Mungkin lebih konstruktif dan punya manfaat, jika diskusi memang diarahkan 
dalam konteks decision making. 

Salah riset terbaru terbaru dari neuroscience di bidang pengambilan keputusan, 
memperlihqtakan bhw political science lebih banyak merupakan pilihan emosional 
[bukan artiaan jelek lho. Emosi membuat manusia menjadi manusia]. katanya 
karena ada input masuk pertama ke otak dan ketemu dgn gumpalan berbentuk kenari 
di bagian limbic otak. Gumpalan tsb berfungsi mengatur emosi. Dan ketika 
informasi masuk yg sifatnya berlawan dgn nilai/belief yg kita percaya. 
Simplenya, informasi difilter dulu oleh emosi. Mekanisme yg terjadi banyak 
menjelaskan kenapa org sulit berubah, dan mengapa tokoh2 politik dgn jargon2 
simple lebih diminati. 

Kulihat2 neuroscience sgt menjanjikan, dan rasanya bisa merubah banyak cara 
pandang kita dalam memahami suatu fenomena. Jg di bidang ilmu ekonomi, dimana 
masing sering digunakan asumsi manusia sbg mahluk yg rasional. 

Salam,
Enda

--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "Ignace I. Worang" 
<ignacewor...@...> wrote:
>
> Politik tidak bisa dinilai secara baku apakan itu brutal, materialistis atau
> irrasional karena tergantung dengan keadaan, kultur, tingkat intelektual
> dimana politik ini akan dijalankan.  Contohnya seperti yang anda katakan
> bahwa masyarakat daerah gampang dimobilisasi dengan umpan2 politik yang
> tidak edukatif, ya mungkin kalau umpannya edukatif, masyarakatnya tidak
> termobilisasi.  Politik adalah cara pencapaian tujuan, caranya bagaimana ya
> bebas saja.
> 
>

Kirim email ke