8<--  
Temu akbar HANATA 2004, 3-4 Januari 2004 di Ciater      
Pendaftaran di Milis Anggota, atau SMS ke 0815-9500-697   
-->8 
  
   Wah ceritanya pak Rifki membuat saya ingat waktu masih kuliah di Jepang
Memang kesan saya juga mereka lebih komunal, bahkan saya mempunyai
kesan bahwa cita-citanya Karl Marx untuk membangun masyarakat komunal
yang sejahtera itu paling berhasil di Jepang. Betul nggak ya ? soalnya
pengetahuan saya tentang komunisme sepotong-sepotong, he...he...he
maklum dulu tabu sih. 

Saya tambahin ya pak Rifki,
Kalau dilihat dari cara mereka memakai namanya saja terasa bahwa orang
Jepang lebih mementingkan kelompok daripada individu. Kalau berkenalan
selalu yang diperkenalkan adalah nama keluarganya, bukan nama kecilnya. 

Anak-anak SD di Jepang tidak boleh memilih sekolah, sekolahnya sudah 
ditentukan oleh kantor kecamatan (yang terdekat dari rumah). Sekolah
tidak boleh diantar, harus jalan, mengikuti suatu rute yang aman
supaya cepat mandiri.
Saya kira lebih tepat kalau dikatakan orang Jepang bukan individualis
tapi mandiri. Sedapat mungkin apa urusan mereka mereka atasi sendiri,
tapi bersedia menolong orang lain.
Ada satu prinsip yang pernah saya dengar dari orang Jepang :
Jibun ni kibishiku, hito ni yasashiku.
Artinya kita harus bersikap keras, disiplin terhadap diri sendiri,
tapi harus bersikap lembut dan penolong kepada orang lain.
Coba kalau prinsip ini diajarkan dan dilatihkan kepada setiap anak
di Indonesia, wah, hasilnya bakal luar biasa. 

Ada pengalaman menarik lagi, saya punya teman seorang asociate professor
di Centre for South East Asian Studies, Kyoto University.
Suatu kali dia menemui saya Bandung dengan mobil yang penyok.
Saya tanya kenapa, dia bilang karena kebiasaan di Jepang beda dg di
Indonesia. Kalau di Jepang, kita mau belok kanan di perempatan,
memberi lampu ke pihak yang berlawanan, artinya "silahkan duluan"
kalau di Indonesia artinya "gua duluan". Jadi waktu dia melihat lampu
mobil di seberang menyala, merasa dipersilahkan, maka... jegeeeer aja. 

Tapi nampaknya akhir-akhir ini ada gejala, sikap komunal mereka meluntur ya 
? Karena pengaruh Barat yang individual semakin besar mungkin ? 

Salam,
Kunjaya 

Rifki Muhida writes: 

