Aku kira pengertian sakit sering digunakan untuk orang yang sebelumnya sehat tetapi karena satu dan lain hal sekarang menjadi sakit. Aku juga dulunya Islam dan sekarang di KTP masih Islam, aku kira Islam bukan baru sekarang sakit, tetapi sejak lahir sudah cacat. Cacat moral, karena mengajarkan jihad yang membolehkan membunuh orang yang divonis musuh oleh Islam dan juga musuh Awloh (heran engga Awloh punya musuh dan musuh Awloh adalah manusia yang diciptakannya juga). Cacat moral, karena mengajarkan kekerasan terhadap perempuan, boleh punya banyak istri, boleh menyetubuhi budak. Kekerasan dan pelecehan seksual bukan cuma diajarkan al-Quran tapi juga diberi contoh oleh orang Arab yang namanya Muhammad dan dijunjung-junjung oleh saudara kita orang Indonesia yang masih "sakit". Tugas kitas semualah yang sudah sembuh dari "sakit" kena sihir orang Arab, untuk menyembuhkan temen-temen kita yang lain.
--- On Fri, 11/14/08, ttbnice <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: ttbnice <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [zamanku] Re: Rakyat Indonesia sakit? To: zamanku@yahoogroups.com Date: Friday, November 14, 2008, 10:46 AM Saya juga rakyat Indonesia dan banyak teman2 saya juga yang rakyat Indonesia. Dan kami merasa tidak "sesakit" itu. Hidayatullah memang bacaan orang "sakit". Dan orang2 yg merayakan kemenangan terhadap pembantai manusia memang juga orang2 sakit. Tapi karena ini membawa nama Islam, sudah seharusnya Islam bertanggung jawab atas pencemaran nama baik seperti ini. Hanya sayangnya, saya yang orang awam dalam ISlam, melihat Acmadiyah yang saleh dan rahmat ilamin, diburu dan dianggap sesat. Sementara FPI dan Amrozy cs malah di elu2kan. Dengan terpaksa menyimpulkan ternyata Islamnya yang "sakit". Apalagi setelah melihat Tawang yg mendukung pedofilia setelah belajar banyak Islam. Sekali lagi maaf, karena itulah wajah Islam yg terus dan terus saya saksikan... --- In [EMAIL PROTECTED] .com, "teddy sunardi" <teddysunardi@ ...> wrote: > > Cukup dengan membaca artikel ini saya berkesimpulan bahwa rakyat Indonesia > sudah sakit.... > > http://www.hidayatu llah.com/ index.php? option=com_ content&view= article&id= 7905:keluarga- amrozi-adakan- syukuran- kemenangan& catid=1:nasional &Itemid=54 > > Ada yang istimewa di rumah keluarga Amrozi dan Ali Ghufron. Hari kedua > setelah pelaksanaan eksekusi mereka menggelar syukuran "kemenangan" . Bukan > bersedih, justru bergembira. Lha kok? > > > > Hidayatullah. com--Ada pemandangan menarik di hari kedua, Selasa , (11 /11) > sore. Sekitar 50 an orang duduk berkumpul penuh hikmat di rumah orangtua > Amrozi, Mbok Tariyem. Mereka menggelar acara syukuran "kemenangan" . > > Acara bertajuk "Tasyakuran Kemenangan Umat Islam dalam Menyambut Syahid > (Insyaallah) Ali Ghufron dan Amrozi, Mereka Bukan Teroris", digelar dalam > rangka menyambut dan member dukungan terhadap keluarga korban. > > Acara dilaksanakan dengan sangat sederhana dan sepi dari liputan media > massa. Satu-satunya media yang beruntung melihat pemandangan ini hanyalah > hidayatullah. com. > > Pelaksanaan tasyakuran dilakukan usai shalat Ashar itu hanya dihadiri pihak > keluarga dan sahabat terdekat. Acara diisi dengan tausiyah beberapa sahabat > dekat dan wakil keluarga. > > "Acara ini dilaksanakan untuk menunjukkan bahwa kita tidak bersedih, " ujar > ustad Ashari. > > Ia juga menampik berita-berita di berbagai media massa di mana dijelaskan > bahwa almarhum Ali Ghufron dan Amrozi digambarkan meninggal dalam keadaan > pucat. Gambaran seperti itu menurutnya hanya ditujukan agar pihak keluarga > dan sahabatnya dalam keadaan sedih dan takut. Padahal yang terjadi tidaklah > demikian. > > "Mungkin bagi banyak kalangan, kehadiran almarhum tidak ada yang menyambut, > tidak ada yang simpati atau bahkan ditolak masyarakat. Alhamdulillah, tidak > seperti itu", tambahnya. Bahkan menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya. > Pelayat dan masyarakat yang hadir ribuan orang sampai harus berjalan > berkilo-kilo jaraknya. Berdasarkan pantauan hidayatullah. com, sampai Selasa > sore kemarin, pelayat yang datang masih antri dari berbagai kota. > > Selain itu, menurut Ashari, tasyakuran ini untuk mengenang tauladan kedua > almarhum. Diantaranya sikap konsisten, selalu menjauhkan hal-hal yang subhat > dan optimisme yang luar biasa terhadap perjuangan Islam. "Sampai akhir > hayat, mereka berdua tidak pernah memakan makanan yang diberikan dari > Lembaga Pemasyarakatan (LP)", tambahnya. > > Menurut Ashari, apakah kedua almarhum diberi gelar syuhada atau tidak, > terserah masyarakat yang menilai. Tapi ketiganya (Imam Samudra, Ali Ghufron > dan Amrozi, red) telah menjadi "tauladan" sepanjang yang diyakininya benar > dan dibawa dengan konsisten. > > Ashari kemudian menutup tausiyah nya dengan membacakan kisah Ibnu Taimiyyah > saat dimasukkan dalam jeruji besi oleh penguasa di sebuah penjara di benteng > Damaskus. > > Menurutnya, kala itu Ibnu Taimiyah sempat berkata, "Apakah gerangan yang > akan diperbuat musuh-musuhku kepadaku? Syurgaku dan kebunku ada di dadaku. > Ke mana pun aku pergi, dia selalu bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. > Sesungguhnya penjaraku adalah tempat khuluwat-ku, kematianku adalah mati > syahid, dan terusirnya diriku dari negeriku adalah rekreasiku". > > Acara kemudian dilanjutkan dengan makan gulai kambing yang merupakan > sumbangan dari para kerabat dan sahabat dekat Amrozi dan Ali Ghufron. > [cha/amz/tho/ atw/www.hidayatu llah.com] >