Pak Wahyu,

Sekali lagi terima kasih telah diberi pencerahan soal guru-guru kita ini.
Berikut tanggapan saya..

Pada 1 April 2009 12:30, Wing Wahyu Winarno <masw...@gmail.com> menulis:

>
> Mengenai kinerja, mengapa Pak Hardi tega sih, orang gaji di bawah UMR,
> masih harus dinilai prestasinya lagi..hehehe.... Kalau wakil rakyat yg
> gajinya belasan juta, diukur prestasinya dari apa Pak? Mereka datang rapat
> pada tidur, pada sms, bahkan ada yg gak datang rapat tapi tetep terima
> amplop, Pak Hardi pernah dengar gak? Lalu, bgmn mengukur kinerja hakim,
> bupati, menteri, dsb...dsb...? Jangan ah Pak, kita jangan nuntut mereka
> berprestasi kalau kita blm bisa melayakkan kehidupan guru.


Bukan begitu pak. Saya kan hanya bertanya, bila kita harus mereformasi
renumerasi guru (= menaikkan gaji guru), bagaimana sistemnya? Semua guru
rame2 naik gaji sampai minimal 2 juta per bulan untuk guru baru lulus dan
masih lajang? Bagaimana dengan guru2 yang  berprestasi? Apakah gajinya harus
lebih rendah dari yang seharusnya, karena alokasinya digunakan untuk
menaikkan gaji guru2 yang sebaiknya tidak usah jadi guru saja (karena
buruk)? Atau apakah yang diinginkan memang renumerasi macam wakil rakyat
yang (maaf) sontoloyo itu?

>
>
> Ada contoh seru lagi Pak. Th 2009 ini banyak daerah melarang pungutan dlm
> bentuk apapun. Sekolah anak saya juga sdh tdk lagi memungut apapun. Sebagai
> gantinya, Pem memberi dana BOS total Rp450rb per anak per tahun. Padahal, di
> SD anak saya (negeri, termasuk favorit), biaya per anak tahun lalu adalah
> Rp750rb. Bagaimana menutup kekurangannya? Kegiatan pramuka, kesenian, olah
> raga, outbound, pelajaran tambahan, semua distop. Jadi, sekolah
> gratis=penurunan mutu? Lihat dulu info berikut. Bagaimana dgn SD yg selama
> ini tidak favorit, muridnya sedikit, spp seret? Mereka akan senang sekali,
> karena kekurangan dana selama ini ditutup oleh Pemerintah? Kesimpulannya?
> Kualitas pendidikan akan semakin merata. Tapi lupakan kualitas yang selama
> ini sudah di atas rata2.


Anak saya di SMP Negeri juga sama pak. Sekolah tidak boleh memungut apa pun.
Tapi kalo orang tua ngasih kan boleh pak? Itu yang terjadi. Komite Sekolah
presentasi di depan ortu, bahwa ada program2 sekolah bla-bla-bla yang tidak
terbiayai oleh BOS. Gimana nih? Akhirnya ortu rame2 ngasih sesuai kemampuan
sehingga program2 (sebagian besar) bisa berjalan. Laporan APBS nya juga ada
di website (kontribusi ortu dimasukkan dalam pos sumbangan masyarakat). Apa
ada ortu yang tidak setuju ngasih? Banyak, tapi ya sudahlah, terpulang pada
masing2 orang. Ada orang merasa urusan sekolah adalah kewajiban pemerintah
saja, jadi dia tidak mau nyumbang. Padahal itu sekolah anaknya sendiri.
Sementara dia tiap minggu mau belanjain bensin dan parkir ke mall yang kalau
dikumpulkan setahun cukup untuk beli netbook buat dipake anaknya di sekolah.

>
> Kenapa Pemerintah dan DPR menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN?
> Karena negara2 tetangga anggaran pendidikannya antara 25-33%. Jadi kita
> hanya ikut2an saja, hingga akhirnya sampai bertahun2 tidak pernah bisa
> tercapai angka 20% itu. Tahun lalu akhirnya tercapai, tapi Pemerintah juga
> tidak tahu hrs berbuat apa. Kalau begini, siapa yang kinerjanya tidak baik?


Saya rasa sih kita harus lebih fokus kepada APBD, bukan APBN. APBN terlalu
rigid. APBD kalo mau bisa lebih fleksibel untuk memenuhi anggaran
pendidikan. Ada sejumlah (kecil) kabupaten berhasil melakukannya (ada di
edisi khusus Tempo beberapa waktu lalu).

>
>
> Salam

Hardi


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke