Jaga omongan! Ketimbang anda memberikan soja tapi sengaja melontarkan ucapan macam begitu, jauh lebih baik kalau dipikirkan dulu apa yang mau anda katakan!!!
Apa hubungannya Yahudi dengan masalah ini? Tahukah anda bahwa dulu orang-orang sebangsa anda juga pernah dijuluki Yahudi dari Timur dan menimbulkan syakwasangka yang mendalam??? Tahukah anda efeknya terhadap upaya melawan diskriminasi dan menghargai perbedaan-perbedaan antara etnis yang berbeda? Kok anda ikut-ikutan mengangkat istilah semacam itu setelah gagasan anda ternyata tidak disetujui oleh banyak miliser di sini? Tingkah semacam itu sama seperti anak kecil yang merajuk setelah keinginannya tidak dipenuhi, akhirnya balik mengejek-ejek. Tahukah anda bahwa tidak semua orang Yahudi meratap di tempat itu? Tahukah anda bahwa yang meratap pun bukan semuanya orang yang kagak ngapa-ngapain??? Komentar anda yang sembarangan semacam inilah yang menjadi bibit rasisme. Kalau tidak setuju dengan sikap semacam itu, kan tidak harus membawa-bawa nama Yahudi atau membanding-bandingkan Tionghoa dengan Yahudi! Besok jangan-jangan akan dibanding-bandingkan pula antara nabi-nabi Yahudi dengan dewa-dewi Tionghoa. Saya tidak tahu kepada siapa komentar ini anda lontarkan, kepada yang mengomentari permintaan anda untuk membantu dana TBT, kepada perorangan tertentu atau siapa? Saya pribadi juga tidak sependapat dengan TBT tersebut, sehingga wajar kalau saya berpikir anda pun menujukkan sarkasme anda itu kepada saya juga. Sayangnya anda sangat keliru, sekaligus juga perlu ditegaskan bahwa SAYA BUKAN ORANG YANG NATO!!! Kalau bicara, kenali dulu kepada siapa anda bicara. Saya memang muda, dan saya bukan orang Jakarta, malah jauh di daerah sana. Kalau soal CN, itulah yang justru saya selalu tanyakan kepada mereka yang terlibat atau setidaknya tahu, dan saya tidak NATO. Saya hanya tahu dari surat kabar bahwa SMH sudah dibongkar tahun 1990-an, dan saya bahkan baru masuk kuliah, ditambah banyak persoalan di kampung saya yang saya harus turun tangan. Tapi apakah kemudian saya diam? Pernahkah anda masuk ke sarang Untar dan ngoceh mengenai kesalahan jurusan arsitek Untar di depan orang-orang yang menjadi panitia pembongkaran??? Orang mungkin bilang saya gila dan nekad, tapi tentu saja banyak yang juga bilang saya berani dan punya wawasan. Intinya, saya tidak NATO. Saya sendiri bukan orang yang kasar, tapi saya keras dalam prinsip dan juga punya pengetahuan yang cukup. Itulah yang menyebabkan orang Untar tetap respek sama saya karena kejujuran dan kematangan sikap saya. Saya pun bicara dengan dinas kebudayaan DKI dan bahkan ke Dirjen Purbakala di Depbudpar, meski saya memahami bahwa mereka mengalami masalah koordinasi di lapangan, dan dengan anggaran yang terbatas karena pemerintah pusatnya memang tidak peduli dengan aset budaya. Tahu kasus Trowulan, Museum Solo, Taman Borobudur (dan strategi terbarunya yang bias, yaitu kewajiban berbatik), dan sebagainya? Itu akibat pariwisatanya yang didulukan, sementara budayanya dijadikan komponen pariwisata sejauh itu menguntungkan pemodal. Makanya saya bilang bahwa persoalannya memang kadung laten, tidak sesederhana membalik telapak tangan. Seberapa kuatnya dana para miliser yang peduli budaya ketimbang para konglomerat yang merasa punya uang dan bisa membeli segalanya untuk keperluan bisnis yang lebih baik bagi mereka? Kalaupun para konglomerat tersebut membeli benda budaya, saya sendiri ragu apakah itu untuk keperluan konservasi ataukah sekedar romantisme dan pamer kekuatan uang? Kasus rumah Oey Djie San menunjukkan hal tersebut. Mau action