> Dalam kacamata kita mereka terlihat seperti individual tetapi
> kenyataanya mereka adalah orang yang sangat koperatif sesama mereka,
> dan ini sudah diakui, bahwa kerja kelompok orang jepang sangat
> efektif. Kekuatan kelompok itu dibangun dari SD, contohnya saat
> berangkat sekolah atau pulang sekolah harus bersama-sama, kalau ada
> yang tertinggal harus ditunggu, kalau terlambat dihukum semua
> termasuk orang yang dituakan diantara mereka, ya seperti latihan
> menwa (kebetulan rumah saya dekat SD). 
> Selain itu tingkat persaingan antar individu ditekan, misalnya teman
> yang pintar harus membantu teman yang bodoh, kemudian maju bersama2,
> tidak boleh ada yang tinggal kelas dalam satu kelas, dan tidak ada
> siswa teladan atau siswa juara, pemberian penghargaan ditujukan untuk
> karya, sehingga orientasi dan paradigma masyarakat tidak dibangun
> atas nilai tetapi atas karya, karena hanya mereka yang bisa berkarya
> dan berbuat banyak untuk masyarakat yang dapat eksis dan layak
> dihargai. 
> Orang bodoh yang rajin lebih dihargai ketimbang orang pintar yag
> malas. Tempo hari anak seorang teman yang sudah kelas 5 di Indoensia
> karena umurnya masih 10 tahun maka dia harus duduk dikelas 4 di
> jepang. Tidak ada siswa teladan apalagi penghargaan seperti cum-laude
> dan sebangsanya.
> Justru pola pendidikan individual sangat ketara di Indonesia, bahkan
> anak2 yang pintar bisa loncat kelas, bisa menyandang gelar hebat
> tanpa dituntut karyanya, begitupun anak2 yang kaya bisa memlih
> sekolah dengan tingkat prestise seperti apapun. Anak-anak yang bodoh
> dan miskin hanyalah sampah, justru mereka yang harusnya dikasihani.
> Kita jangan membikin negara yang membedakan manusia dengan
> milai-nilai semcam ini, yang hanya akan mucul adalah kecemburuan,
> kekecewaan, permusuhan dan akhirnya antitesa...revolusi.
> Selain itu masyarakat jepang sangat homogen semntara kita sangat
> heterogen. Komunitas yang dibangun dengan tingat heterogen yang
> tinggi memerlukan energi extra yang mungkin lebih besar dari energi
> internal.   
> 
> Ini mungkin masalah hukum dimana sejak awal hukum tidak diterapkan
> dengan sungguh2 dan sering dilanggar. Kalau hukum tidak bisa
> mengatasi ini pasti ada sesatu yang tidak beres dengan hukumnya atau
> pelaksananya. 
> Selain itu tingkat pendidikan rata2 yang masih rendah,... misalnya
> ada kabupaten di pulau jawa yang lebih dari separuh pendudukanya
> tidak tamat SD, nah kalau orang2 yang tidak tamat SD ini ke jakarta
> apa yang akan terjadi?
> Kalau dikatakan mereka melanggar hukum, mereka hanya akan melongo.
> Apa itu hukum?
> Kalau pembangunan sektor pendidikan di Indonesia masih seperti ini,
> ya tetap aja repot. 
> 
> Banyak yang mepengaruhi angka bunuh diri dijepang:
> 1. Tidak beragama, kalau gagal atau kecewa maka yang paling mudah
> adalah bunuh diri, dan nggak perlu takut masuk neraka, orang mereka
> nggak percaya neraka. Di Indoensia banyak yang pengen bunuh diri
> tetapi taku masuk neraka. 
> 2. Budaya, bunuh diri merupakan simbol keberania dan bertanggung
> jawab. Sebenarnya anka bunuh diri itu cukup besar tetapi masih kecil
> jika dibandingkan degan angka bunuh diri saat perang dulu, atau
> zaman2 sebelum perang dunia, dimana pelakunya adalah para tentara dan
> samurai. Kalau main di benteng Himeji, sebuah tempat peninggalan dari
> ratusan tahun lalu, terdapat ruang khusus untuk melakukan harakiri.
> Selain itu ada riwayat cerita lama yang mengisahkan pembuangan orang
> tua (jompo) yang sudah tidak produktif kegunung2 atau ketempat2
> tertentu. Jadi seolah-olah hidup hanya memperpanjang penderitaan.
> 3. Untuk anak2 SD dan SMP terkadang PR yang banyak dari sekolah bisa
> menjadi malapetaka. Saya sendiri kadang kasihan kalau lihat anak
> teman saya mengerjakan PR sampai larut malam, umumnya hal sepele yang
> dikerjakan, misalnya menulis kanji. Ada ribuan kanji yang harus
> dihapal beserta kombinasinya dan ini memrlukan energi yang luar biasa
> besarnya (bandingkan dengan anak kita yang cukup mengusaia 26 hurup
> udah bisa baca koran). Jadi jangan heran kalau tamat SMP disini belum
> bisa baca koran jepang. Untuk anak SMA umumnya masalah koibito
> (pacar) bisa pemicu bunuh diri. 
> 4. Fantasi film-film kartun,komik dan game yang gila-gilaan, bisa
> juga menjadi pemicu bunuh diri, mungkin ini sering dibahas
> dimedia-media indoensia, sehingga ada peringatan untuk mewaspadai
> mainan dari jepang. 
> 
> 
> Sejak sepuluh tahun belakangan ini banyak kritik ditujukan pada
> sistem pendidikan jepang juga sistem masyarakatnya, memang terjadi
> bebrapa perubahan tetapi itu nggak banyak, misalnya mengurangi sistem
> senioritas di berebagai institusi. 
> 
> Rifki Muhida 


--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------   
Arsip           : http://yonsatu.mahawarman.net  
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman  
News Arsip      : http://news.gmane.org/gmane.org.region.indonesia.mahawarman  

Kirim email ke