> "L.Meilany" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Di Indonesia itu semua aturan bisa fleksibel. > Aturan larangan merokok di tempat umum di DKI kan > gak jalan. Perda larangan perempuan keluar malam > setelah jam 7 di tangerang juga cuma anget2 tahi ayam. > Mungkin juga nasib SK ini sama.
Sebenarnya, peraturan itu dibuat bukan diharapkan agar dijalankan melainkan diharapkan agar banyak yang melanggarnya sehingga ada alasan untuk ditangkap. Hanya dengan menangkap pelanggar aturan saja pemerintah bisa memasukkan uang dan pejabat bisa korupsi. Namun celakanya, setelah peraturan itu dibuat, cuma beberapa pelanggarnya saja yang bisa ditangkap karena pemerintah kekurangan petugas untuk menangkapnya karena jumlah para pelanggarnya melebihi kapasitas yang bisa ditangkap oleh para petugasnya. Kelemahan kekurangan petugas ini akhirnya ditanggulangi dengan memilih korban2 yang ditangkapnya yang banyak uang saja yang bisa membayarnya, sedangkan yang kelas2 pelanggar miskin terpaksa tutup mata saja pura2 tidak tahu. Akibat situasi begini, kewibawaan hukum menjadi rusak, harga diri petugas dan pejabat juga rusak, makin banyak yang melanggar hukum makin tidak mungkin diatasi. Puncaknya dari kondisi seperti ini adalah kekerasan dan main culak culik seperti yang dikerjakan Suharto. Seharusnya, pemerintah janganlah membuat atau menciptakan peraturan yang dia sendiri tidak mampu menjalankannya dimana akhirnya dibebankan kepada masyarakat yang makin dirugikan. Misalnya saja, dulu SIM itu diperpanjang setiap 5 tahun sekali, namun karena bernafsu ingin mengeruk dana besar, maka perpanjangan SIM dilakukan setahun sekali. Akibatnya, para pemilik SIM membuat antrian panjang hanya ingin memperpanjang SIM, dan pemerintah tak sanggup mengatasinya untuk menyelesaikan berjubelnya yang mau memperpanjang SIM, akibatnya muncul calo2, akibatnya muncul sogok sogok. Suatu waktu atasannya mau menertibkannya, maka anak buahnya menyabot, komputernya dirusak dan para pemegang SIM tidak bisa memperpanjang lagi hingga waktunya mulus sebulan karena harus memperbaiki komputernya dulu. Akibatnya banyak pemilik SIM terlambat memperpanjang SIM, dan keterlambatan ini ditimpakan lagi kesalahannya kepada si pemilik SIM dengan menjatuhkan denda yang mahal untuk memperpanjangnya. Padahal kalo saja perpanjangan SIM itu dilakukan 5 tahun sekali, situasinya lebih terkontrol management bisa rapih meskipun dananya lebih sedikit yang masuk. Dengan menjadikan perpanjangannya setahun sekali, meskipun jumlah uangnya kelihatan lebih banyak masuk, namun kebocoran2 dan korupsi2nya jadi ratusan kali lebih parah dan pemerintah belum tentu bisa menerima pemasukan uang lebih banyak. Ny. Muslim binti Muskitawati.