soal rumah Oey Djie San? Sudah dilakukan, bahkan dengan melibatkan sejumlah orang yang dianggap tokoh. Masalahnya, ketika Pemkot Tangerangnya dableg, merasa bahwa itu belum jadi cagar budaya (atau mungkin juga masih ada sinophobia di balik alasan tersebut), atau mengatakan dananya tidak ada, kemudian adakah pengalihan dana dari para konglomerat kepada rumah ODS tersebut? Kalau pencinta budaya terus-menerus demo (padahal jumlahnya sedikit), Pemkotnya juga tinggal mengerahkan Kamtib dengan alasan menduduki lahan orang. Kalau mau peduli, yang benar adalah mengalihkan dana TBT ke pembelian rumah ODS, dan membentuk perkumpulan pengurusan (fungsionalisasi bangunan sehingga bisa berswadaya) seperti yang sudah saya usulkan, bahkan saya lontarkan ke hadapan orang yang menjadi penghubung dengan si pemiliknya!!! Memang tidak ditanggapi, tapi NATO???? Bahwa desakan saya itu gagal, saya mau nyalahin siapa? Lewat milis saja tidak banyak yang peduli koq (salah satu alasannya adalah "itu kan rumah pribadi"), padahal cukup dengan kehadiran saja di lapangan sudah cukup untuk memberikan dukungan moral. Tapi saya juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, karena bisa saja ada kesibukan akibat pekerjaan (lha, kalau dipecat, saya bisa kasih kompensasi apa?), atau tidak sreg dengan orang-orang yang hadir di sana (saya sendiri juga merasakan hal itu ketika tahu adanya anasir politik pribadi). Makanya saya sih memahami saja, karena tahu persoalan ini memang laten dan memerlukan sosialisasi yang lebih lama dan mendalam, ditambah dengan perlunya desakan yang semakin kuat untuk mendapatkan komitmen negara. Kalau mau gede jasa seperti dibilang orang Benteng, saya berani bilang bahwa saya sudah terjun ke banyak tempat untuk menyelamatkan artefak-artefak Tionghoa, sampai-sampai dapat ancaman dari sejumlah pihak dan bahkan kesatuan. Saat saya membela pemakaman tua di Tangerang yang mau disikat oleh Walikota saat itu yang korup, tempat saya didatangi oleh segerombolan berseragam yang melontarkan komentar rasis dan berperilaku preman. Saat saya di Cirebon membela sebuah kelenteng tua agar bisa difungsikan kembali bagi warga, sekawanan Tionghoa yang kemaruk membuat ribut. Dan saya tetap tidak mundur hingga sekarang, bahkan ketika mendengar ada ancaman serbuan preman di Tanjung Kait kalau tetap memaksa pengembalian fungsi kelenteng di sana. Yaa, pada akhirnya saya minggir karena sebal melihat perilaku orang baru yang justru petantang-petenteng mendirikan yayasan yang saya tentang habis-habisan karena tidak sesuai dengan misi saya untuk memulihkan kedaulatan warga penghayat Kongco Couw Su Kong di sana. Mau bukti yang lain? Nanti anda bosan mendengarnya. Saya sendiri memang kesal dengan banyaknya kalangan Tionghoa yang menyia-siakan warisan budaya dari nenek moyangnya. Bagaimana saya tidak kesal ketika dalam pembelaan kuburan tua Kutiong dan Sentiong di Cirebon, intervensi dari seorang Tionghoa yang menjadi salah satu pengurus partai dan sekaligus perkumpulan di sana justru menyebabkan kegagalan dalam perjuangan mempertahankan kuburan tua tersebut. Kenapa? Karena yang membeli lahan itu Tionghoa juga, akhirnya kongkalikong juga. Tapi kekesalan saya yang paling puncak dalam momen itu adalah ketidakpedulian dari keturunan orang Tionghoa yang dikubur di sana yang juga sudah tidak peduli lagi dengan makam tua dari moyang-moyang pertamanya. Bagaimana dengan mudahnya di atas kuburan, berdiri rumah-rumah dengan cara yang sangat sederhana, robohkan bongpainya, jadikan ladam makam sebagai fondasi, dirikan rumah di atasnya. So simple like