke khalayak ramai. Semoga ada “orang gila” yang kebingungan membuang
hartanya yang berlebih. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk pamanku, Tarip.
Alangkah kami sangat bersyukur yang jelas melebihi ucapan terimakasih, jika
sahabat mau menyebarkan tulisan ini. 

  

Segala do’a kami harapkan. 

Jika ada yang mau
berbagi kami akan sangat bersyukur.  

Silahkan
layangkan ke norek BCA: 54102 61806 a/n Bahroni  

  

Wassalamu
‘alaikum Wr. Wb.  

Muhammad Bahroni.
 

langlang_randh...@yahoo.com 

Wakil Presiden Rumah Dunia 

[081 513 682 943/ 08522 0876 934] 

   





      

Kirim email ke