that! Nah, ketika anda menyalahkan miliser yang menyesalkan penghancuran CN, saya berani bilang bahwa sebagian besar dari mereka bukan tipe peratap, malah lebih baik daripada diam. Saya sebenarnya bisa sebut nama mereka satu demi satu, baik peranannya kecil (karena ada watak penakutnya) tapi masih bersedia datang ke lokasi, maupun juga yang besar (yang rela menyisihkan uangnya untuk menyewa mobil dan berhujan panas ikut aksi), baik yang karena cinta buta (meski tidak ngerti keistimewaan rumah ODS itu seperti apa), sampai kepada kalangan non-Tionghoa yang budayawan. Namun saya pikir, biarlah mereka yang bercerita sendiri bahwa mereka bukanlah peratap seperti apa yang anda tuduhkan. Banyak segmen telah berjuang tanpa sekedar meratap, meskipun pada akhirnya, sebagaimana diketahui, uang masih berkuasa saat ini. Sayangnya, saya belum punya posisi tawar yang bagus. Kalau tidak, sayap kiri kelenteng Talang yang dibangun rumah duka (Tionghoa juga) akan saya kembalikan ke fungsinya. Gedung di atas CN akan saya minta dibongkar karena melanggar situs cagar budaya, ditambah dengan perintah kepada Untar untuk mengembalikan barang-barang yang diambil dari situs dan mendesak pemerintah mendanai pemugarannya secara penuh (memang sudah tanggung jawabnya), dst. Apa harus semua gedung? Ya, tentu tidak. Hanya yang memenuhi kriteria wakil sejarah yang akan dipertahankan sebagai petunjuk mengenai perkembangan historis sebuah daerah. Masalahnya, situasi saat ini memang belum memungkinkan kebanyakan orang selain "meratap" seperti yang anda sindirkan. Meratap saja sudah upaya koq. Pada sisi lain, jaminan dari pemerintahlah yang harus selalu didesak. Kalau tidak, maka Maco Thian Siang Seng Bo akan tetap berada dalam kerangkengnya di Bandengan. Kan lucu, dewi pelindung koq rumahnya berada dalam terali besi karena tidak terjaganya keamanan. Tapi, begitulah kondisi yang ada. Apakah situasi tadi tidak bisa diubah? Bisa! Tapi biarkan yang memimpin adalah mereka yang paham budaya, politik dan sejarah. Kalau yang mimpin konglomerat sekedar karena kekayaannya (seperti terjadi dalam banyak perkumpulan Tionghoa), atau politisi sekedar karena popularitasnya (seperti jargon kosong dalam pemilu), jangan harap pembenahan itu akan lancar. Saya sendiri juga bukan orang yang NATO dalam masalah ini. Memangnya relatif bebasnya anda berpendapat pada masa sekarang ini karena apa? Saya boleh mengklaim bahwa saya ikut menjadi motor dan pimpinan gerakan reformasi tersebut. Bahwa hasilnya masih jauh dari harapan, saya sendiri juga tahu, tapi setidaknya saya berusaha dan tidak NATO. Sekali lagi saya tegaskan: TBT tidak mampu mewakili namanya (Taman "untuk" Budaya Tionghoa, apapun alasannya, apakah plan bab 2, bab 3 atau bab penutup) dengan sejumlah alasan: 1. TBT tidak mencerminkan kekhasan budaya Tionghoa, dalam hal ini Tionghoa di Indonesia (lihat ciri bangunannya; merujuk ke mana??? Kalau mau, pilih atau setidaknya padukan model rumah Majoor di Batavia, Semarang atau Surabaya, atau bahkan model Indies dari Tjong A Fie di Medan. Kalau dirasakan mewah, kan ada tipe rumah "penduduk Tionghoa pada umumnya" di Lasem, Rembang, Jamblang, Makassar, dsb yang tidak kalah mengesankannya dalam kesederhaan yang ditampilkan. Jadi jangan mengambil model yang ciri jejaknya di nusantara justru berbeda jauh). 2. TBT kehilangan roh yang disebut community center, yaitu kelenteng. Sejarah Tionghoa Indonesia adalah sejarah kelenteng dan pasar. Masalahnya memang akibat konversi besar-besaran ke agama "resmi" negara yang memupus jejak-jejak itu. Tapi, kalau mau disebut TBT, ciri kelenteng ini harus ada. Tinggal cari yang memiliki nuansa netral semisal Maco (bahkan Zheng He [misspell: Cheng Ho] saja memberikan penghormatan khusus kepadanya), Hok tek Cheng Sin (netral bagi tiga aliran), atau Kuan Kong (netral bagi tiga aliran), kan tidak sulit. Bisa juga dengan konsep tuan rumah utama dan para pendamping. Altar utamanya tidak harus besar, yang penting aulanya besar untuk orang berkumpul, kongkow dan berunding. 3. TBT kalau mau disandingkan dengan anjungan lain TMII (sebagai bagian tidak terpisahkan dari TMII) yang berkonsep kekhasan wilayah, harusnya juga berkonsep menyatu dalam perbedaan, tidak harus besar sendiri (konsep memandang). Justru kesan egonya menjadi sangat menonjol dan menimbulkan pertanyaan baru, apa fungsinya bagi Tionghoa Indonesia; pemberi kesan wah atau simbol keangkuhan? 4. dll, termasuk soal "deal" apa dengan Soeharto, kenapa yang diminta cuma duit tapi sumbang saran selama ini tidak didengar, kenapa yang dibikin pagoda dan danau, kesinambungan data, dsb. Saya sendiri tidak bercita-cita memindahkan CN ke TMII! CN hanya menjadi CN ketika dia berada di lokasinya. CN hanya akan menjadi CN ketika anggota tubuh yang telah diamputasi, dikembalikan kepadanya dan disambungkan kembali. Gedung Arsip yang eks Belanda saja bisa menempuh pemudaan, kenapa CN mengalami nasib yang berbeda? Makanya, kalau cuma bersih-bersih gedung CN yang ketinggalan di kolong apartemen itu, maaf saja. Saya tidak ikutan. Saya lebih prioritas untuk mengusut pelanggaran hukum cagar budayanya. Koq bisa-bisanya gedung yang sudah berstatus cagar budaya dijual-belikan untuk pendirian apartemen-mall atau entah apa itu. Koq bisa-bisanya Pemerintah tidak berdaya (atau ada deal, atau tekanan?) sehingga tidak menghalangi pembongkarannya. Pemerintah itu bukan untuk berwacana seperti yang terjadi pada masa-masa pembongkaran itu, tapi untuk menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri. Hal sekecil itu saja tidak bisa dijalankan dengan baik. Apa jejak sejarah Tionghoa akan hapus selain dari sisa-sisa makam SBK atau kelenteng-kelenteng yang dimodernisasi dengan model baru? Apa kata dunia? Seorang yang hendak menggemilangkan kebajikan besar pada umat manusia di dunia, ia lebih dahulu berusaha mengatur negerinya; untuk mengatur negerinya, ia lebih dahulu membereskan rumah tangganya; untuk membereskan rumah tangganya, ia lebih dahulu membina dirinya; untuk membina dirinya, ia lebih dahulu mneluruskan hatinya; untuk meluruskan hatinya, ia lebih dahulu meneguhkan tekadnya; untuk meneguhkan tekadnya ia lebih dahulu mencukupkan pengetahuannya, dan untuk untuk mencukupkan pengetahuannya, ia meneliti hakekat setiap perkara. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli <ghozalli2...@...> wrote: > > Dear member, > Susah jadinya kalau para sianseng berpikiran kayak Yahudi. Tiap hari meratap > di bangunan ambruk (kuil Salomon) pingin kuil tsb jadi berdiri megah lagi > tapi kagak ngapa2in selain meratap!? Apa kita mesti rame rame meratap di CN, > supaya bangunan tsb muncul lagi? Atau mesti panggil David Copperfield? Udah > jangan balikin ke TMII lagi kan sdh ada plan Bab 2. Nah, jawaban yg masuk > akal jangan cuma NATO tapi SEATO alias Selekasnya ambil aksi not talk only - > tentu aja mesti survei dulu - kalo langsung kerja nanti dikira maling > jemuran, repot kita diudak udak sama ncim yg punya rumah. He..he.. > > PS: Biar sekalian rame deh millis ini. Polemik itu sehat asal jangan masukin > di ati. > Owe harap para sianseng maafken owe kalau ada kalimat yg tidak berkenan. > Soja dari owe, Tjandra G. >